Lembaga pengawas pelayanan publik atau Ombudsman RI menyebutkan aduan masyarakat terhadap lembaga peradilan di Indonesia terus meningkat, salah satunya terkait dengan salinan putusan pengadilan. Selain substansi putusan yang berbeda dengan putusan yang dibacakan, pengaduan lain adalah salinan putusan bahkan petikan putusan yang tidak diterima oleh narapidana. Akibatnya, terpidana tidak mengetahui secara pasti vonis yang dijatuhkan, dan tidak mengetahui secara pasti kapan ia bebas. Akibatnya, tidak sedikit terpidana menjalani hukuman melebihi vonis yang telah dijatuhkannya.

Selain itu, tidak diterimanya salinan putusan pengadilan, menjadi dasar kelambanan eksekusi putusan perkara pidana, khususnya dalam perkara korupsi. Sumber masalahnya terletak pada salinan putusan yang belum dikirim secara resmi baik kepada terpidana atau penasihat hukumnya maupun kepada jaksa selaku eksekutor. Terpidana menolak dieksekusi jika hanya didasarkan petikan putusan, yang merujuk pada Pasal 270 KUHAP yang menyatakan, "Pelaksanaan putusan yang berkekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa, yang untuk itu panitera mengirimkan salinan surat putusan kepadanya."

Hal tersebut di atas terjadi dengan alasan utamanya adalah putusan yang belum selesai diketik dan permintaan putusan dikenakan biaya. Sehingga untuk memenuhi akses keadilan harus dievaluasi dan dirumuskan kembali adalah jangka waktu pembuatan putusan dan hak mendapatkan putusan cuma-cuma.

Aturan Hukum Salinan dan Petikan Putusan Hakim
Penyampaian salinan dan petikan putusan yang di dalamnya terdapat mengenai jangka waktu dan hak mendapatkan putusan cuma-cuma terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan, diantaranya Pasal 52 UU Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua UU Peradilan Umum, Pasal 64 A UU Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua UU Peradilan Agama, dan Pasal 116 UU Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua UU tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Dari ketiga UU tersebut, pada intinya menyatakan:
1. Pengadilan wajib memberikan akses kepada masyarakat untuk memperoleh informasi yang berkaitan dengan putusan dan biaya perkara dalam proses persidangan.
2. Pengadilan wajib menyampaikan salinan putusan kepada para pihak dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak putusan diucapkan. Untuk PTUN secara spesifik menyebut salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
3. Apabila pengadilan tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), ketua pengadilan dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Dari ketiga UU tersebut, jangka waktu paling lambat untuk menyerahkan putusan kepada para pihak adalah 14 (empat belas) hari sejak putusan diucapkan.

Namun, dalam praktiknya, Mahkamah Agung beralasan bahwa pengadilan terutama pengadilan tingkat pertama (Pengadilan Negeri) sulit untuk melaksanakan hal tersebut dikarenakan persoalan biaya, dan untuk mengatasinya MA mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perubahan SEMA Nomor 2 Tahun 2010 tentang Penyampaian Salinan dan Petikan Putusan. Selain untuk mengatur penyampaian putusan, SEMA juga melakukan penyesuaian dengan PP Nomor 53 Tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Mahkamah Agung dan Badan Peradilan Yang Berada di Bawahnya. Dimana dinyatakan bahwa yang termasuk hak kepaniteraan lainnya adalah penyerahan turunan/salinan putusan/penetapan pengadilan dan dikenakan biaya Rp. 300,-/lembar.

Walau merujuk kepada ketiga UU tentang peradilan, SEMA telah melakukan perubahan yang bertentangan dengan semangat ketiga UU, yaitu:
1. Perubahan paradigma bahwa putusan menjadi inisiatif para pihak dan bukan kewajiban dari pengadilan.
2. Biaya untuk memperoleh putusan.

Respons MA tersebut tidak menyelesaikan permasalahan lambannya penyampaian putusan pengadilan, yang melanggar hak-hak terpidana. Dan sebagai bentuk kodifikasi hukum acara pidana, sudah sepatutnya pengaturan mengenai jangka waktu putusan dan putusan cuma-cuma terutama bagi pencari keadilan yang tidak mampu dimuat dan ditegaskan dalam RKUHAP.

Rekomendasi
Pengaturan terkait putusan pengadilan yang seharusnya termuat dalam RKUHAP adalah:
1. Jangka waktu putusan paling lambat 14 (empat belas) hari sejak putusan diucapkan;
2. Putusan dapat diperoleh secara cuma-cuma bagi pencari keadilan yang tidak mampu; dan
3. Peraturan lainnya yang berkaitan termasuk Peraturan MA, Surat Edaran MA, dan sebagainya agar menyesuaikan dengan ketentuan KUHAP.

TIM PUSAT STUDI HUKUM DAN KEBIJAKAN (PSHK)
kuhap.or.id

 

BACA JUGA: