JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah diminta untuk segera mempertegas posisi ujaran kebencian atau hate speech yang kerap beredar di masyarakat Indonesia. Tujuannya, agar pelaksanaan demokrasi tidak terhadang oleh hate speech yang disebarkan secara tidak bertanggung jawab.

"Dalam menyikapi kasus sarachen ini, pemerintah harus jelas merumuskan apa itu hate speech agar tidak berbenturan dengan hak konsitusional masyarakat untuk mengemukakan pendapat," kata Peneliti Bidang Hukum Pidana dari Mata Garuda Institute (MGI) Ola Anisa Ayutama dalam siaran pers yang diterima gresnews.com, Selasa (29/8).

Ola mengemukakan hal itu menyikapi hate speech yang disampaikan dalam kasus Saracen. Menurutnya, kebebasan masyarakat dalam berpendapat merupakan hak konstitusional warga negara yang diatur dalam Pasal 28 E Ayat (3). "Dan untuk merumuskan apa itu hate speech, dapat dilihat pada bagaimana dokumen hukum internasional mengatur mengenai hal tersebut," ujar Ola.

Misalnya, lanjut dia, melihat pada Convention on The Elimination of All forms of Racial Discrimantion yang merumuskan hate speech sebagai penyebaran dan penghasutan ide berbasis diskriminasi ras dan kebencian ras yang berujung pada kekerasan terhadap ras. Hal ini kemudian memang telah diakomodasi dalam UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Namun demikian, dalam Undang-Undang (UU) ini kurang menyebutkan diskriminasi dengan dasar agama sehingga perlu diatur pula.

"Poin penting yang membedakan ujaran kebencian dengan tindak pidana yang lain adalah pada akibatnya, yaitu apakah berujung pada kekerasan atau tidak," jelas Ola.

Namun hal penting yang perlu diingat, kata Ola, sah-sah saja pemerintah melakukan pembatasan atas hak tersebut sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28 J Ayat (2) UUD 1945 atas dasar perlindungan kepentingan umum. "Tetapi harus diatur dalam UU, bukan hanya tataran surat edaran. Oleh karenanya, mengatasi masalah sarachen ini perlu terlebih dahulu merumuskan apa itu hate speech sehingga tindakan selanjutnya tidak sewenang-wenang dalam membatasi hak berpendapat," terang Ola.

Ola mengatakan, kasus Saracen adalah gambaran bagaimana hate speech telah terorganisasi. Karena itu, hate speech harus diatur sebagai tindak pidana karena dapat menjadi faktor kriminogen atau faktor penyebab kejahatan, berupa hate crime atau kejahatan yang timbul karena motivasi kebencian.

Contoh hate crime, ucap dia, pernah terjadi di Inggris terkait pengrusakan masjid karena kebencian pada umat Islam. Hal senada juga pernah terjadi di Indonesia tentang pengrusakan Masjid Ahmadiyah karena kebencian pada golongan Ahmadiyah.

Ola menilai, hate crime di Indonesia belum memiliki arah perumusan yang jelas. Bahkan, kata dia lagi, Kapolri pernah mengeluarkan surat edaran Kapolri nomor SE/6/X/2015 tentang ujaran kebencian, namun mencampuradukkan hate speech dengan pencemaran nama baik, penghinaan, dan delik-delik lainnya.

Padahal, antara ujaran kebencian, pencemaran nama baik maupun penghinaan tidak bisa dicampuradukkan dalam satu dimensi. Jika ini dicampuradukkan, maka potensi yang terjadi adalah adanya pembungkaman kebebasan berekspresi atas dasar misalnya pencemaran nama baik atau penghinaan. Hanya karena dikatakan sebagai ujaran kebencian.

"Pencemaran nama baik dan penghinaan adalah kejahatan yang sifatnya individual dan sebagai delik aduan. Beda dengan ujaran kebencian yang harusnya bersifat publik tanpa aduan. Selain itu, akibat pencemaran nama baik, penghinaan dan ujaran kebencian juga berbeda," tandas Ola. (mag)

 

BACA JUGA: