JAKARTA, GRESNEWS.COM -  Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) merekomendasikan agar pemrintah melakukan moratorium terhadap eksekusi hukuman mati. Pasalnya masih banyaknya persoalan dalam pelaksanaan eksekusi mati.  Sehingga eksekusi yang bersifat maladministrasi seperti terjadi pada Juli 2016 tidak terulang.

Selain itu Jaksa Agung  terlihat masih gamang untuk melaksanakan eksekusi mati terhadap terpidana mati. Terlihat dari pengajuan fatwa yang dilayangkan Jaksa Agung ke  
ke Mahkamah Agung (MA) terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mencabut batas waktu pengajuan grasi.

Permintaan fatwa itu menurut ICJR dalam rilisnya, telah dijawab MA melalui Surat MA Nomor 7/WK.MAY/III/2017 yang ditandatangani Wakil Ketua MA RI Bidang Yudisial. Dalam surat tersebut, MA mengembalikan teknis pelaksanaan putusan sepenuhnya ke tangan Jaksa sebagai eksekutor.

ICJR sendiri  menilai, upaya Jaksa Agung meminta fatwa ke MA terkait putusan MK kurang tepat. "Selain karena bukan domain MA, Jaksa Agung sebaiknya berfokus dalam membaca putusan MK tersebut," ujar Erasmus Napitupulu, Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) melalui rilisnya.

Sebelumnya, pada Juni 2016 MK mengeluarkan putusan terkait  permohonan pengujian Pasal 7 ayat 2 UU No 5 Tahun 2010 tentang Perubahan atas UU No 22 Tahun 2002 tentang Grasi (UU Grasi). Pasal  tersebut menyebut, grasi  diajukan  paling  lama  dalam  jangka  waktu  satu tahun  sejak  putusan  berkekuatan  hukum  tetap.  Jika  lebih  dari  satu  tahun  dianggap kadaluwarsa.

Namun dalam Putusan nomor No 107/PUU-XII/2015, MK menyatakan bahwa permohonan grasi   merupakan   hak   prerogatif   presiden   yang   tidak   dibatasi   waktu   pengajuannya,    karena akan menghilangkan hak konstitusional terpidana.

ICJR berpendapat bahwa tak perlu lagi ada perdebatan soal larangan eksekusi mati dalam hal terpidana mengajukan grasi,  sebagaimana tertulis dalam Pasal 3 UU Grasi ketentuan yang kemudian diperkuat melalui putusan MK ini. Hanya saja ICJR melihat  Jaksa Agung justru berupaya mencari peluang menyiasati  putusan MK tersebut.

Pelanggaran atas putusan MK ini ICJR nilai akan berdampak pada maladmistrasi seperti Eksekusi mati terhadap Humprey Ejike Jefferson pada Juli 2016 lalu. Hal itu berdasar Hasil Akhir Pemeriksaan Ombudsman RI, dengan Laporan Nomor 0793/LM/VIII/2016/Jkt, Ombudsman memutuskan bahwa Kejaksaan Agung melakukan Maladministrasi Saat Eksekusi Mati Juli 2016.

Ombudsman, menyatakan seharusnya Kejagung menunda eksekusi lantaran Humprey sedang mengajukan grasi, dalam aturan tersebut disebutkan bahwa eksekusi tidak dapat dilakukan sebelum keputusan presiden tentang grasi diterima terpidana.

ICJR juga mengritik statemen berbagai pihak yang menyatakan bahwa grasi dimainkan para terpidana untuk mengulur-ulur waktu eksekusi mati. ICJR menekankan bahwa Grasi merupakan salah satu upaya yang dapat diajukan oleh terpidana mati untuk meminta pengampunan atau pengurangan hukuman kepada Presiden agar terhindar dari eksekusi  mati. Dengan kata lain grasi adalah upaya bagi terpidana mati untuk mempertahankan hidupnya. Dalam kondisi ini, hanya grasi presiden lah yang mampu menyelamatkan nyawa terpidana dengan meniadakan hukuman mati, upaya terakhir seorang manusia, jadi ini tidak layak disebut sebagai upaya main-main dan mengulur waktu. (rm)

BACA JUGA: