Oleh: Muhamad Adnan Rarasina *)

Dinamika Polri pasca lepas dari militerisasi pada tahun 2000 yang digagas oleh presiden Abdurahman Wahid selalu menarik untuk dilihat. Sebagai bhayangkara negara, Polri selalu ditarik untuk kepentingan kekuasaan dalam perjalanan sejarahnya paska reformasi. Reformasi Polri yang diharapkan mampu mentransformasi dirinya dari militer menjadi aparatur sipil sebagai pelindung, pengayom masyarakat masih membutuhkan waktu menuju postur kepolisian yang ideal

Sejak kasus Komisaris Jenderal Budi Gunawan yang oleh presiden Jokowi dicalonkan menjadi calon tunggal Kapolri mencuat, kontroversi dan persaingan internal kepolisian ikut pula terangkat kepermukaan. Kasus Budi menjadi kontroversi karena dia ditetapkan sebagai tersangka pencucian uang yang dilakukan kurun 2004-2006 saat mejabat sebagai deputi SDM Polri, saat telah diajukan Presiden Jokowi sebagai calon tunggal Kapolri ke DPR.

Terlepas dari hal itu, posisi Polri yang dalam struktur kekuasaan berada di bawah presiden tentu membuatnya mau tidak mau harus tunduk dan patuh pada perintah presiden. Yang menjadi persoalan ketika campur tangan  presiden ini terlalu jauh masuk sampai pada hal hal teknis terkait rotasi jabatan kepolisian sehingga mekanisme baku yang biasa dilakukan terkait pergantian atau rotasi jabatan dilewatkan begitu saja.

Seperti kejadian pada pergantian Kabareskrim dari Komjen Suhardi Alius ke Irjen Budi Waseso. Proses pergantian yang tiba tiba ini menimbulkan spekulasi bermacam macam. Tentu hal ini erat kaitannya dengan dinamika dari pencalonan BG sebagai Kapolri yang kemudian tertunda pelantikannya karena ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.

Menurut Suhardi pergantian Kabareskrim dilakukan melalui perintah lisan Kapolri malam hari dan besok harinya langsung dilakukan serah terima jabatan tetapi sampai sekarang belum ada surat keputusan pengangkatannya karena Jenderal Sutarman keburu lengser. Proses yang cepat dan instan ini kental dengan aroma politik balas dendam lewat aktor aktor politik kekuasaan dari rezim yang sedang berkuasa.

Suhardi dianggap berperan besar dalam memasok data sehingga BG ditetapkan menjadi tersangka. Kalau memang betul begitu adanya maka wajar saja sudah menjadi tupoksi bareskrim melakukan kerja sama dan berkoordinasi dengan penegak hukum lainnya semisal KPK dan PPATK dalam dalam pemberantasan korupsi kepada siapapun tanpa pandang bulu

Kembali ke soal mekanisme pergantian jabatan tadi, Polri sesungguhnya telah memiliki mekanisme internal yang telah baku dan sudah ditradisikan sejak lama bahwa untuk pergantian dan penempatan jabatan perwira tinggi maka harus melewati wanjakti yang dipimpin oleh Wakapolri. Calonnya kemudian diusulkan kepada Kapolri untuk dipilih dan ditetapkan melalui surat keputusan Kapolri. Presiden sebagai atasan kapolri dalam hal ini hanya sekedar mengetahui

Maka jika dilihat dari proses yang telah terjadi maka bisa dikatakan bahwa proses pergantian kabareskrim ini illegal dan cacat hukum sehingga seharusnya Plt Kapolri yang saat ini dijabat Komjen Badrodin Haiti membatalkannya. Jangan sampai Polri sebagai bhayangkara negara dijadikan tunggangan politik untuk mempertahankan kekuasaan. Jika Polri konsisten dan lurus dalam mengelola ini maka pasti rakyat sebagai pemilik kedaulatan pasti akan mendukung

Sosok perwira sederhana, rekam jejak cemerlang, konsisten memberantas korupsi dan tidak neko-neko serta perwira lulusan terbaik diangkatannya seperti Suhardi maka Plt Kapolri jangan ragu-ragu untuk kembali memberikannya kesempatan memimpin bareskrim.

*) penulis adalah Sekretaris Jenderal DPP Gerakan Pemuda Nusantara (DPP GPN) 

BACA JUGA: