Oleh: Andi Muttaqien, S.H.
Deputi Direktur Pembelaan HAM untuk Keadilan Institute for Policy Research and Advocacy (ELSAM)

Penghormatan terhadap hak asasi manusia tercantum dalam Prinsip dan Kriteria (P&C) Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) untuk Produksi Minyak Sawit Berkelanjutan, khususnya Prinsip ke-6 Kriteria 6.13, yang menyatakan bahwa perkebunan dan pabrik harus menghormati hak asasi manusia dengan indikator terdapat kebijakan untuk hormat terhadap hak asasi manusia yang terdokumentasikan dan dikomunikasikan kepada setiap tingkatan pekerja dan operasional perkebunan dan pabrik. Interpretasi nasional yang mengefektifkan Prinsip dan Kriteria RSPO yang disahkan melalui Pertemuan Dewan Gubernur pada 30 September 2016 tersebut belum terelaborasi menjadi ketentuan yang lebih operasional dan responsif terhadap penderitaan yang dialami korban yang terdampak operasional industri perkebunan kelapa sawit, termasuk hak atas pemulihan sebagai prasyarat mendasar untuk memenuhi rasa keadilan.

Hal itu terbukti secara empirik dalam kasus-kasus yang telah masuk melalui sistem pengaduan RSPO dan kasus-kasus yang melibatkan anggota RSPO yang berdimensi pelanggaran hak asasi manusia juga belum direspons, ditangani, dan diselesaikan dengan tuntas.

Berikut ini adalah kasus-kasus yang dimaksud tersebut:

1. PT Mitra Austral Sejahtera (Sime Darby Plantation) memasuki ke wilayah Sanggau, Kalimantan Barat pada 2006 dengan cara melakukan konsultasi dengan masyarakat untuk membuka lahan perkebunan kelapa sawit. Masyarakat menerima kesepakatan tersebut dengan persyaratan wilayah yang dijadikan kebun sawit dapat dikelola melalui sistem pinjam pakai selama 25 tahun; (2) Apabiila perusahaan hendak memperpanjang kebun harus melakukan renegosiasi; dan (3) Membangun sarana prasarana umum seperti Rumah Sakit, sarana olah raga, gedung sekolah, tenaga listrik untuk masyarakat. Namun kesepakatan yang dihasilkan belum terlaksana sampai saat ini;

2. PT Wiramas Permai (Kencana Agri Group) di Luwuk, Sulawesi Tengah yang sebagian sahamnya dimiliki oleh Wilmar Group sebesar kira-kira 30% mensosialisasikan kepada masyarakat untuk mengelola perkebunan kelapa sawit, termasuk membangun kebun bagi masyarakat dan merekrut masyarakat setempat sebagai pekerja (buruh). Namun dalam perkembangannya, kebun yang dijanjikan tidak pernah terealisasi, bahkan perusahaan ini malah merampas tanah masyarakat yang telah bersertifikat. Masyarakat setempat memang direkrut menjadi pekerja, namun upah mereka dibawah UMR. Meskipun mayoritas pekerja PT Wiramas Permai adalah perempuan, namun mereka tidak dilindungi hak-hak reproduksinya seperi cuti haid dan cuti melahirkan. Berkaitan dengan pelanggaran hukum yang dilakukan perusahaan, masyarakat telah mengadukan permasalahan tersebut kepada Pemerintah Daerah namun tak ada tanggapan. Terhadap kasus ini, RSPO harus bisa mengevaluasi PT Wiramas Permai karena telah melanggar hukum dan melanggar hak asasi manusia;

3. PT Bangun Nusa Mandiri, anak perusahaan Sinar Mas Group, yang telah melakukan pelanggaran terhadap hak Masyarakat Adat Dayak di daerah Silat Hulu, Ketapang, Kalimantan Barat. Kasus ini bermula saat perusahaan masuk tanpa persetujuan masyarakat dan tokoh masyarakat pada 2008. Pada saat membuka kawasan perkebunan, perusahaan ini langsung menggusur pekuburan leluhur, ladang masyarakat, dan pedukuhan masyarakat Silat Hulu seluas sekitar lebih dari 600 hektar. Berdasarkan pelanggaran tersebut, sesuai dengan tradisi Masyarakat Dayak, maka mereka melakukan mengajukan tuntutan hukum adat kepada Sinar Mas Group, yang telah dipenuhi perusahaan pada November 2009. Namun, ternyata perusahaan ini justru melakukan kriminalisasi terhadap masyarakat yang dikenal dengan kasus Andi-Japin. Selain, itu, Sinar Mas Group juga masih melakukan penggusuran dan tanah yang dikuasai perusahaan sampai saat ini belum juga dikembalikan kepada masyarakat. Berdasarkan kasus ini, masyarakat Silat Hulu mendesak perusahaan untuk: 1) Mengembalikan wilayah ulayat masyarakat seluas 664 hektar yang sudah ditanami oleh perusahaan kepada masyarakat; 2) meminta perusahaan untuk meninggalkan wilayah Adat masyarakat Silat Hulu; dan 3) memulihkan wilayah masyarakat adat yang telah dirampas oleh perusahaan;

4. PT Sandabi Indah Lestari di Bengkulu yang menjadi pemasok bagi Wilmar dan Sinar Mas Group telah melakukan pelanggaran hukum dan hak asasi masyarakat di wilayah operasional mereka karena melakukan intimidasi. Intimidasi ini dilakukan perusahaan ketika masyarakat mengadukan permasalahannya melalui mekanisme RSPO. Selain kasus ini, perusahaan juga telah mengambilalih tanah para transmigran dan melakukan kriminalisasi terhadap masyarakat yang melakukan perlawanan. Kasus lain di Bengkulu adalah PT Agri Andalas yang sampai saat ini belum menyediakan kebun untuk masyarakat sesuai dengan janjinya. Masyarakat telah mengadukan tindakan PT Agri Andalas kepada Pemerintah Daerah, namun belum ada tanggapan. Dalam konteks ini, patut untuk diajukan gugatan terhadap prinsip dan kriteria produksi kelapa sawit yang berkelanjutan, jika CPO yang dihasilkan oleh para pemasok melakukan banyak pelanggaran hukum dan pelanggaran hak asasi manusia;

5. PT Nabire Baru yang beroperasi di dalam kawasan hutan Kecamatan Yaur, Kabupaten Nabire, Papua, merupakan anak perusahaan dari Goodhope Asia Group. PT Nabire Baru Co, telah melanggar wilayah ulayat dari masyarakat adat Yerisiam Gua karena menggarap wilayah mereka tanpa kesepakatan. PT Nabire Baru juga telah menghancurkan sistem ekologi di Nabire karena menyebabkan deforestasi, hilangnya sumber makanan dan pendapatan masyarakat Yerisiam Gua. Selain itu, PT Nabire Baru menjalin kerjasama dengan Brimob untuk menjaga wilayah operasional perusahaan. Atas nama perusahaan, Brimob melakukan tindakan kekerasan terhadap masyarakat. Masyarakat Yerisiam Gua telah berulang kali menyuarakan protes dan ketidaksetujuan terkait dengan pelanggaran hak asasi mereka, namun tidak satupun direspon secara serius oleh perusahaan atau pemerintah daerah. Berdasarkan temuan ini, masyarakat mendesak RSPO untuk: 1) Melakukan penyelidikan secara menyeluruh dan mendalam terhadap PT Nabire Baru mengenai pelanggaran prinsip-prinsip dan kriteria produk kelapa sawit berkelanjutan, termasuk dinegasikannya partisipasi masyarakat; 2) Menuntut PT Nabire Baru untuk memberikan kompensasi kepada masyarakat Yerisiam Gua; 3) Meminta PT Nabire Baru untuk menghentikan kegiatan mereka membuka perkebunan baru tanpa izin atau persetujuan dari anggota masyarakat secara keseluruhan; dan 4) Menghentikan dan mencabut keanggotaan Goodhope Asia Group dari keanggotaan RSPO;

Kasus-kasus anggota RSPO yang beroperasi di Kalimantan Tengah seperti Sinar Mas, Wilmar Grup dan Bumitama Gunanjaya Agro (BGA). Pelanggaran yang dilakukan oleh anggota RSPO terlihat pada dua kasus yang melibatkan perusahaan milik dari BGA, yaitu PT ASMR dan Bumitama Gunanjaya Agro. PT ASMR membakar hutan dan lahan pada 2015 yang mengakibatkan bencana asap di Indonesia. Pembakaran hutan juga dilakukan oleh Bumitama Guna Jawa. Bahkan perusahaan ini melakukan manipulasi melalui kriminalisasi terhadap masyarakat dengan bantuan dan kerja sama dengan polisi dan militer. Selain itu, juga terdapat kasus yang melibatkan 5 dari 7 perusahaan yang dimiliiki oleh Wilmar Grup. Kasus ini berkaitan dengan pembakaran hutan yang dilakukan oleh PT KSI dan PT Rimba Harapan Sakti pada 2015, sementara itu PT KKPS, Mentaya berkonflik dengan masyarakat. Meskipun kasus-kasus ini sudah diadukan dan masuk dalam mekanisme RSPO namun belum ditanggapi secara serius. Sebagaimana di kasus yang melibatkan perusahaan milik Sinar Mas, meskipun sudah masuk sejak Juni 2015, namun hingga kini belum mendapat tanggapan serius. Apabila melihat respons RSPO yang sedemikian lambat, maka dapat dikatakan RSPO justru berkontribusi terhadap produksi konflik dan kerusakan hutan di Indonesia.

TUNTASKAN KASUS
Prinsip ke-2 menegaskan kepatuhan anggota RSPO terhadap hukum dan peraturan yang berlaku. Prinsip ini kemudian dielaborasi lebih jauh melalui kriteria 2.1. yang menyatakan bahwa anggota RSPO akan mematuhi semua hukum lokal, hukum nasional, dan hukum internasional yang diratifikasi dan peraturan yang berlaku.

Namun demikian, prinsip-prinsip dan norma-norma hak asasi manusia yang sudah diatur dalam berbagai instrumen hukum HAM internasional yang telah diratifikasi maupun nasional belum menjadi standar rujukan anggota RSPO untuk menangani kasusnya secara berkeadilan. Bahkan korban-korban yang terdampak juga belum mendapatkan pemulihan secara cepat, efektif, dan layak.

Padahal di bawah ketentuan Hukum Internasional dijamin bahwa setiap korban pelanggaran hak asasi manusia memiliki hak untuk mengakses pemulihan yang efektif. Pemulihan untuk pelanggaran HAM mempunyai tujuan untuk meringankan penderitaan dan memberikan keadilan kepada para korban dengan menghilangkan atau memperbaiki sejauh mungkin akibat-akibat dari tindakan salah dengan mencegah pelanggaran.

Pemulihan seharusnya sesuai dengan kebutuhan dan keinginan para korban serta harus proporsional dengan beratnya pelanggaran dan kerugian yang ditimbulkan. Dengan demikian, keefektifan suatu sistem dan mekanisme pemulihan semestinya lebih responsif melalui penyelidikan secara cepat, menyeluruh, dan tidak memihak; menghentikan pelanggaran; dan memberikan pemulihan secara memadai, termasuk pemberian restitusi, kompensasi, rehabilitasi, dan jaminan tidak berulang kembali. Prinsip-prinsip ini semestinya harus menjadi nilai-nilai dasar dalam setiap penanganan kasus pengaduan, baik melalui Fasilitas Penyelesaian Sengketa (DSF/Dispute Settlement Facility) dan Prosedur Pengaduan (Complaints Procedure) dalam menangani dan memutuskan kasus-kasus yang diajukan secara adil.

Sistem pengaduan RSPO itu sendiri dibangun dan dikembangkan berdasarkan Prinsip ke-6 bahwa pertimbangan yang bertanggung jawab terhadap karyawan dan individu dan komunitas yang terkena dampak perkebunan dan pabrik. Selanjutnya Kriteria 6.3 menyatakan bahwa terdapat sistem yang disepakati bersama dan terdokumentasi untuk menangani pengaduan dan keluhan, yang diimplementasikan dan diterima oleh para pihak. Kriteria ini memiliki indikator bahwa sistem yang digunakan dapat menyelesaikan sengketa lewat cara yang efektif, tepat waktu dan benar. Namun pengaturan tersebut belum terealisasi dalam penanganan dan penyelesaian kasus yang masuk melalui mekanisme RSPO.

Dalam konteks ini semestinya, Konferensi RSPO ke-14 di Bangkok pada 7-10 November 2014 yang mengusung tema Learning to Live Together: From Vision to Transformation (Pembelajaran untuk Hidup Bersama: Dari Visi menuju Transformasi) memanifestasikan komitmen RSPO melakukan transformasi untuk menghasilkan keputusan yang bersifat strategis untuk menempatkan hak asasi manusia sebagai standar operasional. Dengan posisi strategis Pertemuan Majelis Umum (General Assembly) RSPO seharusnya dapat mengoptimalkan para anggotanya untuk mewujudkan komitmen seluruh anggota RSPO untuk memenuhi rasa keadilan korban. Namun sayang, Pertemuan Majelis Umum RSPO yang merupakan wadah bagi pengambilan keputusan tertinggi RSPO sekaligus dapat dijadikan modalitas untuk memperkuat peran RSPO sebagai agen yang menghormati hak asasi manusia belum juga menghasilkan keputusan yang responsif terhadap korban.

Rumusan norma dalam Resolusi GA13-6e dengan judul Perlindungan terhadap Pembela Hak Asasi Manusia, Whistleblower, Pengadu, dan Juru Bicara Komunitas (Protecting Human Rights Defenders, Whistleblowers, Complainants And Community Spokespersons) masih bersifat sangat umum. Resolusi ini mengharapkan sumber daya dan mandat sekretariat untuk mendukung dan memfasilitasi anggota Kelompok Kerja Hak Asasi Manusia RSPO (RSPO Human Rights Working Group) untuk segera mengembangkan:

Pertama, prosedur sumber daya yang layak dan mudah terakses serta adanya jaminan keamanan dan anonimitas registrasi dalam Panel Pengaduan;

Kedua, panduan yang jelas bagi anggota RSPO dalam upaya penegakan hak asasi manusia terkait operasional mereka;

Ketiga, limitasi waktu penyerahan proposal tindakan korektif yang dikeluarkan bagi anggota RSPO yang bertindak melanggar norma-norma untuk diadopsi oleh Dewan Gubernur dalam waktu 6 bulan.

Resolusi ini tentu belum cukup untuk memberikan pemulihan yang efektif bagi korban karena masih di bawah standar norma universal. Prinsip ke-29 Prinsip-Prinsip Panduan PBB untuk Bisnis dan Hak Asasi Manusia menegaskan bahwa perusahaan harus membangun mekanisme pengaduan pada tingkat operasional yang efektif bagi individu-individu dan komunitas yang mungkin terkena dampak merugikan. Mekanisme tersebut dapat diakses secara langsung oleh korban yang terdampak. Pada prinsipnya terdapat dua fungsi utama dari mekanisme pengaduan non-yudisial: mekanisme tersebut berfungsi mendukung upaya identifikasi dampak terhadap hak asasi manusia yang merugikan sebagai bagian dari uji tuntas hak asasi manusia perusahaan yang sedang berlangsung. Mekanisme ini memungkinkan pengaduan setelah diidentifikasi, harus ditangani dan dipulihkan sedini mungkin.

Paling tidak standar minimal yang harus dipenuhi mekanisme non-yudisial, termasuk RSPO menurut Prinsip-Prinsip Panduan memiliki kriteria:

- Mekanisme yang dikembangkan mendapatkan legitimasi sehingga memunculkan kepercayaan dari seluruh kelompok pemangku kepentingan untuk menggunakan mekanisme pengaduan tersebut;

- Mekanisme yang ada dapat diakses sehingga mudah diketahui oleh seluruh pemangku kepentigan termasuk, menyediakan asistensi apabila ada hambatan dalam mengakses mekanisme yang tersedia;

- Mekanisme yang ada menyediakan prosedur yang jelas dan diketahui dengan kerangka waktu indikatif untuk setiap tahap, dan kejelasan pada jenis proses dan hasil yang tersedia dan sarana pelaksanaan pemantauan;

- Mekanisme yang ada dapat memastikan bahwa pihak yang dirugikan memiliki akses terhadap sumber-sumber informasi, saran dan keahlian yang diperlukan terkait dengan proses pengaduan;

- Mekanisme yang tersedia membantu para pihak yang mengadu mendapatkan informasi tentang kemajuan penanganannya, dan memberikan informasi yang cukup tentang kinerja mekanisme untuk membangun kepercayaan dalam efektivitas dan memenuhi kepentingan publik;

- Mekanisme yang ada dapat memastikan bahwa hasil dan pemulihan sesuai dengan hak asasi manusia yang diakui secara internasional.

Berdasarkan situasi di atas dan masih dalam nuansa momentum hari Hak Asasi Manusia sedunia yang diperingati setiap 10 Desember, ELSAM menyampaikan hal-hal berikut ini:

Pertama, RSPO harus meneguhkan komitmennya untuk menyelesaikan seluruh kasus-kasus pengaduan yang masuk dengan merujuk pada prinsip-prinsip pemulihan yang diatur dalam instrumen hukum internasional dalam rangka membangun mekanisme pengaduan yang kredibel;

Kedua, RSPO harus melibatkan seluruh pemangku kepentingan secara setara dalam pengambilan keputusan RSPO, termasuk penyelesaian pengaduan kasus dalam rangka mendapatkan legitimasi terhadap seluruh keputusan yang dihasilkan.

BACA JUGA: