JAKARTA, GRESNEWS.COM - Sidang kedua praperadilan antara Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) Nur Alam dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selaku termohon semakin memanas. Dalam sidang dengan agenda pembacaan jawaban termohon, termohon berusaha membantah permohonan terkait penyidik Novel Baswedan dan perhitungan kerugian negara.

Kepala Biro Hukum KPK, Setiadi menyatakan bahwa penyidik kasus Nur Alam telah memperoleh jumlah kerugian negara akibat penyalahgunaan wewenang. Namun pihak KPK telah mengklaim adanya kerugian negara dalam perkara Nur Alam.

"Kalau dari pihak mereka (Nur Alam) mengatakan tidak ada kerugian negara, kami sudah dapatkan beberapa informasi tentang kerugian negara itu. Baik itu dari kesaksian dari saksi yang kami mintai keterangan, maupun dari dua instansi yang sudah kami minta perhitungan kerugian negara itu," kata Setiadi di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan Jalan Ampera Raya, Rabu (5/10).

Sementara itu, pihak pemohon melalui kuasa hukumnya Maqdir Ismail menyatakan sebaliknya. Maqdir menyatakan saat Nur Alam ditetapkan sebagai tersangka, KPK belum memiliki angka kerugian negara akibat penyalahgunaan wewenang yang dilakukan Nur Alam. Maqdir berpendapat harus diketahui angka kerugian negara terkait penyalahgunaan wewenang yang dilakukan Nur Alam.

"Kerugian negara harus dapat dihitung dan pasti dan dilakukan oleh yang berwenang tidak terpenuhi," ujar salah satu kuasa hukum Nur Alam saat membacakan permohonan praperadilan Selasa, (4/10) kemarin.

Nur Alam dijerat oleh KPK dengan Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) KUHP. Namun penetapannya sebagai tersangka tak dibuktikan dengan angka kerugian negara saat penetapan Nur Alam sebagai tersangka.

Setiadi menambahkan, KPK memfokuskan kasus Nur Alam pada penyalahgunaan wewenang Nur Alam selaku Gubernur Sultra sejak 2009-2014. Soal izin, imbuh Setiadi tak menjadi fokus utama KPK. "Kami tidak permasalahkan izin tapi penyalahgunaan wewenang," ungkap Setiadi.

Dengan alasan demikian, KPK tak mau terpancing oleh pihak pemohon yang menganggap izin yang diterbitkan merupakan kewenangan gubernur. Dibalik itu, ada kiriman uang senilai US$ 4,5 juta yang dikirim ke Nur Alam berdasarkan Laporan Hasil Analisis (LHA) yang dikeluarkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

"Jadi kalau mereka sudah katakan dibawa ke MA itu terserah, kita kan beda," ungkap Setiadi. Setiadi menyatakan sebaliknya bahwa terdapat kerugian negara dari proses administratif yang dilakulan politisi Partai Amanat Nasional (PAN) itu.

PERLU ADA HITUNGAN KERUGIAN NEGARA - Sementara itu, pengamat hukum pidana dari Universitas Tarumanagara Hery Firmansyah menyatakan, penggunaan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 tahun 1999 atau Pasal 3 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 tahun 2001 memang harus ada kerugian negara atas perbuatan pidana yang dilakukan.

"Penyidik kan bergerak kalau ada kerugian negara. Jadi ada perbuatan pidananya dulu baru bergerak," kata Hery saat dihubungi gresnews.com, Rabu (5/10).

Hery melanjutkan, jika belum terdapat kerugian negara maka tidak bisa dikategorikan sebagai perbuatan pidana. Makanya harus ada kerugian negara dulu baru bisa ditetapkan sebagai tersangka.

"Enggak bisa. Harus ada kerugian negara yang dihitung melalui lembaga yang ditugaskan melalui undang-undang yakni BPK atau BPKP," ujar Hery. Menurut Hery, justru adanya kerugian negara menjadi pintu masuk bagi penyidik untuk melakukan penyidikan.

Lebih jauh Hery menjelaskan, kerugian negara itu merupakan hasil dari perbuatan pidana. Meskipun begitu, pasal itu memang dapat juga dimaknai secara luas. Tidak hanya ada kerugian negara, tetapi juga kata dapat dalam frase pasal 3 bisa dimaknai adanya potensi kerugian negara.

Dia menuturkan, umumnya memang harus ada kerugian negara. Tapi kalau ada tindakan administratif seperti penyalahgunaan wewenang yang dilakukan dan berpotensi merugikan keuangan negara juga bisa ditarik ke UU Tipikor.

"Memang pasal itu cukup luas. Kalau tindakan administratif yang salah tapi dia tidak menerima apa pun untuk memperkaya diri sendiri atau kelompok bisa juga ditarik ke UU Tipikor," pungkas Hery.

BACA JUGA: