Oleh: Muhammad Adnan*)

Paska keputusan sengketa PHPU oleh Mahkamah Konstitusi yang menetapkan pasangan Joko Widodo-JK sebagai pemenang Pilpres 2014, isu yang banyak dilontarkan oleh kalangan politisi PDIP adalah perlunya dilaksanakan kebijakan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi untuk memberikan ruang fiskal yang lebih luas pada Jokowi JK dalam APBN 2015 untuk merealisasikan janji janji politiknya. PDIP meminta agar pemerintahan saat ini di tangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono segera melaksanakan kebijakan itu.

Aneh bin ajaib, PDIP yang selama 10 tahun  terkenal konsisten menolak opsi kenaikan BBM tiba tiba paling depan mendesak Presiden SBY untuk menaikkan harga BBM bersubsidi bahkan sebelum berkuasa.  Ada apa dengan PDIP? Ada beberapa motif mengapa PDIP dan Jokowi JK mendesak Presiden SBY menaikkan BBM diakhir pemerintahannya.

Pertama, PDIP ingin menjaga citra Jokowi-JK sebagai pemimpin yang dekat dengan rakyat dan sebagai partai pro wong cilik sehingga bila di awal pemerintahannya menaikkan harga BBM bersubsidi sebesar 40% sesuai hitungan tim transisinya, akan merontokan citra tersebut.
 
Kedua, dengan dalil kesinambungan pemerintahan dan komitmen SBY membantu proses transisi maka opsi kenaikan BBM dibagi dua, sebagian dimasa akhir SBY, sebagian lagi ketika Jokowi JK berkuasa, ini logika pengambilan kebijakan strategis yang aneh tapi nyata.

Ketiga, melalui rumah transisi Jokowi, pengamat dan ekonom yang terafiliasi dibelakangnya, menyampaikan pesan ke SBY bahwa kebijakan menaikan BBM di akhir masa pemerintahannya adalah sebuah legasi besar dikenang sejarah yang menunjukan kenegarawanan yang menempatkan kepentingan nasional disaat keadaan mendesak.

Pada Kenyataannya tidak ada keadaan yang mendesak, harga minyak dunia stabil di harga US$90 per barel dengan asumsi di APBN 2014 di atas $100 per barel.

Logika yang di bangun PDIP dan Jokowi ini dapat di baca publik sebagai partai yang tidak konsisten justru ketika diberikan kesempatan rakyat untuk berkuasa. Rakyat akan menilai janji-janji politik selama kampanye sebagai pemimpin dekat dengan rakyat, pro wong cilik yang merupakan basis utamanya.

Jika Jokowi gagal, jelas rakyat akan menilai Jokowi adalah purwarupa pemimpin yang tak kuasa melawan kuatnya cengkraman kekuatan kaum penganut pemikiran neo liberal yang anti subsidi yang ada dibelakangnya.   

*) Penulis adalah Koordinator Nasional Relawan Gema Nusantara   

BACA JUGA: