JAKARTA, GRESNEWS.COM - Hari Badak Internasional yang jatuh tanggal 22 September lalu mengingatkan kita akan kondisi darurat badak Indonesia. Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) dan Jawa (Rhinoceros sondaicus) saat ini tengah menghadapi situasi darurat, karena tekanan habitat yang cukup masif di Sumatera, bencana alam letusan Gn. Anak Krakatau, penyakit yang ditularkan ternak dan invasif tanaman langkap adalah tekanan untuk Badak Jawa di Ujung Kulon.

Pemerintah Indonesia perlu bereaksi cepat agar badak tidak bernasib sama seperti Harimau Jawa, punah. Darurat Badak Sumatera terjadi karena habitatnya makin habis, dari delapan kantong habitat badak, saat ini hanya tersisa di tiga kawasan konservasi dan lindung: Taman Nasional Way Kambas, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dan Kawasan Ekosistem Leuser.

Ironisnya, status kawasan tidak menjamin kehidupan badak bebas dari ancaman. Survei dan monitoring secara kontinyu dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan tren penurunan populasi. Jumlah mereka diperkirakan kurang dari 100 individu sejak lima tahun terakhir.

"Kita berlomba dengan waktu untuk menyelamatkan badak Indonesia, agar nasibnya tidak sama dengan Harimau Jawa," ujar Direktur Konservasi WWF-Indonesia Arnold Sitompul, dalam siaran pers yang diterima gresnews.com, Sabtu (23/9) .

"Perlindungan habitat saja dan membiarkan mereka berkembang biak secara alami tidak cukup untuk menyelamatkan kelangsungan hidup Badak, perlu segera memindahkan badak ke tempat yang aman dan melakukan pembiakan semi alami yang lebih aktif dan manajemen kawasan yang lebih baik," lanjut Arnold.

Darurat Badak juga terjadi pada Badak Jawa. Populasi Badak Jawa di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) sebaliknya relatif over populasi. Walaupun begitu, nasibnya juga tidak kalah kritis. Mereka hidup di kawasan semenanjung Ujung Kulon juga merupakan zona rawan tsunami karena letusan gunung Anak Krakatau dan pergeseran lempeng benua. "Jika ini terjadi, habis seluruh populasi Badak Jawa," ujar Arnold.

Hasil sensus yang dilakukan terhadap ternak masyarakat yang ada di sekitar kawasan TNUK menunjukkan bahwa 90% kerbau masyarakat positif mengidap bakteri tripanosoma. Aktivitas ternak yang tidak dikandangkan dan dilepasliarkan hingga masuk ke dalam kawasan TNUK dikhawatirkan bisa menyebarkan bakteri tersebut kepada Badak Jawa dan bukan tidak mungkin bisa menyebabkan kematian.

Untuk menghindari punahnya populasi karena bencana alam, memecah populasi Badak Jawa dengan cara membangun populasi kedua merupakan langkah strategis yang dibutuhkan untuk konservasi jangka panjang spesies ini. "Rumah Baru" badak ini bukan hanya sekadar mengurangi kepadatan populasi dan memberi ruang untuk Badak Jawa berkembang secara sehat, tapi merupakan langkah antisipatif untuk mencegah Badak Jawa dari kepunahan.

Tantangan lain dalam konservasi Badak Jawa di Ujung Kulon adalah hadirnya pohon langkap, tanaman invasif yang memberikan gangguan terhadap pertumbuhan pakan badak. Pengendalian pohon langkap perlu dilakukan secara terus menerus agar tersedia ruang tumbuh yang kondusif untuk ratusan jenis pohon pakan bagi Badak Jawa.

"Badak ini adalah kebanggaan bangsa Indonesia. Jenisnya hanya satu-satunya di dunia, tapi kenyataannya, mereka adalah satwa langka yang berstatus kritis," tegas Arnold.

Jika Indonesia gagal menyelamatkan Badak Sumatera dan Badak Jawa dari kepunahan, maka dunia akan kehilangan dua species. Diperlukan keseriusan semua pihak untuk penyelamatannya.

"Adalah tugas kita semua, untuk turut menjaganya. Nasib badak ada di tangan anda! Anda bisa membuatnya terus hidup atau punah. Diperlukan kebijakan pemerintah Indonesia untuk segera memindahkan badak, pembuatan habitat semi alami yang dapat mendukung perkembangbiakan badak dan memperkuat pengamanan kawasan," pungkas Arnold. (mag)

BACA JUGA: