JAKARTA, GRESNEWS.COM - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarif berharap bisa menyelesaikan kasus korupsi e-KTP dan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) hingga tuntas. Selain itu juga KPK akan menggeber penyelesaian kasus lain yang sempat tertunda tahun lalu.

"Resolusi 2018, kasus e-KTP dan BLBI bisa diselesaikan tuntas," kata Syarif, Senin (1/1/2018).

Selain itu, Syarif berharap bisa membawa para tersangka korupsi korporasi ke pengadilan. Para tersangka korupsi di bidang sumber daya alam juga menjadi salah satu yang ditargetkan oleh Syarif untuk diberantas.

"Tindak pidana korupsi korporasi dan korupsi sumber daya alam lebih banyak yang sampai penuntutan," ujarnya.

Sebelumnya, Syarif mengatakan akan menuntaskan kasus-kasus yang tertunda di antaranya kasus yang melibatkan RJ Lino serta kasus Bank Century. "(Kasus) yang lain sedang dilakukan, misalnya penetapan tersangka yang tadi dikatakan, misalnya RJ Lino juga sekarang lagi dihitung (angka kerugiannya), bekerja sama juga dengan BPK. Mudah-mudahan dalam waktu yang tidak lama. Kita jadikan prioritas di tahun 2018, jangan sampai kelamaan," kata Syarif kepada wartawan di kantornya, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Rabu (27/12).

Beberapa kasus memang ada yang tersendat sepanjang 2017. Penyebabnya macam-macam, jumlah penyidik yang tak imbang hingga konsentrasi penyidik tersedot menangani kasus-kasus besar lain. Seperti dugaan korupsi proyek e-KTP dan penertiban Surat Keterangan Lunas BLBI kepada Sjamsul Nursalim, pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI).

KPK juga memilih bersikap hati-hati dalam pengumpulan bukti yang dimiliki. Kasus-kasus itu mandek dalam periode kepemimpinan Ketua KPK, Agus Rahardjo Cs, padahal kasus-kasus itu sudah naik ke tingkat penyidikan.

Berikut sejumlah kasus mandek.

1. Kasus TPPU Tubagus Chaeri Wardana

Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan divonis bersalah dalam kasus suap kepada Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar. Namun, Wawan masih harus menghadapi kasus dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU).

KPK menetapkan Wawan sebagai tersangka pencucian uang, pada 13 Januari 2014. Tapi, hingga kini lembaga antirasuah itu belum meningkatkan kasus TPPU Wawan ke penuntutan.

Ratusan saksi telah diperiksa selama hampir empat tahun mengusut kejahatan penyamaran aset hasil korupsi suami Wali Kota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany itu. Mulai dari penyelenggara negara, politisi, pihak swasta, hingga selebritis, telah dimintai keterangan untuk melengkapi berkas perkara Wawan.

Tak hanya memeriksa saksi, penyidik KPK turut melakukan penggeledahan dan penyitaan terhadap aset-aset Wawan yang disinyalir berasal dari praktik korupsi.

Aset-aset Wawan yang disita dalam kurun waktu tiga tahun terakhir di antaranya, aset bergerak, sekitar 74 mobil dan satu motor besar, serta 100 unit tanah dan atau bangunan yang berada di Bali, Jawa Barat, Banten, dan DKI Jakarta.

KPK menduga Wawan meraup keuntungan berlebih dari, sedikitnya 1.200 proyek di lingkungan Pemprov Banten, Kota Tangerang Selatan dan Kota Pandeglang, selama kurun waktu 2002 hingga 2013 lalu.

Adik mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah menggunakan 300 perusahaan fiktif, dalam melancarkan kejahatannya tersebut. Pemeriksaan saksi untuk kasus TPPU Wawan, dilakukan KPK pada awal tahun ini.

2. Kasus Korupsi Eks Dirut Pelindo II RJ Lino

KPK mulai penyidikan kasus dugaan korupsi Direktur Utama PT Pelindo II, Richard Joost Lino (RJ Lino), dengan surat perintah penyidikan tertanggal 15 Desember 2015.

Lino dijerat sebagai tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan tiga unit quay container crane (QCC) alias mesin derek besar kontainer pada 2010.

Dia diduga menyalahgunakan wewenangnya dengan menunjuk langsung perusahaan asal Tiongkok, PT Wuxi Hua Dong Heavy Machinery. Co.Ltd., dalam pengadaan tiga alat berat tersebut. Dalam kasus ini negara ditaksir merugi hingga Rp60 miliar.

Lino sempat mengajukan gugatan praperadilan melawan KPK, namun kandas di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, pada 26 Januari 2016. Lino juga sudah diperiksa sebagai tersangka pada 5 Februari 2016.

KPK telah memeriksa 60 saksi, yang terdiri dari unsur pejabat dan staf Pelindo II, pejabat Kementerian BUMN dan swasta. Bahkan, lembaga antirasuah telah mengirim penyidik ke Tiongkok untuk mencari bukti lainnya, dalam kasus Lino ini.

Belakangan, KPK kesulitan mendapatkan harga asli QCC, yang dibeli perusahaan plat merah tersebut dari perusahaan asal Tiongkok tersebut. Otoritas Tiongkok belum memberikan harga asli barang tersebut.

3. Kasus TPPU Rohadi

KPK menetapkan mantan panitera pengganti Pengadilan Negeri Jakarta Utara Rohadi sebagai tersangka gratifikasi dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), pada 31 Agustus 2016. Rohadi sebelumnya dijerat sebagai tersangka suap pengamanan perkara pedangdut Saipul Jamil.

Setelah pengusutan berjalan setahun lebih, penyidik KPK belum juga merampungkan berkas perkara Rohadi itu.

Dalam dugaan penerimaan gratifikasi dan TPPU, Rohadi diduga melakukan korupsi saat menjabat sebagai Panitera Pengganti Pengadilan Negeri Jakarta Utara dan Pengadilan Negeri Bekasi terkait pengurusan perkara di Mahkamah Agung (MA).

Rohadi disinyalir menyamarkan uang miliaran rupiah dari hasil korupsi.

KPK sudah menyita sejumlah aset milik Rohadi, di antaranya mobil ambulans, Mitshubisi Pajero Sport, Toyota Yaris. Kemudian uang Rp700 juta yang ditemukan di mobil Rohadi saat ditangkap penyidik KPK.

Selain itu, ada dua rumah di Perumahan Royal Residence Blok A6 Nomor 12 dan Blok D3 Nomor 8, Cakung, Jakarta Timur, Rumah Sakit Resya Permata, rumah di Cikedung dan di kampung Lungadung, Indramayu, serta satu unit Apartemen di Kelapa Gading, Jakarta Utara.

KPK terakhir kali memanggil saksi-saksi untuk penyidikan kasus dugaan gratifikasi dan TPPU Rohadi pada Juni 2017.

4. Kasus Suap Eks Bos Lippo Group

KPK menetapkan mantan petinggi Lippo Group Eddy Sindoro sebagai tersangka suap kepada mantan panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution, pada sekitar November 2016.

Dari surat dakwaan terhadap bekas pegawai Lippo Group Doddy Aryanto Supeno dan Edy Nasution, Eddy Sindoro disebut merestui pemberian sejumlah uang dengan total mencapai Rp2,3 miliar kepada mantan panitera PN Jakarta Pusat itu.

Sampai saat ini, Eddy Sindoro belum pernah diperiksa sebagai tersangka. Chairman PT Paramount Enterprise Internasional itu dikabarkan masih berada di luar negeri. KPK pun sudah meminta pihak imigrasi mencegah yang bersangkutan ke luar negeri sejak April 2016.

KPK sudah beberapa kali melayangkan surat panggilan untuk Eddy Sindoro, namun yang bersangkutan mangkir.

5. Kasus Suap Eks Dirut Garuda Indonesia

KPK menetapkan Direktur Utama PT Garuda Indonesia Emirsyah Satar dan Soetikno Soedarjo, yang merupakan beneficial owner Connaught International Pte Ltd, sebagai tersangka suap terkait pengadaan mesin Rolls-Royce untuk pesawat Airbus milik Garuda Indonesia pada periode 2005-2014.

Emirsyah diduga menerima suap dari Rolls-Royce melalui Soetikno, CEO sekaligus salah satu pendiri PT Mugi Rekso Abadi (MRA). Suap yang diduga diterima Emirsyah yakni dalam bentuk uang sebesar €1,2 juta dan US$180 ribu, serta barang bernilai total US$2 juta yang tersebar di Indonesia dan Singapura.

Baik Emirsyah maupun Soetikno, mereka berdua telah diperiksa penyidik KPK, pada sekitar Februari 2017. Usai diperiksa KPK ketika itu, Emirsyah mengaku akan kooperatif selama penyidikan kasus suap ini.

KPK telah melakukan serangkaian penggeledahan dan menyita dokumen terkait kasus dugaan suap pembelian mesin untuk pesawat Garuda Indonesia. KPK mengonfirmasi pada Juni 2017, berkas perkara Emirsyah dan Soetikno bakal segera rampung.

Kasus-kasus di atas, merupakan kasus yang penanganan di tingkat penyidikannya memakan waktu hampir setahun hingga empat tahun.

Sementara itu, hingga 30 September 2017, KPK melakukan penanganan tindak pidana korupsi dengan rincian, penyelidikan 70 perkara, penyidikan 78 perkara, penuntutan 58 perkara, inkracht 48 perkara, dan eksekusi 49 perkara. (dtc/mfb)

BACA JUGA: