Oleh: Wiwin Sri Rahyani*)

Pendahuluan

Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan dalam sistem norma hukum negara Republik Indonesia. Perppu dikonsepsikan sebagai suatu peraturan yang dari segi isinya seharusnya ditetapkan dalam bentuk undang-undang, tetapi karena keadaan kegentingan memaksa ditetapkan dalam bentuk peraturan pemerintah. (Jimly Ashiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, Edisi ke-1, 2007, hal.3.)

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) Pasal 22 Ayat (1) menyebutkan bahwa dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. Selanjutnya dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan diberikan batasan pengertian mengenai Perppu.

Perppu adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. Jika mengacu pada rumusan kedua pasal tersebut maka jelaslah bahwa Perppu merupakan suatu peraturan pemerintah, namun berfungsi sebagai undang-undang. Perppu itu sendiri sudah dikenal dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) Tahun 1949 dan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) Tahun 1950 dengan penamaaan yang berbeda yaitu menggunakan istilah undang-undang darurat.

Perppu merupakan salah satu instrumen hukum yang dapat ditetapkan oleh Presiden tanpa memerlukan keterlibatan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Perppu hanya dapat ditetapkan oleh Presiden apabila persyaratan kegentingan yang memaksa itu terpenuhi. Keadaan kegentingan yang memaksa yang dimaksud di sini berbeda dan tidak boleh dicampuradukkan dengan pengertian "keadaan bahaya" sebagaimana ditentukan dalam Pasal 12 UUD 1945.

Pasal 12 tersebut menyatakan: "Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang". Kedua ketentuan dalam Pasal 12 dan Pasal 22 Ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945 tersebut sama-sama berasal dari ketentuan asli UUD 1945, yang tidak mengalami perubahan dalam perubahan pertama sampai dengan perubahan keempat. Artinya, norma dasar yang terkandung di dalamnya tetap tidak mengalami perubahan.

Oleh karena itu, sebagai dokumen historis, uraian penjelasan atas pasal-pasal ini dalam naskah Penjelasan tentang UUD 1945 dapat dijadikan rujukan untuk memahami rumusan kedua pasal ini, terutama dalam Pasal 22 secara mendalam. Penjelasan Pasal 22 UUD 1945 menyatakan: "Pasal ini mengenai ´noodverordeningsrecht´ Presiden. Aturan sebagai ini memang perlu diadakan agar supaya keselamatan negara dapat dijamin oleh pemerintah dalam keadaan yang genting, yang memaksa pemerintah untuk bertindak lekas dan tepat.

Meskipun demikian, pemerintah tidak akan terlepas dari pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat. Oleh karena itu, peraturan pemerintah dalam pasal ini, yang kekuatannya sama dengan undang-undang harus disahkan pula oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

Dalam pengertian "kegentingan yang memaksa" itu terkandung sifat darurat atau emergency yang memberikan alas kewenangan kepada Presiden untuk menetapkan Perpu atau disebut undang-undang darurat menurut Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950, atau emergency legislation menurut ketentuan konstitusi di berbagai Negara. (Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, hal. 82.)

Tolok Ukur "hal ihwal kegentingan yang memaksa"

Kegentingan yang memaksa dapat digambarkan sebagai suatu kondisi yang abnormal yang membutuhkan upaya-upaya di luar kebiasaan untuk segera mengakhiri kondisi tersebut. Dalam lintasan sejarah bangsa Indonesia seringkali terjadi peristiwa dan kondisi-kondisi yang bersifat abnormal, baik di bidang politik, hukum, ekonomi, sosial, bencana alam, dan sebagainya, dimana instrument hukum positif yang ada sering kali tidak mampu berperan sebagai solusi.

Dalam UUD 1945, diatur dalam Pasal 12 dan Pasal 22. Pasal 12 menyatakan: "Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang." Pasal 22 Ayat (1) menyatakan: "Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang".

Dari kedua ketentuan di atas, dapat diketahui adanya dua kategori keadaan menurut UUD 1945, yaitu keadaaan bahaya dan hal ihwal kegentingan yang memaksa. Istilah yang dipakai dalam kedua pasal tersebut jelas berbeda. Istilah yang pertama menggunakan istilah "keadaan bahaya" yang tidak lain sama dengan pengertian keadaan darurat (state of emergency), sedangkan yang kedua memakai istilah "hal ihwal kegentingan yang memaksa".

Istilah hal ihwal dengan keadaan tentu tidak sama. Keadaan adalah strukturnya, sedangkan hal ihwal adalah isinya. Namun, dalam praktik, keduanya dapat mengandung makna praktis yang sama.

Keadaan dan hal ihwal kegentingan yang memaksa yang dimaksud dalam Pasal 22 tidak identik atau tidak sama dengan keadaan bahaya yang dimaksud dalam Pasal 12. Keadaan bahaya yang dimaksud dalam Pasal 12 boleh jadi termasuk kategori keadaan atau hal ihwal kegentingan yang memaksa seperti yang dimaksud dalam Pasal 22.

Akan tetapi, alasan kegentingan yang memaksa menurut Pasal 22 tentu tidak selalu merupakan keadaan bahaya seperti yang dimaksud dalam Pasal 12. Artinya, keadaan atau hal ihwal kegentingan yang memaksa menurut Pasal 22 itu lebih luas cakupan maknanya daripada keadaan bahaya menurut Pasal 12. Dalam setiap keadaan bahaya, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. (Jimly Ashiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, hal.207)

Penentuan syarat-syarat dan akibat "keadaan bahaya" dalam Pasal 12 UUD 1945 jelas memerlukan keterlibatan DPR untuk ditetapkan dengan undang-undang sedangkan "kegentingan yang memaksa" dalam Pasal 22 UUD 1945 sangat tergantung subyektifitas Presiden, meskipun nantinya tergantung pula pada persetujuan obyektif para wakil rakyat di DPR.

Ketentuan mengenai "keadaan bahaya" yang ditentukan dalam Pasal 12 jelas lebih menekankan sifat bahaya yang mengancam (dangerous threat) sedangkan "kegentingan yang memaksa" dalam Pasal 22 lebih menekankan aspek kebutuhan hukum yang bersifat mendesak atau kemendesakan yang terkait dengan persoalan waktu yang terbatas. Di satu pihak ada unsur reasonable necessity, tetapi di pihak lain terhadap kendala limited time.

Dengan demikian, terdapat tiga unsur penting yang secara bersama-sama membentuk pengertian keadaan bahaya yang menimbulkan kegentingan yang memaksa, yaitu: (Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, hal 207-208)

1.unsur ancaman yang membahayakan (dangerous threat);
2.unsur kebutuhan yang mengharuskan (reasonable necessity); dan
3.unsur keterbatasan waktu (limited time) yang tersedia.

Jika ketiga unsur tersebut ada, keadaan negara dapat dikatakan berada dalam kondisi berbahaya atau darurat. Ketiga unsur tersebut di atas sama-sama merupakan persyaratan logis untuk diberlakukannya keadaan darurat dengan melakukan tindakan-tindakan yang berada di luar norma hukum yang berlaku dalam keadaan normal (ordinary law).

Namun agar semua tindakan tetap berada dalam koridor hukum, di masa keadaan tidak normal itu diperlukan juga kerangka hukum yang tersendiri dengan membentuk peraturan yang berbeda. Itu sebabnya Pasal 12 UUD 1945 mengharuskan dibentuknya undang-undang tersendiri yang mengatur keadaan bahaya atau darurat itu dan Pasal 22 Ayat (1) menentukan bahwa dalam keadaan yang semacam itu, diperbolehkan membentuk peraturan khusus yang disebut Perppu.

Namun demikian, Pasal 22 hanya menekankan aspek-aspek kegentingan yang memaksa, yaitu unsur reasonable necessity dan limited time dan tidak menekankan sifat bahayanya ancaman (dangerous threat). Dalam keadaan darurat, dasar logis untuk membuat pengaturan yang bersifat khusus itu adalah harus adanya unsur bahaya (dangerous threat) yang dimaksud dalam Pasal 12 disertai oleh kebutuhan (reasonable necessity) dan kegentingan waktu (limited time) yang dimaksud dalam Pasal 22.

Ketentuan dalam Pasal 22 memberikan kewenangan kepada Presiden untuk secara subjektif menilai keadaan Negara atau hal ihwal yang terkait dengan Negara yang menyebabkan suatu undang-undang tidak dapat dibentuk segera, sedangkan kebutuhan akan pengaturan materiil mengenai hal yang perlu diatur sudah sangat mendesak sehingga Pasal 22 UUD 1945 memberikan kewenangan kepada Presiden untuk menetapkan Perppu.

Jika kelak Perppu itu telah dinilai oleh DPR sebagaimana mestinya, akhirnya diterima oleh DPR, barulah dapat dikatakan bahwa keadaan atau hal ihwal kegentingan yang memaksa yang menjadi syarat pemberlakuan Perppu yang bersangkutan menjadi keadaan atau hal ihwal yang memang bersifat kegentingan yang memaksa berdasarkan penilaian yang objektif atas keadaan atau hal ihwal dimaksud yang dilakukan bersama-sama oleh DPR bersama-sama dengan pemerintah.


Perpu dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011

Dalam hierarki peraturan perundang-undangan berdasarkan ketentuan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, dirumuskan sebagai berikut:

(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

(2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Dalam Penjelasan Pasal 7 Ayat (2), yang dimaksud dengan "hierarki" adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Berdasarkan ketentuan Pasal 7 tersebut kedudukan Perppu dalam hierarki peraturan perundang-undangan adalah sederajat.

Selanjutnya dari sudut isi sebuah Perppu itu mengatur materi muatan Undang-Undang. Dalam Pasal 11 dinyatakan bahwa materi muatan Perppu sama dengan materi muatan Undang-Undang. Artinya isi Perppu itu sebenarnya adalah Undang-Undang yang dibuat dalam kegentingan yang memaksa yang alasan-alasannya merupakan hak subjektif Presiden.

Tetapi justru karena dibuat dalam keadaan genting itulah UUD 1945 melalui Pasal 22 menyatakan bahwa "Perppu itu harus mendapat persetujuan dari DPR pada masa sidang berikutnya," yang "apabila DPR tidak menyetujuinya maka Perppu itu harus dicabut atau dibatalkan," tetapi "apabila DPR menyetujuinya maka Perppu itu ditetapkan menjadi Undang-Undang."

Mekanisme penyusunan Perppu dalam Pasal 52 diatur bahwa Perppu harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut. Pengajuan Perppu dilakukan dalam bentuk pengajuan Rancangan Undang-Undang tentang penetapan Perppu menjadi Undang-Undang. DPR hanya memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap Perppu.

Dalam hal Perppu mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, Perppu tersebut ditetapkan menjadi Undang-Undang. Tetapi dalam hal Perppu tidak mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, Perppu tersebut harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku. Dalam hal Perppu harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku, DPR atau Presiden mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Perppu.

Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Perppu mengatur segala akibat hukum dari pencabutan Perppu. Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Perppu ditetapkan menjadi Undang-Undang tentang Pencabutan Perpu dalam rapat paripurna yang sama.

Selanjutnya pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Penetapan Perpu dilaksanakan melalui mekanisme yang sama dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang. Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Perpu dilaksanakan melalui mekanisme khusus yang dikecualikan dari mekanisme pembahasan Rancangan Undang-Undang.

Ketentuan mengenai mekanisme khusus dilaksanakan dengan tata cara sebagai berikut: Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Perppu diajukan oleh DPR atau Presiden, Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan tersebut diajukan pada saat Rapat Paripurna DPR tidak memberikan persetujuan atas Perppu yang diajukan oleh Presiden, dan pengambilan keputusan persetujuan terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan tersebut dilaksanakan dalam Rapat Paripurna DPR yang sama dengan rapat paripurna penetapan tidak memberikan persetujuan atas perpu tersebut.



Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009

Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009 tentang Permohonan Pengujian Perppu Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap UUD 1945 terdapat beberapa pertimbangan MK yang dapat dijadikan dasar dalam penetapan Perpu.

Dalam Putusannya, dinyatakan bahwa Perppu diperlukan apabila:

1.     adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
2. Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai; dan
3.     kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

Berdasarkan tiga syarat di atas adalah syarat adanya kegentingan yang memaksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian pengertian kegentingan yang memaksa tidak dimaknai sebatas hanya adanya keadaan bahaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 UUD 1945.

Memang benar bahwa keadaan bahaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 UUD 1945 dapat menyebabkan proses pembentukan Undang-Undang secara biasa atau normal tidak dapat dilaksanakan. Namun keadaan bahaya bukanlah satu-satunya keadaan yang menyebabkan timbulnya kegentingan memaksa sebagaimana dimaksud oleh Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945.

Dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 jelas bahwa peraturan pemerintah yang dimaksud pada Pasal ini adalah sebagai pengganti Undang-Undang, yang artinya seharusnya materi tersebut diatur dalam wadah Undang-Undang. Tetapi karena kegentingan yang memaksa, UUD 1945 memberikan hak kepada Presiden untuk menetapkan Perppu dan tidak memberikan hak kepada DPR untuk membuat peraturan sebagai pengganti Undang-Undang.

Apabila pembuatan peraturan diserahkan kepada DPR maka proses di DPR memerlukan waktu yang cukup lama karena DPR sebagai lembaga perwakilan, pengambilan putusannya ada di tangan anggota, yang artinya untuk memutuskan sesuatu hal harus melalui rapat-rapat DPR sehingga kalau harus menunggu keputusan DPR kebutuhan hukum secara cepat mungkin tidak dapat terpenuhi.

Di samping itu, dengan disebutnya "Presiden berhak" terkesan bahwa pembuatan Perppu menjadi sangat subyektif karena menjadi hak dan tergantung sepenuhnya kepada Presiden. Pembuatan Perppu memang di tangan Presiden yang artinya tergantung kepada penilaian subyektif Presiden, namun demikian tidak berarti bahwa secara absolut tergantung kepada penilaian subjektif Presiden karena sebagaimana telah diuraikan di atas penilaian subjektif Presiden tersebut harus didasarkan kepada keadaan yang objektif yaitu adanya tiga syarat sebagai parameter adanya kegentingan yang memaksa.

Dalam kasus tertentu dimana kebutuhan akan Undang-Undang sangatlah mendesak untuk menyelesaikan persoalan kenegaraan yang sangat penting yang dirasakan oleh seluruh bangsa, hak Presiden untuk menetapkan Perppu bahkan dapat menjadi amanat kepada Presiden untuk menetapkan Perppu sebagai upaya untuk menyelesaikan persoalan bangsa dan negara.

Perppu melahirkan norma hukum dan sebagai norma hukum baru akan dapat menimbulkan: (a) status hukum baru, (b) hubungan hukum baru, dan (c) akibat hukum baru. Norma hukum tersebut lahir sejak Perppu disahkan dan nasib dari norma hukum tersebut tergantung kepada persetujuan DPR untuk menerima atau menolak norma hukum Perppu.

Namun demikian sebelum adanya pendapat DPR untuk menolak atau menyetujui Perppu, norma hukum tersebut adalah sah dan berlaku seperti Undang-Undang. Oleh karena dapat menimbulkan norma hukum yang kekuatan mengikatnya sama dengan Undang-Undang maka terhadap norma yang terdapat dalam Perppu tersebut Mahkamah Konstitusi dapat menguji apakah bertentangan secara materiil dengan UUD 1945.

Dengan demikian Mahkamah Konstitusi berwenang untuk menguji Perppu terhadap UUD 1945 sebelum adanya penolakan atau persetujuan oleh DPR, dan dapat menguji setelah adanya persetujuan DPR karena Perppu tersebut telah menjadi Undang-Undang.

*) Penulis adalah Perancang Undang-Undang di Sekretariat Jenderal DPR RI.

BACA JUGA: