Oleh: Aan Andrianih, SH., MH. *)
 

Setelah dilantiknya Anggota Dewan yang baru pada tanggal 1 Oktober 2014 lalu, masih banyak pekerjaan rumah terkait legislasi yang setidaknya hingga saat ini belum terselesaikan diantaranya adalah RUU tentang Kepalangmerahan. Sesuai Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor: 08/DPR RI/II/2011-2012 tanggal 16 Desember 2011 tentang Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2012, merupakan RUU prioritas tahun 2012, yang draf dan naskah akademisnya disiapkan oleh DPR RI.

RUU tentang Kepalangmerahan, tercantum dalam daftar urut Nomor 45, dengan judul RUU tentang Lambang Palang Merah. Namun hingga akan berakhirnya masa keanggotaan anggota DPR-RI 2009-2014 Rancangan Undang-Undang tersebut belum terwujud menjadi Undang-Undang yang seyogyanya dapat menjadi payung hukum bagi gerakan kemanusiaan yang ada di Indonesia.

Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat telah menegaskan bahwa tujuan konstitusional Pemerintah Negara Republik Indonesia  adalah: " … melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial … ".

Dua diantara tujuan konstitusional itu, tercantum dengan jelas mengenai keinginan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yaitu "...untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.." dan "...ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial...".

Untuk mewujudkan tujuan konstitusional tersebut, salah satu cara yang wajib dilakukan negara melalui pemerintah ialah dengan melindungi dan mengayomi segala bentuk kegiatan atau gerakan kemanusiaan serta membentuk suatu perhimpunan nasional yang bertujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan turut serta menciptakan ketertiban dunia dan berkeadilan sosial.

Hukum perjanjian internasional yang mengatur tentang gerakan atau kegiatan kemanusiaan adalah Konvensi Jenewa 1949. Konvensi Jenewa 1949 mengatur tentang gerakan kemanusiaan yang memberikan perlindungan terhadap para korban bersenjata dan tenaga relawan kemanusiaan, serta mengatur tentang penggunaan Lambang Palang Merah dan Lambang Bulan Sabit Merah.

Lambang Palang Merah dan Lambang Bulan Sabit Merah merupakan lambang yang ditetapkan sebagai tanda pembeda bagi para petugas penolong korban peperangan sebagaimana diatur dalam Konvensi-Konvensi Jenewa tahun 1949 yang telah diratifikasi oleh kurang lebih 192 negara, termasuk Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 59 Tahun 1958 tentang Pengesahan Konvensi Jenewa 1949.

Dalam upaya melaksanakan konvensi Jenewa 1949, yang mewajibkan setiap negara yang merupakan anggota Gerakan Palang Merah di dunia untuk mengatur Lambang Palang Merah dalam bentuk undang-undang di negara masing-masing. Persoalannya bahwa Indonesia meskipun menjadi bagian dari anggota Gerakan Palang Merah Internasional, dan telah meratifikasi Konvensi Jenewa 1949 dengan Undang-undang Nomor 59 Tahun 1958.

Namun hingga saat ini Indonesia belum memiliki undang-undang yang mengatur secara khusus mengenai kepalangmerahan sebagai dasar hukum dalam memberikan perlindungan terhadap kegiatan kemanusiaan yang dilakukan oleh dinas kesehatan angkatan perang. Baik itu, Palang Merah Indonesia ataupun Bulan Sabit Merah sebagai bentuk pelaksanaan konvensi Jenewa 1949.

Lambang juga memiliki sifat-sifat tertentu, hal ini diungkapkan oleh Gregg Berryman dalam bukunya "Notes on Graphic and Visual Communication" diantaranya adalah :

a. Asosiasi Positif artinya Lambang sedapat mungkin harus menunjukkan gambaran dari sebuah perusahaan atau instansi dengan baik.
b. Mempermudah pengenalan, dimana Lambang harus cepat dan mudah untuk dikenal, diingat dan menarik perhatian masyarakat.
c. Tingkat abstraksi, Lambang harus menyentuh secara tepat terhadap tingkat pemahaman tujuan yang sasaran.


Begitu pentingnya sebuah lambang dalam sebuah organisasi dapat membuat organisasi itu dikenal secara luas membuat peranan sebuah lambang dan coorporate identity dapat berperan secara maksimal  jika digarap secara serius.  

Identitas yang dibawah seseorang atau organisasi tidak jarang menimbulkan konflik antar kelompok, bahkan dapat memberikan pengaruh besar terhadap lingkungan sosial yaitu menciptakan jarak antara in-group dan out-group. Menurut Nasikun munculnya konflik disebabkan oleh struktur masyarakat Indonesia yang ditandai oleh dua ciri, yaitu: Pertama, secara horizontal ia ditandai oleh kenyataan bahwa kesatuan sosial didasarkan atas perbedaan suku, agama, adat istiadat dan kedaerahan. Kedua, secara vertikal, struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh adanya perbedaan antara lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup tajam.

Tetapi perbedaan-perbedaan itu bukan merupakan hambatan, melainkan sebaliknya justru menjadi pijakan yang melahirkan kesadaran untuk membangun masyarakat baru di atas unsur-unsur etnisitas, keagamaan dan kedaerahan. Kesadaran untuk mewujudkan suatu bangsa yang mampu menyatukan berbagai perbedaan-perbedaan itu dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Suatu negara yang tegas didirikan di atas prinsip Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu, yaitu Indonesia.  

Istilah kepalangmerahan di gunakan agar dapat mencakup segala hal yang terkait terhadap organisasi yang menyelenggarakan  bentuk kegiatan yang bergerak dalam bidang kemanusiaan. Kegiatan bidang kemanusiaan merupakan segala bentuk kegiatan yang bersifat meringankan penderitaan sesama manusia yang dengan tidak membedakan agama atau kepercayaan, suku, jenis kelamin, kedudukan sosial, pandangan politik atau kriteria lain yang serupa.

Penggunaan lambang Palang Merah atau Bulan Sabit Merah dalam sebuah undang-undang merupakan kebutuhan hukum masyarakat Indonesia yang mendesak untuk diimplementasikan, karena penggunaan lambang Palang Merah dan lambang Bulan Sabit Merah dalam masyarakat Indonesia saat ini sudah tidak bisa dipastikan sebagai tanda pembeda bagi petugas dan sarana relawan kemanusiaan tertentu sebagaimana telah ditetapkan oleh Konvensi Jenewa Tahun 1949. Saat ini tidak jarang ditemukan adanya sarana, produk atau kegiatan yang menggunakan lambang Palang Merah dan atau Bulan Sabit Merah tanpa konsekuensi sanksi hukum dari aparat yang berwenang.

Keadaan demikian, terkadang juga memberikan peluang terhadap terjadinya pelanggaran hukum dengan cara menyalahgunakan lambang Palang Merah atau Bulan Sabit Merah pada sarana yang digunakan untuk mendukung perbuatan pelanggaran tersebut. Beberapa kejadian penyalahgunaan lambang tersebut turut menyebabkan terganggunya perlindungan, kepercayaan, dan dukungan dari aparat keamanan terhadap kegiatan yang sedang dilaksanakan oleh petugas relawan yang berhak menggunakan lambang Palang Merah atau Bulan Sabit Merah tersebut.

Selain pengaturan mengenai penggunaan lambang, pengaturan tentang Perhimpunan Nasional juga perlu dipertegas pengaturannya dalam Undang-Undang. Hal ini penting agar masyarakat Indonesia dan masyarakat Internasional mempunyai kepastian hukum dalam melaksanakan Konvensi Jenewa 1949, khususnya berkaitan dengan Perhimpunan Nasional yang diakui oleh Negara.

Pentingnya mengatur perhimpunan nasional dikarenakan yang menggunakan Lambang Palang Merah atau lambang bulan sabit merah bukan perhimpunan nasional saja, tetapi juga digunakan oleh Militer dalam tugas untuk melindungi anggota-anggotanya dari konflik bersenjata serta korban yang diakibatkan dari peperangan.

Selain mempertegas tentang perhimpunan nasional, juga dapat diatur tentang keberadaan organisasi yang menjalankan aktivitas atau kegiatan kemanusiaan lain agar tetap berkoordinasi dan bekerjasama dengan perhimpunan nasional yang diakui oleh Negara.

Indonesia sebagai salah satu Negara yang telah meratifikasi konvensi Genewa dan demi kepentingan nasional sebagai sebuah prilaku dalam menjalin hubungan internasional, khususnya dalam misi perdamaian maka dibutuhkan tindakan bagi keberlangsungan hidup para pasukan perang dan relawan, sehingga negara dapat melindungi warganya akibat keadaan perang. Selain itu demi kepentingan nasional negara dapat menjaga dan melindungi sarana dan prasarana yang dijadikan fasilitas untuk kemanusiaan.

Fasilitas yang dimaksud adalah berupa rumah sakit, tenda-tenda darurat dalam menampung korban perang dan para pengungsi, serta tempat peribadatan yang dijadikan pusat kemanusiaan. Perlindungan keberlangsungan hidup yang dilihat dari perspektif  kepentingan nasional membutuhkan identitas yang diterima secara universal, misalkan lambang-lambang, seperti lambang palang merah, bulan sabit merah, ataupun Kristal.  

Mengingat besarnya harapan masyarakat terhadap optimalisasi peran dan tugas kepalangmerahan serta untuk menjawab berbagai persoalan kepalangmerahan sebagai bentuk implementasi penerapan Konvensi Jenewa 1949, maka dibutuhkan pengaturan melalui Undang-Undang yang seyogyanya dapat di lanjutkan oleh kehadiran anggota Parlemen yang baru sebagai komitmen Indonesia dalam melaksanakan kegiatan gerakan kemanusiaan yang diakui keberadaanya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

*) Perancang Peraturan Perundang-Undangan bidang Kesra di Sekretariat Jenderal DPR RI

BACA JUGA: