Penyebutan santri terhadap orang-orang yang ada di padepokan Dimas Kanjeng dianggap kurang tepat. MUI Jawa Timur (Jatim) menilai mereka bukanlah santri seperti yang ada di pondok pesantren pada umumnya.

"Jangan disebut santri, sebut saja peserta," ujar Ketua MUI Jatim Abdusshomad Buchori, Minggu (25/9).

Alasan Abdusshomad menolak pengikut Dimas Kanjeng disebut santri karena mereka memang bukan santri. Orang-orang tersebut datang ke Padepokan Dimas Kanjeng bukan berniat mencari ilmu, melainkan berniat mencari uang atau harta dengan embel-embel penggandaan uang.

Dalam praktiknya, Dimas Kanjeng memang menjanjikan penggandaan uang kepada orang yang menyetor apa yang disebut sebagai mahar. Uang mahar milik penyetor jumlahnya akan dilipat gandakan dalam waktu lima tahun. Namun, sebelum waktu yang dijanjikan, penyetor mahar harus tinggal di padepokan (nyantri) dulu selama 3-4 bulan.

"Di sana kan kerjaannya hanya ikut istighosah saja, bukan belajar atau menuntut ilmu agama. Saya kasihan kepada mereka yang sudah datang dari jauh," tandas Abdusshomad. (mon/dtc)

BACA JUGA: