JAKARTA, GRESNEWS.COM - Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti hilang kesabaran. Surat teguran yang ia layangkan kepada pemerintah Provinsi Bangka Belitung terkait pertambangan timah ilegal yang mencemari area penangkapan ikan nelayan di Babel tak digubris.

Susi pun berjanji akan turun langsung menertibkan tambang-tambang liar di wilayah Babel. Susi mengaku masih menunggu arahan langsung dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk bisa melancarkan aksinya itu.

"Saya tinggal menunggu perintah Pak Presiden saja. Apakah illegal mining, kapal hisap ini apakah masuk ke kapal yang harus saya tertibkan, kalau Pak Presiden perintah saya, saya kerjakan!" kata Susi dengan nada tegas saat ditemui Gresnews.com di gedung Minabahari I Kementerian Kelautan dan Perikanan, Senin (22/6).

Kondisi saat ini, kata Susi, aktivitas pertambangan ilegal timah di daerah pesisir Bangka Belitung kian menjadi ancaman ekologi serius bagi nelayan. "Dampaknya juga sangat berbahaya bagi ketahanan ekologis dan ekosistem sumber daya perikanan. Namun, ancaman tersebut belum sepenuhnya disadari oleh para pemangku kebijakan (stakeholder) di daerah," ujarnya.

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sudah beberapa kali melayangkan protes terhadap aktivitas pertambangan ilegal yang ada di Bangka Belitung (Babel) itu. Susi Pudjiastuti menegaskan, bisnis tambang ilegal yang kini berlangsung di Babel akan membawa bencana bagi nelayan misalnya rusaknya kualitas ekosistem laut dan menurunnya populasi ikan.

Menteri asal Pangandaran, Jawa Barat itu mengaku telah menerima aduan langsung dari nelayan Babel yang sempat menyambanginya di Kantor KKP, Gambir, Jakarta Pusat beberapa waktu lalu. Tak lama setelah menerima pengaduan itu, Susi pun bergegas melayangkan protes kepada Pemerintah Provinsi Babel melalui surat nomor B.710/MEN-KKP/XII/2014 tertanggal 22 Desember 2014 tentang penghentian sementara aktivitas tambang timah laut di Bangka Belitung

Surat itulah yang "dicueki" pihak Pemprov Babel sehingga Susi pun meradang. Pemprov Babel tetap saja tidak melakukan penertiban atas tambang liar di lepas pantai Babel, khususnya kapal penghisap pasir.

"Saya sudah pernah menanggapi keluhan nelayan di Babel, sudah pernah kirim surat ke Gubernur. Sampai saat ini belum ada tanggapan resmi dari gubernur atas surat saya. Surat saya berdasarkan keluhan nelayan yang datang ke Jakarta. Bahwa wilayah tangkap mereka sudah diaduk-aduk Kapal Isap Produksi (KIP)," ungkap Susi.

Karena itulah, Susi bertekad untuk turun tangan agar persoalan yang dihadapi nelayan Babel segera diakhiri. Susi mengaku tak hanya melakukan penertiban terhadap aktivitas tambang liarnya saja, tetapi juga pengusaha nakal yang berkepentingan dalam bisnis tersebut.

TERCEMAR TIMAH, NELAYAN BABEL RUGI - Penambangan timah ilegal di pesisir laut dan daratan Bangka Belitung (Babel) memang telah membawa ancaman buruk bagi masyarakat nelayan. Sesuai data yang dilansir Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Provinsi Babel, pada akhir tahun 2013 lalu setidaknya ada 16 ribu nelayan terancam kehilangan pencahariannya akibat pencemaran laut dan semakin sempitnya lahan tangkapan ikan.

"Sebagian nelayan yang kehilangan profesi sebagai nelayan perlahan mulai beralih menjadi buruh dan kuli bangunan," ungkap Direktur Eksekutif Walhi Babel Retno Budi.

Kawasan penangkapan ikan nelayan setempat semakin sempit disebabkan oleh masifnya kegiatan pengerukan timah oleh pabrik. Akibatnya, secara drastis menekan angka pendapatan nelayan hingga mencapai 80 persen, dari sekitar Rp400 ribu per sekali melaut turun menjadi Rp80 ribu hingga Rp100 ribu.

Diketahui, operator produksi tambang timah ini dikelola perusahaan eks tambang PT Koba Tin yakni PT Timah Bemban Babel. Bentuk manajemen pengelolaan tambang yang dilakukan selama ini berbentuk badan konsorsium yang terdiri dari PT Timah Tbk bersama BUMD Bangka Tengah, BUMD Bangka Selatan dan BUMD Bangka Belitung.

Konsorsium gabungan tersebut dikabarkan telah mengantongi izin Kontrak Karya (KK) sejak 16 Oktober 1971 dan berlaku selama 30 tahun. Artinya, masa berlaku kontrak habis pada tahun 2001 lalu. Hanya saja, aktivitas perusahaan pertambangan timah tersebut kembali berlanjut.

Pada 6 September tahun 2000, pihak PT Koba Tin kembali mengajukan perpanjangan izin kedua kepada pemerintah yakni dalam jangka waktu hingga 31 Maret 2013. Namun pada 18 September 2013, sesuai masukan dan evaluasi tim independen terkait kontrak tersebut, dikeluarkan rekomendasi kepada Menteri ESDM agar tidak memperpanjang kontrak izin. Beredar kabar, tidak diperpanjang izin dikarenakan eksploitasi dan pengerukan timah yang cukup tinggi sehingga merusak kawasan pesisir Babel.

NEGARA JUGA DIRUGIKAN - Seperti diungkap perwakilan WALHI di Bangka Belitung, PT Timah sebagai kordinator produksi tambang timah yang diduga ilegal di Babel itu dikabarkan seringkali mengekploitasi wilayah laut melalui pengoperasian 38 unit Kapal Isap Produksi (KIP) dengan asumsi limbah per hari mencapai 2.700 meter kubik. Artinya, secara kalkuasi kasar dapat diprediksi perusahan tambang (PT Timah) membuang setidaknya 70,9 juta meter kubik limbah per tahun.

Praktik eksploitasi pertambangan timah ini jelas sangat memprihatinkan karena membawa dampak buruk bagi pembangunan di Babel. Berdasarkan Data International Tin Research Institute (ITRI) yang dilansir dpr.go.id, timah mentah dikeruk dari perut Bangka Belitung mencapai sebanyak 471 ribu ton sepanjang 2009-2013.

Sedangkan informasi terbaru tahun 2014, otoritas TNI AL berhasil menggagalkan praktik ekspor timah sebanyak 134 kontainer dengan nilai jual mencapai Rp880 miliar dari Batam tujuan Singapura. Diduga, hasil timah ilegal merupakan produksi dari Babel yang hendak diselundupkan ke luar negeri.

Terkait maraknya aksi pertambangan ilegal, Tim Panitia Kerja (Panja) Timah DPRD Bangka Belitung sempat mendatangi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam isi laporan yang diadukan, tim Panja menyerahkan data terkait total volume ekspor timah ilegal dari 2004 hingga 2013 yang mencapai 301.800 Metrik Ton dengan nilai penjualan Rp50,12 triliun.

Dengan angka eksploitasi itu, total kerugian negara ditaksir mencapai Rp4,17 triliun. Sayangnya hingga kini KPK sendiri belum menindaklanjuti lebih jauh laporan tersebut meski sudah dilaporkan selama hampir satu tahun.

BACA JUGA: