JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kasus penyuapan yang dilakukan manejemen PT Brantas Abipraya terhadap petinggi Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta sudah memiliki kekuatan hukum tetap. Hal itu terlihat dari sikap ketiga orang terpidana kasus ini yang tidak mengajukan banding atas putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.

Komisi Pemberantasan Korupsi pun langsung mengeksekusi ketiga terpidana yaitu Sudi Wantoko, Dandung Pamularno dan Marudut Pakpahan ke Lembaga Pemasyarakatan (LP) Sukamiskin, Bandung, Jumat (9/9) kemarin. Ketiga terpidana akan menjalani masa hukumannya masing-masing di LP tersebut.

Seperti diketahui, dalam putusannya, majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta memutus Sudi bersalah dan menghukumnya dengan hukuman 3 tahun penjara dan denda Rp150 juta. Sementara Dandung diganjar 2,5 tahun penjara dan denda Rp100 juta, lalu Marudut yang berperan sebagai perantara divonis 3 tahun penjara dan denda Rp100 juta.

Majelis hakim menilai, ketiganya terbukti melanggar Pasal 5 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 53 Ayat (1) jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Hanya saja, sudah tetapnya status perkara ini, justru membawa konsekuensi lain bagi KPK. Pasalnya, majelis hakim memutuskan, kasus ini murni kasus pemberian suap. Meskipun terjadi perbedaan pendapat (dissenting opinion) dimana dua anggota majelis hakim berpendapat kasus ini adalah percobaan penyuapan, tetapi tiga hakim lainnya tetap berkeputusan kasus ini adalah kasus suap. Mayoritas anggota majelis hakim meyakini pemberian suap murni sudah terjadi.

Putusan inilah yang harus ditindaklanjuti KPK dengan mengusut tuntas pihak penerima suap yaitu Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Sudung Situmorang dan Asisten Pidana Khusus Kejati DKI Tomo Sitepu. Meski kasus ini adalah kasus suap, namun hingga sang pemberi divonis, KPK belum juga menetapkan tersangka penerima suap.

Dalam kasus ini ada dugaan kuat uang suap itu memang diberikan untuk Sudung dan Tomo agar kasus yang membelit PT Brantas Abipraya tak diteruskan pihak Kejati DKI.

Terkait kasus ini, pakar hukum pidana Universitas Indonesia Gandjar Laksmana Bonaparta berpendapat, secara hukum apa yang ada dalam suatu putusan hakim merupakan fakta yang ada dalam perkara ini. "Secara hukum, apa yang ada dalam putusan harus dianggap sebagai fakta yang sebenarnya," kata Gandjar saat dihubungi wartawan, Sabtu (10/9).

Oleh karena itu, KPK harus menindaklanjuti perkara ini dengan mengusut pihak penerima suap. "Maka konsekuensinya penegak hukum harus menindaklanjuti dengan mengembangkannya," tutur Gandjar.

Dibebani "utang" putusan majelis hakim bahwa kasus ini adalah kasus suap dan KPK harus mengusut penerima suap, KPK malah terlihat ragu. Ketika ditanya terkait kasus ini, Pelaksana harian Kepala Biro Humas KPK Yuyuk Andriati mengatakan untuk kasus ini sendiri memang belum ada perkembangan lebih lanjut.

Dia mengaku, tim Jaksa KPK masih akan mempresentasikan hasil kajian mereka mengenai putusan hakim kepada para pimpinan. "Waktunya dalam minggu ini tapi posisi KPK melaksanakan keputusan pengadilan masih dimungkinkan penelusuran lebih lanjut," kata Yuyuk di kantornya, Jumat (9/9).

Oleh karena itu, kata Yuyuk, pihaknya belum bisa menjelaskan lebih jauh mengenai putusan ini. "Masih dikomunikasikan di internal pimpinan belum bisa dijawab sekarang," pungkasnya.

Yuyuk mengatakan, dengan telah dieksekusinya tiga orang terdakwa itu bukan berarti kasus tersebut telah selesai. KPK, kata Yuyuk, masih terus membahas perkara ini di tingkat internal untuk terus menembangkan kasus tersebut. "Belum selelsai masih ada pembahasan kasus ini di internal tunggu saja hasilnya," pungkas Yuyuk.

KONTROVERSI KASUS - Sikap KPK dalam kasus suap PT Brantas Abipraya ini memang terkesan angin-anginan. Bahkan ada dugaan bahwa KPK memang ragu dan cenderung berupaya "menyelamatkan" Kajati DKI Sudung Situmorang agar tak terjerat kasus ini. Itu terlihat dari konstruksi dakwaan jaksa KPK yang juga memasukkan unsur percobaan penyuapan.

Nah, ketika majelis hakim memutuskan kasus ini adalah penyuapan, jaksa KPK terlihat ragu menjawab pertanyaan wartawan terkait apakah KPK akan menindaklanjuti putusan dengan menyidik Sudung dan Tomo. Jaksa KPK Irene Putri usia persidangan, Jumat (2/9) lalu melah terkesan setuju dengan dissenting opinion yang dilakukan hakim Casmaya dan Edi yang menyebutkan kasus ini percobaan penyuapan.

"Jadi mereka berdua (Casmaya dan Edi-red) sepakat sama dengan kami itu adalah percobaan. Yang tiga hakim ketua dan ad hoc menyatakan itu menurut mereka suap. Tapi dasar mereka adalah karena tidak pernah ada praktik dalam hukum acara adanya percobaan suap," kata Irene.

Irene juga mengindikasikan pihaknya tidak akan mengembangkan perkara ini untuk menjerat Sudung dan Tomo. Ia beralasan risiko untuk menjerat kedua pejabat Kejati DKI Jakarta itu cukup tinggi.

"(Pengembangan) Itu nanti dulu. Nanti kita laporkan ke pimpinan. Karena ini kan putusannya tiga-dua ya. Ini kan nanti ada risiko hukum seperti apa kita harus kaji ulang kembali. Karena menurut kami kemarin sama dengan hakim dua itu bahwa ini adalah percobaan suap, bukan percobaan janji tapi percobaan pemberian," tutur Irene.

Saat ditanya lebih spesifik apakah pihaknya sulit meneruskan perkara ini, Irene mengamininya. "Ya pasti nggak bisa. Satu saksi bukan saksi. Karena hanya Marudut yang bilang. Jadi sentralnya ada di Marudut," tuturnya.

Jika benar KPK tak menindaklanjuti kasus ini, maka ini merupakan kali pertama kasus suap yang disidik KPK tidak menjerat pihak penerima. Hal ini semakin menegaskan kecurigaan publik ada sesuatu di internal KPK sehingga ragu menjerat Sudung dan Tomo yang diduga kuat terlibat kasus ini.

Terlebih perjalanan kasus ini juga terkesan janggal. Pertama, sejak proses penangkapan, penyidik menduga bahwa Marudut adalah seorang jaksa. Komunikasi antara penyelidik dan penyidik sepertinya tidak berjalan baik sehingga terjadi kesalahpahaman dalam proses penangkapan.

Kedua, tentang adanya komunikasi pimpinan KPK dengan petinggi Kejaksaan Agung beberapa saat setelah terjadi penangkapan Marudut selaku perantara. Uang dari para petinggi PT Brantas diduga akan diberikan kepada Sudung dan Tomo melalui Marudut.

Saat dikonfirmasi mengenai komunikasi ini, Yuyuk membenarkan hal tersebut. "Hanya koordinasi, tidak terkait perkara," tuturnya.

Pembenaran yang dikatakan Yuyuk memang menjadi pertanyaan tersendiri. Mengapa KPK harus berkoordinasi dengan petinggi Kejaksaan Agung padahal pada operasi penangkapan tidak ada oknum pejabat Kejaksaan Tinggi DKI yang ikut digelandang.

Selanjutnya saat proses pemeriksaan Sudung di KPK juga terkesan tertutup. Dari informasi yang didapat, pemeriksaan dilakukan di gedung baru KPK yang sama sekali tidak terpantau para awak media. Dan pemeriksaan Sudung,

Selain itu, saat Sudung diperiksa tim penyidik, ada salah satu petinggi Kejaksaan Agung yang mengikuti pemeriksaan. Hal ini juga menjadi pertanyaan tersendiri, sebab bisa jadi merupakan intervensi dan membuat Sudung tidak mengakui bahwa uang tersebut ditujukan kepadanya. Yuyuk lagi-lagi membenarkan perihal pemeriksaan itu. "Iya tapi datang untuk melakukan koordinasi saja," terang Yuyuk.

PEMBELAAN KEJAGUNG - Di saat KPK ragu, pihak Kejaksaan Agung justru menegaskan keyakinannya, dalam kasus ini tidak ada keterlibatan petinggi Kejati DKI. Jaksa Agung M Prasetyo mengatakan, keyakinan itu muncul dari hasil pemeriksaan internal Jaksa Agung Muda Pengawasan.

"Sikap kita jelas pemeriksaan internal tidak ada keterlibatan yang lain kecuali Marudut yang aktif memberikan suap," kata Prasetyo di Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Jumat (12/9).

Kini kewenangan perkara itu kata Prasetyo ditangani oleh KPK. Namun pihaknya kembali menegaskan dalam pemeriksaan internal oleh Jamwas tidak ada keterlibatan pihak lain selain Marudut.

"Tidak ada keterlibatan berdasarkan pemeriksaan Jamwas. Marudut sudah diperiksa yang lain sudah diperiksa, saksi lain sudah. Dari sisi kita berdasarkan pemeriksaan internal tidak ada keterlibatan," pungkasnya.

Dalam persidangan, Marudut Pakpahan terdakwa kasus suap Kejati DKI mengaku berinisiatif menyediakan ´uang operasional´ untuk lancarnya penyelesaian kasus PT Brantas Abipraya (PT BA) yang sedang ditangani Kejati DKI. Uang sebesar Rp2,5 miliar hingga Rp3 miliar tersebut diminta Marudut disiapkan untuk diserahkan ke Sudung Situmorang dan Tomo Sitepu.

Sebelumnya hakim Johannes Priyatna menanyakan sumber istilah dana operasional sebesar Rp3 miliar, apakah berasal dari pihak Kejati atau dari Marudut dan Dandung. "Yang menentukan angka Rp 3 miliar ini dari siapa?" tanya hakim.

"Dari kami berdua. Setelah itu Dandung mengatakan nilai uang tersebut akan disampaikan ke direksi," jawab Marudut.

"Apa yang dijadikan dasar sehingga timbul angka Rp 3 miliar?" tanya hakim. "Saya enggak tahu tapi di situ spontan gitu aja," kata dia. (dtc)

BACA JUGA: