JAKARTA, GRESNEWS.COM - Dunia usaha menilai tahun 2017 merupakan tahun sengkarut regulasi di sektor ketenagalistrikan nasional. Hal itu ditandai dengan revisi program fasttrack 35ribu Mega Watt (MW), pembiaran terhadap kebijakan penumpukkan utang PLN, regulasi yang acap kali berubah, dan terbengkalainya pembangunan transmisi 35ribu MW serta semakin rendahnya minat investor berinvestasi di ketenagalistrikan.

Hal tersebut diutarakan Wakil Ketua Umum BPP Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Yaser Palito dalam keterangannya di Jakarta hari ini, me-review akhir tahun kebijakan di sektor ketenagalistrikan. "Tahun ini tahun sengkarut di sektor ketenagalistrikan, utamanya dihulunya, pengandaan listrik," ujar Yaser dalam siaran pers yang diterima gresnews.com, Sabtu (16/12).

Yaser mengatakan, akar masalah utama sengkarut tersebut, terletak pada terlalu banyaknya aturan atau kebijakan baru, isi aturan yang salah, tidak konsisten, dan tidak kondusif bagi dunia usaha dan pengusaha lokal. "Tahun ini tahun panen regulasi. Itupun regulasi semakin tidak berpihak kepada iklim usaha," papar dia.

Dia mencontohkan terdapat tiga aturan kontroversial yang kemudian memunculkan perlawanan sengit independent power producer (IPP) yakni Permen ESDM Nomor 49 tahun 2017, revisi atas Permen ESDM 10/2017 tentang Pokok-Pokok Dalam Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik, dan Permen ESDM Nomor 45 tahun 2017. Kemudian revisi atas Permen ESDM 11/20117 tentang Pemanfaatan Gas Bumi untuk Pembangkit Tenaga Listrik dan terakhir, serta Permen ESDM Nomor 50 tahun 2017 yang merupakan hasil revisi kedua Permen ESDM 12/2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan Untuk Penyediaan Tenaga Listrik.

Selain itu, terdapat wacana dari Direktur Jenderal ESDM yang meminta PT Perusahaan Listrik Negara (Persero)/PLN meninjau ulang kontrak (Power Purchase Agreement/PPA) Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) swasta yang ada di Jawa. Hal ini tertuang dalam surat yang dikirimnya ke Direktur Utama PLN Sofyan Basir tertanggal 3 November 2017.

Yaser juga menyoroti kian kuatnya investasi asing di ketenagalistrikan, sedangkan pengusaha lokal semakin dipersulit dengan macam-macam aturan. "Misalnya banyak pengusaha lokal antusias masuk ke Energi Baru Terbarukkan (EBT). Namun regulasi di sektor energi baru dan terbarukan ini sering sekali berubah-ubah. Kita masih ingat di tahun 2009, Pemerintah menetapkan harga listrik feed in tariff untuk menarik investasi di EBT. Dan sampai sekarang sudah beberapa kali direvisi. Ini tentu menimbulkan ketidakpastian bagi investor," ucap Yaser.

Kementrian ESDM juga dinilai tahun ini gagal mengawasi utang PLN yang membesar dan membuat Menkeu Sri Mulyani Indrawati turun tangan mengingatkan kepada Menteri ESDM Ignasius Jonan dan Menteri BUMN Rini Soemarno. Surat itu terkait kekhawatiran soal utang PLN serta program 35.000 MW hingga berisiko pada keuangan negara akibat gagal bayar.

"Sebab PLN berambisi besar untuk membangun pembangkitnya sendiri-sendiri. Padahal, swasta siap membantu pemerintah membangun pembangkit agar bebannya terbagi, berikut risikonya. Nah, ESDM gagal melakukan pengawasan. Risiko utang PLN berdampak pada APBN," ujar Yaser.

Selain itu, terdapat juga salah kaprah kebijakan kelistrikan lainnya adalah dioperasikannya delapan pembangkit listrik bertenaga minyak mobile power plant (PLTG/MPP) total 500 MW dan menjadi bagian dari program 35.000 MW. Padahal, arah kebijakan energi nasional mestinya semakin meninggalkan energi fosil dan memperbesar porsi energi baru terbarukan. Namun, MPP ini berbahan bakar fosil yang sangat boros dan gas yang harganya terus melonjak.

Hipmi menilai, sengkarut regulasi inilah yang membuat target-target pemerintah di proyek 35ribu MW susah tercapai dan kemudian direvisi, termasuk rendahnya kemampuan PLN dalam membangun transmisi. "Beberapa pembangkit sudah bangun tapi transmisi tidak ada. Makanya kemudian diklaim jadi over supply, sebab ritelnya lambat. Diberbagai daerah byarpet masih jalan," papar dia.

Dengan kinerja kelistrikan ini, Hipmi menilai, ancaman kenaikkan tarif daftar listrik (TDL) tahun depan juga meningkat. Namun dia berharap, kenaikkan tersebut dikomunikasikan dulu ke parlemen, sebab menyangkut hajat hidup orang banyak.

"Ancaman kenaikkan ini sebagai dampak dari inefisiensi pembangkit-pembangkit fosil dan beban utang PLN yang akan dia bebankan ke konsumen dan IPP. Tapi, komunikasikan ke DPR dulu. Jangan asal naik saja," ucap dia.  

Yaser menilai, berbagai kontroversi regulasi di atas sebagai dampak dari kesalahan regulator membaca tren disektor energi, utamanya kelistrikan. Regulator justru melakukan pengetatan (tight policies) aturan disaat negara membutuhkan investasi swasta.  

"Energi fosil kian ditinggalkan ke EBT dan subsidi energi oleh negara terus menurun. Mestinya peran swasta diperbesar. Aturan mestinya mengalami relaksasi. Swasta itu kan sederhana rumus, kalau secara komersil tidak feasible dan banyak tetek bengek aturan, dia tidak masuk," ujar Yaser.

Hipmi mengatakan, awalnya, masuknya Jonan dan Archandra ke dalam ESDM memberi harapan baru bagi investasi kelistrikan. Namun berbagai regulasi yang dirilis dalam satu tahun ini membuat dunia usaha merasakan adanya anti klimaks dan melakukan wait and see lagi. "Reputasi keduanya bagus. Tapi entah kenapa di listrik kok jadi antiklimaks," tutup dia. (mag)

BACA JUGA: