JAKARTA, GRESNEWS.COM - Sepanjang 2017 Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mencatat, praktik hukuman cambuk di Aceh masih relatif tinggi. Hukuman cambuk terus meningkat sejak Qanun Jinayat di gunakan pada tahun 2015. Sepanjang 2016, menurut Data Monitoring ICJR, Mahkamah Syariah Aceh telah memutuskan 301 putusan perkara jinayat sejak Januari sampai dengan November 2016. Dan sepanjang 2016 (Januari sampai dengan Desember) ICJR mencatat sedikitnya 339 terpidana telah di eksekusi cambuk di seluruh wilayah Aceh.

Di tahun 2017 berdasarkan data Monitoring ICJR, sepanjang Januari sampai dengan September 2017, paling tidak terdapat sedikitnya 188 Orang dihukum cambuk yang tersebar pada 9 (sembilan) wilayah daerah NAD. "ICJR menduga angka terpidana yang dieksekusi bisa jadi lebih besar. Angka timpang antara 2016 dengan 2017 diakibatkan hanya 9 daerah yang dapat dimonitori oleh ICJR," kata Direktur Eksekutif Supriyadi Widodo Eddyono, dalam siaran pers yang diterima gresnews.com, Sabtu (23/9).

Supriyadi mengatakan, dalam penelusuran yang dilakukan ICJR, Mahkamah Syariah Aceh tidak lagi melakukan update statistik perkara qanun jinayat di Aceh. Dengan penelusuran yang terbatas, sampai dengan September 2017 dalam catatan ICJR sedikitnya terdapat 24 (dua puluh empat) kali eksekusi yang dilakukan di muka umum. Banda Aceh merupakan daerah dengan jumlah pelaksanaan eksekusi tertinggi yaitu 6 kali, disusul oleh Sigli/Pidie dan Jantho/Aceh besar dengan jumlah eksekusi sebanyak 4 kali. "Lhoksemawe sendiri melakukan eksekusi cambuk pertama sejak qanun jinayat diberlakukan," terangnya.

Dalam periode tersebut dengan jumlah 188 Narapidana. Eksekusi dilakukan setiap bulan secara konsisten dari bulan Januari sampai dengan September 2017, angka tertinggi narapidana yang dieksekusi berada di bulan Juli dengan 34 terpidana dan disusul di awal tahun dengan 32 terpidana yang dieksekusi. "Jika melihat angka ini maka setidaknya minmal tiap bulan yang dieksekusi cambuk di Aceh, dengan apabila dirata-ratakan ada 21 orang tiap bulan yang dieksekusi," papar Supriyadi.

Berdasarkan data jenis kelamin terpidana yang dieksekusi, dari 188 orang yang dicambuk sampai dengan September 2017, terdapat 32 Perempuan yang dieksekusi, sedangkan laki laki berjumlah 156 terpidana cambuk. Jumlah mayoritas laki-laki ini relatif sama dengan hasil monitoring ICJR di Tahun 2016.

Dari jumlah cambukan dikenakan kepada terpidana, catatan ICJR menunjukkan sedikitnya 4945 cambukan telah dikenakan sepanjang periode tersebut. Jumlah cambukan yang diberikan juga cukup mengkhawatirkan, dalam per bulan eksekusi, angka terkecil ada di bulan Januari dengan 134 kali cambukan. Angka cambukan terbesar tercatat dilakukan pada Mei 2017 dengan 989 cambukan yang diberikan. Jumlah cambukan tergolong tinggi juga terjadi pada Bulan Maret (758 cambukan), Juni (720 cambukan) dan September (791 cambukan). Apabila dirata-ratakan setidaknya ada 549 cambukan yang diberikan tiap bulannya.

Qanun Jinayat mengatur beberapa tindak pidana baru yang tidak diatur dalam hukum pidana nasional, seperti khamar (minuman keras), liwath (hubungan sejenis) sampai dengan perluasan zina dalam khalwat. Dalam data yang ditemukan, jenis pidana paling banyak dijatuhkan terkait dengan dengan pidana maisir (judi) dengan 109 terpidana, diikuti dengan ikhtilath (bermesraan) berjumlah 47 terpidana dan zina (hubungan sekskual di luar perkawinan) 13 orang dan khamar dengan 9 terpidana.

"Di tahun 2017 pertama kalinya juga eksekusi cambuk dilakukan kepada pelaku liwath (hubungan seksual sesama jenis) dengan 2 terpidana," kata Supriyadi.

Dari gambaran praktik hukuman cambuk tersebut, terdapat beberapa catatan penting yang menjadi perhatian serius ICJR. Pertama, pada Juli 2017 Pemerintah Provinsi Aceh mewacanakan melakukan modifikasi hukuman cambuk. Salah satu alasannya adalah terkait dengan pertumbuhan ekonomi Aceh yang berada dibawah rata-rata Nasional. Rencana tersebut akan mengubah tata cara eksekusi hukuman cambuk agar tidak dilakukan di depan khalayak ramai.

"Hal ini dilakukan agar tidak terbentuk persepsi negatif yang mempengaruhi minat investasi di Bumi Serambi Mekah. Hukuman cambuk akan dilaksanakan di tempat tertutup dengan dihadiri beberapa saksi. Dan dilakukan dalam penjara agar tidak direkam dan didramatisasi," tegas Supriyadi.

ICJR menilai, iIni adalah sikap yang keliru, akar masalah yang lebih penting adalah persoalan hak asasi manusia bukan semata persoalan minimnya investasi di NAD. Disamping itu, dengan meminta agar hukuman cambuk dilakukan secara tertutup, justru tidak akan menyelesaikan masalah di NAD. Kebijakan ini justru akan mengakibatkan kebijakan penal yang tertutup dan menimbulkan masalah baru.

"Pemerintah tampaknya telah menyadari dampak buruk dari hukum cambuk namun lebih memilih upaya untuk menutupi akses pengawasan demi investasi ketimbang secara sadar menghapuskan jenis hukuman ini," ujar Supriyadi.

ICJR, kata dia, sedari awal telah mengritik keras eksekusi hukuman cambuk yang dilakukan di depan umum, namun ICJR juga menolak kebijakan penal yang tertutup dari pengawasan publik, kebijakan ini justru berpotensi mengakibatkan minimnya pengawasan dan rentan atas perilaku abuse of power. ICJR melihat beberapa informasi terkait pelaksanaan qanun jinayat tidak lagi dibuka kepada publik.

"ICJR juga mempertanyakan data pelanggaran qanun jinayat cambukan yang menghilang dalam update statistik perkara qanun jinayat oleh Mahkamah Syariah Aceh," terang Supriyadi.

Kedua, Qanun Jinayat memiliki potensi besar dan cenderung melakukan diskriminasi pada perempuan. Selain ketentuan perkosaan yang diatur secara berantakan, pasal-pasal seperti Khalwat dan ikhtilath disusun dengan sangat karet sehingga sangat mudah menargetkan perempuan sebagai pelaku.

Kondisi ini terkonfirmasi dengan temuan yang menunjukkan bahwa dari 32 terpidana perempuan, 12 terpidana dijerat pasal khalwat dan zina, 19 terpidana dijerat pasal ikhtilath dan hanya satu yang dijerat dengan pasal lain yaitu maisir atau judi.

Ketiga, hukuman cambuk dalam Qanun Jinayat telah memperkuat legitimasi penggunaan hukuman terhadap badan/tubuh (Corporal Punishment) di Indonesia. Padahal sistem pemidanaan di Indonesia secara tegas melarang penggunaan hukuman cambuk. Penggunaan hukuman cambuk merupakan penyiksaan, hukuman kejam tidak manusiawi dan merendahkan martabat. Melanggar hukum internasional tentang penyiksaan, dan perlakuan kejam, tidak manusiawi, atau tidak bermartabat lainnya.

Dalam catatan ICJR ada beberapa kali eksekusi cambuk yang mengakibatkan luka psikis dan fisik, disamping perlakuan kejam tidak manusiawi dan merendahkan martabat karena cambuk dilakukan secara terbuka dan di depan umum. Contohnya dapat dilihat ketika pada 2 Februari 2017 di Kutaraja, seorang terpidana LD (21 Tahun) mengalami psikis shock, sehingga cambuk harus dihentikan. 27 Februari 2017, Z (25 Tahun) hanya dicambuk 4 kali karena kondisi kesehatan yang menurun. H (19 tahun) pada 14 Juli 2017 Pingsang dua kali berturut turut karena dicambuk sebanyak 50 kali.

"Ini menunjukkan bahwa hukuman cambuk yang dulunya dianggap bisa menunjukkan sanksi sosial untuk mempermalukan dan digadang-gadang dapat menimbulkan efek penggentar, kini bergeser tidak hanya untuk mempermalukan semata, namun juga untuk menyakiti secara psikis dan fisik, yang jelas jelas dilarang secara tegas dalam hukum Nasional Indonesia dan Hukum HAM," kata Supryadi.

Keempat, di tahun 2017 Qanun Jinayat untuk pertama kali menjerat pelaku liwath (homoseksual). Hukuman cambuk pada pasangan sesama jenis ini adalah bentuk diskriminasi, karena aturan pidana ini telah menimbulkan stigma luar biasa terhadap kelompok LGBT dan sekaligus menyasar mereka secara diskriminatif akibat orientasi seksual.

Selain bersifat diskriminatif dan melanggar hak privasi dari warga negara, aturan ini juga memberikan legitimasi negara untuk memberikan hukuman yang berat bagi mereka yang memiliki orientasi seksual yang berbeda. Mereka disasar dengan ancaman pidana yang tinggi, dapat dicambuk 100 kali cambukan, dalam kasus di 2017, cambukan yang diberikan pada kasus Liwath mencapai 85 kali cambukan.

Kelima, pada 2017, hukuman cambuk juga dijatuhkan pada terpidana yang bukan beragama Islam, pada 10 Maret 2017, dilaksanakan eksekusi terhadap 2 (dua) narapidana yang menganut agama Buddha. Apabila dibiarkan, kondisi ini berpotensi menimbulkan tekanan pada penduduk beragama minoritas lainnya di NAD Keenam, efek lanjutan dari hukuman cambuk yang menyasar kelompok-individu tertentu juga berpotensi membuka praktik-praktik eigenrichting – main hakim sendiri.

Ketujuh, ICJR menegaskan, pemberlakuan hukuman cambuk tidak menimbulkan dampak positif sama sekali sebagaimana diharapkan ketika aturan itu diberlakukan. Hukuman cambuk telah gagal karena jumlah tindak pidana yang terjadi tetap tinggi. Khususnya pada tindak kejahatan perjudian, dan minum-minuman keras. Sehingga anggapan skema pidana cambuk ini sebenarnya gagal mencapai tujuannya, sehingga harus dievaluasi.

Atas dasar itu, maka ICJR tetap mendorong Pemerintah Indonesia segera mengambil langkah-langkah evaluasi untuk menghapuskan segala bentuk pidana badan, (corporal punishmen) dalam peraturan perundang-undangannya, khususnya hukuman cambuk yang terbukti tidak bermanfaat. Pidana cambuk juga mencoreng wajah Indonesia yang memiliki komitmen untuk melindungi dan menghormati hak asasi manusia, pungkas Supriyadi. (mag)

BACA JUGA: