JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah dan DPR dikabarkan telah menyepakati masa penahanan dalam RUU Terorisme total menjadi 760 hari, masa penahanan ini diluar masa penangkapan yang baru saja disepakati yaitu 21 hari. Dalam pembahasan yang bersifat tertutup ini, ICJR (Institute for Criminal Justice Reform) sebelumnya telah meminta agar Pemerintah memberikan dasar yang kuat apa alasan menaikkan masa penahanan tersebut.

Dalam hitungan ICJR, apabila benar waktu penahanan total sampai dengan MA mencapai 760 hari, maka ini akan menjadi Undang-undang dengan masa penahanan paling lama yang pernah dikenal oleh bangsa Indonesia. Disisi lain, aturan ini benar-benar timpang dengan aturan lain yang ada dalam peraturan di Indonesia, misalnya KUHAP yang hanya 400 hari.

"Tidak hanya itu, ketentuan ini jauh dari apa yang telah direkomendasikan oleh pemerintah dalam RUU Terorisme sebelumnya, yaitu total penahanan apabila disahkan adalah 740 hari," kata Direktur Eksekutif ICJR Supriyadi Widodo Eddyono, kepada gresnews.com, Sabtu (17/6).

Bagi ICJR, lamanya penahanan dalam RUU Terorisme memang sangat panjang, mengingat dengan aturan sebelumnya yang hanya total 470 hari masa penahanan sampai dengan di tahap MA. Dengan rentang tersebut, terbukti sistem peradilan pidana Indonesia masih mampu secara efektif melakukan penuntutan dan proses hukum pada seluruh pelaku terorisme yang diproses, dengan seluruhnya berakhir dengan vonis terbukti dan dijatuhi sanksi pidana.

ICJR tetap dalam posisi mengikuti alur dasar dalam UU Terorisme yang menghendaki penanganan tindak pidana terorisme di Indonesia melalui mekanisme criminal justice atau peradilan pidana. "Dengan begitu maka sudah selayaknya prinsip prinsip dasar fair trial dan HAM dikedepankan, memperpanjang masa penahanan tanpa dasar yang cukup kuat dan mekanisme pengawasan lemah, justru akan memperkeruh suasana peradilan pidana di Indonesia," tegas Supriyadi.

Sampai detik ini, Indonesia belum memiliki mekanisme complain penahanan yang cukup kuat. Satu-satunya mekanisme complain penahanan hanya berupa praperadilan, namun seperti diketahui, praperadilan selama ini lebih bersifat adminstratif sehingga susah menjadi alat pengawasan kewenangan aparat penegak hukum yang efektif.

Selain itu, Indonesia juga dibayang-bayangi potensi penyiksaan. Dalam catatan ICJR, sepanjang 2016, terjadi 19 kasus penyiksaan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum sesuai dengan Pasal 1 Konvensi Anti Penyiksaan. Dari 19 Kasus tersebut, 4 tersangka meninggal dunia diduga akibat penyiksaan, catatan pentingnya, mayoritas penyiksaan terjadi di kantor-kantor Polisi dan tempat penahanan atau pada saat melakukan proses penyidikan.

Masalahnya, Indonesia belum memiliki Mekanisme Pencegahan Nasional Bagi Pencegahan Penyiksaan yang komprehensif, termasuk melakukan ratifikasi Protokol Opsional PBB mengenai Penentangan terhadap Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia (Optional Protocol to the United Nations Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment - OPCAT). Padahal mekanisme ni pentung untuk menciptakan mekanisme yang memungkinkan kunjungan ke tempat-tempat penahanan atau penghukuman.

Meskipun ICJR memahami tingkat kesulitan memecahkan kasus terorisme yang sangat terorganisir, namun Indonesia harus tetap memegang teguh komitmen sebagai Negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan berkomitmen melakukan reformasi di isu peradilan pidana. "Untuk itu, perlu dipikirkan ulang mengenai masa penahanan, atau setidak-tidaknya, menciptakan sebuah mekanisme pengawasan yang lebih kuat serta mengaktifkan Mekanisme Pencegahan Nasional Bagi Pencegahan Penyiksaan yang komprehensif," pungkas Supriyadi. (gresnews.com/mag)

BACA JUGA: