JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kelompok yang tergabung dalam Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA) berencana mengadukan persoalan akses air ke Resolusi Perserikatan Bangsa Bangsa pada Juli 2015 mendatang. Alasannya, pemerintah hingga saat ini dinilai belum berdaulat memenuhi akses terhadap air. Kasus privatisasi air minum maupun kebutuhan sehari-hari masyarakat dinilai merugikan masyarakat.

Koordinator Nasional KRuHA Muhammad Reza Sahib menegaskan, pada prinsipnya pengelolaan dan pemenuhan air adalah tanggung jawab negara. Reza mengatakan, jika negara terus abai terhadap kebutuhan masyarakat dan membiarkan kasus-kasus privatisasi air terjadi, maka sudah saatnya negara diadukan ke lembaga tinggi internasional seperti PBB.

"Kami akan bawa persoalan air ke Resolusi PBB pada Juli 2015 nanti," ungkap Reza kepada Gresnews.com, Sabtu (30/5).

Reza mengungkapkan, sejumlah kasus privatisasi air minum kemasan yang pernah terjadi akan dilaporkan ke PBB. Misalnya seperti penguasaan air kemasan Palyja dan Danone oleh korporasi swasta. Menurut Reza, swastanisasi sumberdaya alam tersebut bertentangan dengan Pasal 33 Ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

"Peran swasta jelas bertentangan dengan aturan konstitusi," tegas Reza.

Menurut Reza, pemerintah selama ini sengaja beralasan bahwa soal teknis yaitu teknologi sebagai bentuk ketidakmampuan negara mengelola air. Akibatnya, sumberdaya alam diserahkan kepada swasta. Ia menilai kasus privatisasi air ini cukup serius mengingat korporasi kini bukan hanya bertindak sebagai penerima hasil produksi namun sudah bertindak menjadi operator pengelolaan air.

Untuk itu, Reza menilai PBB sebagai lembaga yang tepat untuk mendesak pemerintah untuk mengambil alih air dari penguasaan korporasi. Dimana dalam Resolusi PBB bulan Juli nanti, memuat poin penting yang menyebutkan bahwa air adalah Hak Asasi Manusia (HAM).

Reza meyakini, Resolusi PBB tersebut bakal efektif mendesak pemerintah karena memiliki asas legal binding (hukum mengikat). Dimana, Indonesia sebagai salah satu negara yang ikut meratifikasi perjanjian itu.

KRuHA menyatakan, hak penguasaan air sebagai barang publik seharusnya berada di tangan negara. Hal tersebut sejalan dengan konstitusi Pasal 2 UU Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UUPA).

Artinya, pihak KRuHA menegaskan, air yang berada di dalam wilayah Indonesia tidak berada di dalam kekuasaan siapapun kecuali negara. Aturan tersebut terkandung dalam Pasal 5 Undang Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air yang menyatakan bahwa negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan pokok sehari-hari guna memenuhi kebutuhannya yang sehat, bersih dan produktif.

Selain itu, seperangkat aturan yang menjamin pemenuhan, perlindungan dan penghormatan hak masyarakat akan air turut dimuat dalam poin-poin berikut: Kualitas air yang bisa diminum sesuai standardisasi dalam PP Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum.

Dimana disebutkan bahwa, terpenuhinya kuantitas air untuk kebutuhan minimal manusia (sekitar 60-100 liter/orang/hari) dan keberlanjutan akses air selama 24 jam setiap harinya.

Namun, sepertinya ironi pengelolaan khususnya air berbentuk kemasan oleh negara akan kembali berlanjut. Pasalnya, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat beberapa waktu lalu membatalkan seluruh isi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA). Artinya, putusan MK tersebut membuka peluang bagi perusahaan swasta untuk mengelola sumber daya air.

Arief beralasan, substansi putusan soal sumber daya air dilakukan karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Pandangan Arief justru dinilai bertabrakan dengan konstitusi Pasal 33 UUD 1945 karena menyebut pengelolaan air tanpa harus menutup celah bagi swasta.

"Inti putusan MK yaitu, swasta dapat berperan serta dalam pengelolaan air dalam negeri," kata Arief.

BACA JUGA: