Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 2017 pada 16 Oktober 2017 tentang restitusi bagi anak yang menjadi korban tindak pidana. Korban dapat meminta ganti rugi kehilangan materiil hingga pergantian biaya medis dan psikologis.

"Yang bisa dituntut dari restitusi adalah ganti kerugian atas kehilangan kekayaan, akibat tindak pidana, dan pergantian biaya medis dan psikologis," ujar Kepala Biro Hukum dan Humas Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Pelindungan Anak Hasan di kantor LPSK, Jalan Raya Bogor, Jakarta Timur, Rabu (1/11).

Untuk mengajukan restitusi, pemohon dapat menunjukkan identitas korban dan pelaku, uraian peristiwa yang dialami, uraian kerugian yang diderita, serta besaran atau jumlah restitusi yang hendak diajukan.

"Nanti penyidik setelah memberikan penjelasan kepada pihak korbannya, nanti korban bisa melengkapi syarat-syarat yang ditentukan dalam mengajukan restitusi. Korban harus melengkapi dalam waktu 3 hari," kata Hasan.

Jaksa penuntut umum dan penyidik juga dapat berkoordinasi dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) jika korban mengalami kerugian psikis. Korban melalui LPSK juga dapat mengajukan restitusi ke pengadilan.

"Korban melalui LPSK berhak mengajukan ke pengadilan berupa hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku pidana," ujar Ketua (LPSK) Abdul Haris Semendawai.

Nantinya hasil penilaian LPSK akan dilampirkan di berkas perkara jaksa penuntut umum dan akan diajukan ke tahap penyidikan. Penuntut umum juga dapat mengajukan penilaian besaran permohonan restitusi kepada LPSK.

"Permohonan restitusi bisa diajukan sebelum atau sesudah putusan pengadilan. Sebelum putusan, diajukan melalui tahap penyidikan atau penuntutan," ucap Haris.

Tindak pidana yang diatur dalam PP Nomor 43 Tahun 2017 adalah anak yang berhadapan dengan hukum, korban eksploitasi ekonomi atau seksual, korban pornografi, korban penculikan atau perdagangan orang, korban kekerasan fisik atau psikis, serta korban kejahatan seksual. (dtc/mfb)

BACA JUGA: