JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah dinilai tidak realistis menetapkan target penerimaan pajak negara dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) tahun 2018. Selain itu, penyaluran bantuan non-tunai pun dinilai kurang optimal akibat tidak memadainya infrastruktur yang digunakan. "DPR baru saja mengesahkan APBN 2018 dan ada sejumlah hal yang perlu jadi perhatian. Pertama, kurang realistisnya target penerimaan perpajakan dan kedua terkait penyaluran bantuan non-tunai," kata peneliti Wiratama Institute Muhammad Syarif Hidayatullah dalam siaran pers yang diterima gresnews.com, Kamis (26/10).

Ia mengatakan, pemerintah harus lebih konservatif dalam menentukan target penerimaan pajak dalam APBN 2018, sehingga kesalahan penetapan target penerimaan pajak pada APBN 2015 dan 2016 terulang kembali. Menurut dia, penerimaan perpajakan pada APBN 2018 ditargetkan menjadi Rp1.618 triliun, atau meningkat Rp8,7 triliun dibandingkan RAPBN 2018, dan naik 9,91% dibandingkan target APBN-P 2017.

"Target ini terkesan konservatif apabila membandingkan dengan rata-rata pertumbuhan penerimaan perpajakan selama satu dekade sebesar 13,9%. Akan tetapi, perlu menjadi catatan adalah besarnya pertumbuhan penerimaan pajak tersebut ditopang oleh boom harga komoditas 2009-2012," jelas Syarif.

Ia berpendapat, semenjak harga komoditas mengalami penurunan yang berdampak pada perlambatan pertumbuhan ekonomi, rata-rata pertumbuhan penerimaan perpajakan Indonesia hanya sebesar 7% pada periode tahun 2013-2016, sehingga target 9,91% masih kurang realistis.

"Dalam kondisi perekonomian yang sedang lesu, target PPN pada APBN 2018 yang diresmikan justru meningkat sebesar Rp6 triliun apabila dibandingkan versi Rancangan APBN 2018. Hal itu kurang realistis, karena target PPN tumbuh sebesar 13,8% dibanding target APBN-P 2017. Sedangkan rata-rata pertumbuhan PPN selama tiga tahun terakhir hanya sebesar 5,2%," katanya lagi.

Sementara itu, kata dia, melemahnya daya beli masyarakat dapat memengaruhi target PPN tersebut. Daya beli yang melemah merupakan permasalahan riil. Selain itu, stagnannya tingkat upah riil selama beberapa tahun terakhir, lapangan pekerjaan baru yang mulai didominasi oleh pekerjaan setengah menganggur, hingga inflasi pangan yang masih relatif tinggi tentu menggerus daya beli masyarakat.

Selain itu, tambah dia, perlambatan perekonomian, permasalahan ekonomi global, menyebabkan ketidakpastian untuk kalangan menengah atas, sehingga ekspektasi ekonomi ke depan dinilai kurang baik.

"Hal itu menyebabkan kalangan menengah ke atas meningkatkan tabungan dan menahan belanja (precautionary saving). Terlihat dari meningkatnya tabungan kalangan menengah atas. Kondisi ini pada akhirnya akan menyulitkan pemerintah untuk memenuhi target kenaikan PPN tersebut," tambah Syarif lagi

Target Penerimaan perpajakan yang kurang realistis, ucap Syarif, akan berdampak kurang baik pada beberapa hal. Yaitu, dapat menyebabkan shortfall perpajakan, menghambat realisasi belanja dan pada akhirnya memperlebar defisit anggaran.

Ia mengingatkan agar pemerintah belajar dari APBN 2015 dan 2016 yang target penerimaan pajak sebesar 33% dan 24%, namun pada akhirnya tidak terpenuhi. "Akibat tidak realistisnya target penerimaan perpajakan, di tengah tahun anggaran pemerintah terpaksa ‘lempar handuk’ dan menambal kekurangan melalui kebijakan defisit. Pemerintah terpaksa menggenjot tambahan utang di akhir tahun 2015, yang menyebabkan defisit Indonesia membengkak hingga Rp298,4 triliun, dari target awal yang hanya Rp222,51 triliun atau realisasinya mencapai 134%," ungkap dia.

Hal serupa, katanya, terjadi pada tahun 2016, yang membuat akhirnya defisit yang pada awalnya dalam APBN 2016, ditargetkan hanya Rp273 triliun, namun realisasi pembiayaannya mencapai Rp331 triliun.

Lebih jauh, kata Syarif lagi, subsidi energi terlihat mengalami penurunan pada APBN 2018. Namun hal itu lebih disebabkan oleh pemindahan ubsidi pangan menjadi mekanisme subsidi non-tunai.

Skema non-tunai, jelasnya, memang langkah yang baik. Akan tetapi, pemerintah harus mempersiapakan infrastruktur penyaluran Bantuan Non-tunai secara baik. Apalagi, pemerintah telah menargetkan 10 juta penerima subsidi pangan akan tersalurkan dengan mekanisme non-tunai.

"Untuk itu, pemerintah harus memastikan bahwa mekanisme E-Warong dapat diterapkan dengan baik sehingga bantuan pangan tersebut dapat terealisasi. Tidak terealisasinya bantuan ini tentu dapat merugikan masyarakat menengah bawah, karena dapat menggerus daya belinya. Dan perlu menjadi perhatian, bahwa 50% konsumsi masyarakat miskin adalah konsumsi pangan,” tandas Syarif. (mag)

BACA JUGA: