JAKARTA, GRESNEWS.COM - Asosiasi LBH APIK Indonesia dengan 16 kantornya di seluruh Indonesia menyatakan keberatannya atas pernyataan Kepala Kepolisian RI Jenderal Tito Karnavian dalam wawancaranya dengan BBC.com tertanggal 19 Oktober 2017. Dalam wawancara tersebut, Kapolri dinilai telah menyakiti para korban perkosaan.

Dalam wawancara itu, Tito sempat menyatakan: "Korban perkosaan bisa ditanya oleh penyidik ´apakah nyaman´"......... kemudian Tito melanjutkan dengan pernyataan: "Pertanyaaan seperti itu yang biasanya ditanyakan oleh penyidik sewaktu dalam pemeriksaan, untuk memastikan, apakah benar korban diperkosa atau hanya mengaku diperkosa, untuk alasan tertentu."

"Pernyataan Kapolri tersebut memperlihatkan pendekatan yang sangat legalistic formal karena hanya mempertimbangkan pembuktian unsur paksaan dalam perkosaan dan membebankannya kepada korban," kata pengurus Asosiasi LBH APIK Indonesia Nursyahbani Katjasungkana, dalam siaran pers yang diterima gresnews.com, Minggu (22/10).

Hal itu disayangkan, karena masih ada cara-cara lain yang harusnya bisa dipertimbangkan tanpa mengajukan pertanyaan yang tidak sensitif terhadap kepentingan korban. "Aparat Penengak Hukum seharusnya mampu menggali unsur paksaan atau kekerasan justru dari pelaku/tersangka itu sendiri dan bukan sebaliknya," tegas Nursyahbani.

Unsur paksaan atau kekerasan itupun tidak seharusnya diartikan sebagai kekerasan fisik semata, sebagaimana pengertiannya dalam KUHP, melainkan dengan mengacu kepada UU lain (misalnya UU PKDRT) atau pada deklarasi PBB tentang Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan yang menetapkan bahwa bentuk kekerasan terdiri dari kekerasan fisik, psikis dan seksual. "Kapolri harusnya juga melihat konteks sosial budaya kita yang masih sangat patriarkhis dan menempatkan perempuan sebagai obyek seksual dan dalam relasi yang sangat tidak adil dan tidak setara," ujar Nursyahbani.

Pengurus Asosiasi LBH APIK lainnya, Ratna Batara Munti mengatakan, pernyataan Kapolri ini menjadi preseden buruk dan setback dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan. "Padahal dalam 20 tahun terakhir upaya-upaya untuk mendorong penanganan yang berperspektif korban khususnya perempuan dan anak sudah dilakukan sebagaimana dalam UU PKDRT ataupun UU Tindak Pidana Perdagangan Orang yang telah menggunakan perspektif Hak Asasi Manusia serta kesetaraan dan keadilan gender," terangnya.

Pernyataan Kapolri, ini kata Ratna, jelas melemahkan dan bertentangan ketentuan Pasal 3 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 3 tahun 2008 tentang Pembentukan Ruang Pelayanan Khusus dan Tata Cara Pemeriksaan Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana. Pasal tersebut menyebutkan bahwa prinsip penyelenggara pelayanan saksi dan/atau korban harus dilakukan dengan cara: "... mengajukan pertanyaan dengan cara yang bijak; tidak menghakimi saksi dan/atau korban; dan memperlakukan saksi dan/atau korban dengan penuh empati..."

Pernyataan Kapolri juga tidak sejalan dengan semangat reformasi di dalam sistem peradilan yang telah mempertimbangkan kesetaraan gender dan perspektif korban. Salah satunya adalah terbitnya Peraturan Mahkamah Agung RI (PERMA) Nomor 3 tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum. PERMA ini mengatur tata cara pemeriksaan perempuan berhadapan dengan hukum, yakni harus mempertimbangkan: "... dampak psikis yang dialami korban; ketidakberdayaan fisik dan psikis korban; relasi kuasa yang mengakibatkan korban/ saksi tidak berdaya ..."

Selain bertentangan dengan dua peraturan di atas, pernyataan Kapolri memperlihatkan minimnya pemahaman atas isu Kekerasan Terhadap Perempuan khususnya terkait dampak yang dialami korban akibat kekerasan seksual seperti perkosaan. Faktanya, dari pengalaman  penanganan kasus selama lebih dari 20 tahun di LBH APIK di Indonesia,  korban kekerasan seksual mengalami berbagai hambatan baik fisik, psikis dan sosial seperti stigma dan pengucilan karena eksisnya konstruksi social terkait seksualitas perempuan (pandangan misoginis, konsep virginitas).

"Itu semua membuat korban harus berjuang dan menguatkan dirinya untuk mendapatkan keadilan dengan membawa kasusnya ke jalur hukum," kata Ratna.

Penanganan Aparat Penegak Hukum (APH) yang hanya mengutamakan pendekatan legalistik formal akan memperburuk situasi korban dan pada akhirnya korban mengalami reviktimisasi.
Munculnya pernyataan Kapolri diatas juga menjadi bukti belum berhasilnya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) dalam mengarusutamakan gender dan seksualitas dan kekerasan terhadap perempuan ke dalam Institusi Penegak Hukum khususnya di Kepolisian.

Hal ini antara lain dikarenakan program dan pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan selama ini belum menyentuh pada akar persoalan Kekerasan Terhadap Perempuan yakni terkait konstruksi seksualitas perempuan di dalam masyarakat patriarkhi yang menjadi sumber penindasan terhadap perempuan. "Akibatnya Sistim Hukum di Indonesia dan pelaksanaannya masih bias gender dan tidak sensitif terhadap kepentingan korban perempuan," tegas Ratna.

Mempertimbangkan situasi tersebut, Asosiasi LBH APIK pun menyampaikan beberapa tuntutan. Pertama, Kapolri dan Kepolisian Republik Indonesia, agar menegakkan PERKAP RI Nomor 3 tahun 2008 tentang Pembentukan Ruang Pelayanan Khusus dan Tata Cara Pemeriksaan Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana dan memantau pelaksanaannya sampai jajarannya yang paling bawah.

Kedua, mensosialisasikan PERMA RI Nomor 3 tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum di lingkungan Kepolisian khususnya di tingkat Penyidik dan menjadikannya sebagai acuan dalam menangani perkara diskriminasi  dan kekerasan terhadap perempuan khususnya korban perkosaan atau kekerasan berbasis gender lainnya. Jika perlu Kapolri dapat mengadopsi PERMA RI nomor 3 tahun 2017 tersebut menjadi Peraturan Kapolri.

Ketiga, memasukkan materi tentang gender dan seksualitas terkait masalah diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan dalam kurikulum semua tingkat pendidikan di Kepolisian. Keempat, menuntut agar KPPPA, melakukan pengarusutamaan gender dan seksualitas terkait masalah diskriminasi dan Kekerasan Terhadap Perempuan khususnya Kekerasan Seksual  dikalangan Aparat Penegak Hukum dan instansi lainnya dari Pusat sampai Daerah. (mag)

BACA JUGA: