JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pertemuan bilateral antara Presiden Jokowi dan Presiden Filipina Rodrigo Duterte membahas sejumlah isu, seperti soal penanganan milisi Abu Sayyaf dan kerjasama bilateral di bidang politik, sosial dan kebudayaan. Namun rencana kerjasama dua pemerintah terkait barter tahanan antara 700 calon jemaah haji Indonesia yang menggunakan paspor Filipina dan terpidana mati kasus narkotika asal Filipina Mary Jane justru memicu polemik. Pemerintah Indonesia diminta untuk berhati-hati mengambil kebijakan tersebut.

Dosen Program Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Jawa Barat, Teuku Rezasyah, mengatakan, apabila barter dilakukan begitu saja, hal itu justru akan mencederai hukum Indonesia serta mencoreng nama pemerintah dan aparat hukum. Sebab Mary Jane adalah terpidana mati kasus narkotika dan hal itu adalah kejahatan yang serius di Indonesia dan Filipina. Apabila pemerintah harus melakukan barter haruslah dilakukan dengan skenario yang lebih elegan.

Teuku mengatakan, Pemerintah Filipina terlebih dahulu harus menyatakan kepada publik bahwa pelaku kejahatan yang menipu para calon jemaah haji asal Indonesia sudah diproses hukum, sedangkan 700 calon jemaah haji Indonesia adalah korban penipuan, dan akan dipulangkan dengan biaya pihak Indonesia. "Mereka adalah orang-orang yang dirugikan secara spiritual, uang dan hukum, jadi tidak bisa sembarangan tukar satu lawan 700," ujar Teuku kepada gresnews.com, Jumat (9/9).

Hal tersebut di atas penting untuk dilakukan, sebab para jemaah haji tersebut adalah korban perdagangan orang yang diduga dilakukan oleh oknum asal Filipina dan hal itu bukan hanya terjadi pada tahun ini saja. Para pelaku kejahatan itu memanfaatkan harapan masyarakat Indonesia untuk beribadah dan lemahnya birokrasi Filipina. Tentunya kesalahan tersebut terletak di tangan Filipina. Apalagi jika melihat banyaknya korban, dapat diindikasikan kejahatan tersebut dilakukan secara sistematis. "Jemaah haji itu juga terancam kehilangan kewarganegaraan karena memiliki paspor Filipina," ungkap Teuku.

Untuk Mary Jane sendiri, Teuku menilai terlepas apakah dia itu benar-benar jaringan sindikat narkoba internasional atau bukan, pemerintah perlu menegaskan kepada Filipina bahwa Mary Jane adalah seorang pelaku kriminal yang telah diproses secara hukum dengan benar melalui mekanisme pengadilan terbuka serta diliput oleh dunia. Posisi Filipina harus menghormati proses hukum tersebut walaupun di belakang layar pemerintah bisa bernegosiasi dengan pihak Filipina agar memakai jalur lain, seperti Palang Merah Internasional, untuk ikut masuk menekan Indonesia agar membebaskan Mary Jane dengan mengedepankan prinsip hak asasi manusia.

Palang Merah Internasional nantinya dapat meminta Indonesia untuk memindahkan sisa masa tahanan Mary Jane ke Filipina dengan alasan apabila Mary Jane tetap ditahan dengan ketidakpastian dan jauh dari keluarga, hal tersebut mencederai hak asasi manusia dan bisa berakibat pada kematian.

Palang Merah Internasional bisa mengajukan pemindahan tahanan Mary Jane ke Filipina. Mary Jane bisa ditahan di penjara yang lebih manusiawi di bawah yuridiksi Palang Merah Internasional dan Pemerintah Indonesia dipersilakan memeriksanya setiap tahun.

"Dengan cara seperti ini Indonesia tidak akan kehilangan muka dan bandar-bandar narkoba tidak merasa menang," tegasnya.

Sementara itu, Ketua Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia (KABAR BUMI) Karsiwen mengatakan, sudah lebih dari setahun hukuman mati Mary Jane ditangguhkan, namun belum mendapatkan kepastian atas kebebasan atau keselamatannya. Keluarga Mary Jane bahkan telah menemui Presiden Duterte untuk menyampaikan rekaman permohonan Mary Jane agar diselamatkan dari hukuman mati di Indonesia.

Ia berharap Presiden Duterte dalam pertemuan dengan Presiden Jokowi dapat memintakan pengampunan untuk Mary Jane. Menurutnya, Mary jane adalah korban perdagangan manusia dan sindikat narkoba seperti halnya yang dialami oleh Meri Utami. Terlebih lagi, pelaku yang merekrut Mary Jane telah menyerahkan diri dan sedang menjalani penahanan serta persidangan atas kasus sindikat narkoba dan perdagangan manusia.

"Mary Jane adalah korban sindikat narkoba dan perdagangan manusia yang divonis hukuman mati," ujar Karsiwen melalui pesan yang diterima gresnews.com, Jumat (9/8).

Ia menyatakan mendukung Presiden Duterte dan pemerintah Indonesia yang konsisten memberantas dan melakukan penegakan hukum atas sindikat narkoba dan perdagangan manusia yang merugikan pemuda dan masyarakat luas.

Tetapi ia meminta jangan juga melupakan fakta para sindikat narkoba, khususnya di Indonesia, yang terbukti banyak menyasar perempuan migran sebagai korbannya untuk dijadikan kurir. Sindikat tersebut telah menjebak kaum muda, utamanya perempuan, dengan mengiming-imingi pekerjaan dan berbagai modus lainnya. Bahkan saat ini, 209 orang buruh migran Indonesia yang mayoritas adalah perempuan, juga tengah menghadapi hukuman mati di luar negeri karena menjadi korban sindikat narkoba.

Oleh karena itu, ia berharap semua buruh migran yang menjadi korban sindikat narkoba dan perdagangan manusi, baik di Indonesia maupun di luar negeri, harus dapat diselamatkan. Termasuk Mary Jane yang menjadi korban sindikat narkoba dan perdagangan manusia hingga divonis hukuman mati di Indonesia.

"Kami sangat berharap Mary Jane bisa pulang ke tanah airnya dan segera berkumpul dengan kedua anak dan orang tuanya," ujarnya.

BARTER NAPI NARKOBA - Teuku Rezasyah memaparkan bahwa pertukaran tawanan atau repatriasi sudah sering terjadi di dunia internasional, khususnya dalam dunia spionase. Seperti Amerika Serikat yang melakukan pertukaran tawanan dengan Uni Soviet selama masa perang dingin atau pun Jerman barat dan Jerman Timur. Di masa sekarang pertukaran juga masih terjadi, contohnya di Timur Tengah antara Israel dan Palestina. Terbaru adalah pertukaran satu prajurit Saudi Arabia dengan tujuh orang Yaman.

Di Indonesia sendiri pernah dilakukan pertukaran tawanan pada zaman pemerintahan Soekarno. Waktu itu Indonesia menahan agen CIA Allan Pope yang terlibat pemberontakan Permesta di Indonesia. Dia tertangkap oleh TNI ketika usahanya mengebom armada gabungan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dengan pesawat pembom B26 gagal dan akhirnya berhasil ditembak jatuh.

"Oleh Bung Karno ditunjukkan ke dunia lewat media massa bahwa ini aksi CIA.  Akhirnya Amerika membungkuk dan meminta membebaskan Allan Pope," ujar Teuku.

Ketika bertemu Presiden Amerika Serikat, John F. Kennedy, di Gedung Putih, Washington, AS, pada 24 April 1961, Sukarno menawarkan pembebasan Pope asalkan AS mendukung Indonesia merebut Irian Barat yang pada waktu itu masih dikuasai Belanda. Walaupun Amerika secara resmi tidak menyatakan menyetujui syarat tersebut akan tetapi Irian Barat akhirnya dapat dengan mudah direbut oleh Indonesia yang mana dipercayai Amerika ikut mendukungnya.

Selain dukungan perebutan Irian Barat, menurut Guntur Sukarnoputra, dalam bukunya yang berjudul Bung Karno: Bapakku, Kawanku, Guruku, pembangunan Jalan Jakarta By Pass juga merupakan hasil barter pembebasan Allen Pope.

Teuku juga mengatakan ada rumor, Indonesia juga mendapatkan ratusan ribu seragam dan senjata untuk TNI dari Amerika sebagai bagian dari barter. "Tapi untuk napi narkoba di Indonesia belum pernah ada barter," ujar Teuku.

Sebelumnya rencana kerjasama barter tahanan ini diungkapkan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H Laoly. Yassona mengungkapkan bahwa Presiden Filipina Rodrigo Duterte menyetujui tidak akan memidanakan 700-an calon haji asal Indonesia yang menggunakan paspor Filipina. Keputusan itu diambil setelah Presiden Joko Widodo menemui Duterte di sela-sela pertemuan negara-negara G20 di Hangzhou, Tiongkok.

Namun, menurut Yasonna, persetujuan itu tidak gratis, pemerintah diminta turut mempertimbangkan terkait status hukum terpidana mati kasus narkoba asal Filipina, Mary Jane.

BACA JUGA: