Oleh: Arif Usman*)

Dalam Pembukaan UUD 1945 dijelaskan bahwa salah satu tujuan dari pembangunan nasional adalah untuk mencerdaskan bangsa, agar dapat tercipta sumber daya manusia yang berkualitas,bertanggung jawab, maju dan mandiri sesuai dengan tatanan kehidupan masyarakat yang berdasar pancasila. "Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan." Pernyataan  ini dengan tegas disebutkan dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Pendidikan sebagai salah satu hak yang hakiki yang harus dimiliki oleh setiap manusia, diatur dan dilindungi oleh berbagai instrumen hukum nasional, maupun instrumen hukum internasional. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia sebagai salah satu instrumen hukum nasional mengatur bahwa negara dan pemerintah beserta masyarakat wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada  setiap orang untuk memperoleh pendidikan.

Kewajiban itu diperkuat pada Pasal 5 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) yang menyatakan bahwa Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Pendidikan yang bermutu dan berkualitas menjadi dambaan masyarakat, bangsa dan Negara. Namun saat ini dunia pendidikan di Indonesia belum sepenuhnya dapat memenuhi harapan masyarakat.

Potret buruk pendidikan seolah silih berganti mengiasi halaman media baik cetak maupun elektronik. Kecurangan-kecurangan yang dilakukan peserta didik seperti peredaran kunci jawaban dan kebocoran soal ujian dalam ujian nasional terus terjadi. Kasus pelecehan siswa, dari tindak kekerasan, pelecehan verbal hingga pelecehan seksual, oleh pihak pendidik di berbagai tempat turut menjadi indikasi kebobrokan moral di dunia pendidikan. Kasus serupa tidak hanya terjadi di kota besar, namun juga di seluruh penjuru Indonesia.

Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) mencatat sebanyak 2.008 kasus kriminalitas yang dilakukan anak usia sekolah terjadi di sepanjang kuartal pertama 2012. Jumlah itu meliputi berbagai jenis kejahatan seperti pencurian, tawuran, dan pelecehan seksual yang dilakukan siswa SD hingga SMA. Hal ini sudah dapat mencerminkan kondisi moral peserta didik yang semakin merosot.

Pendidikan Moral

Istilah Moralitas sudah dikenal secara luas dan sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari, namun sebenarnya ada berbagai konsepsi mengenai moralitas. Konsepsi moralitas sebagaimana yang diungkapkan Hill (M.Abrar Parinduri, 2014) mengidentifikasinya kedalam empat bagian yakni kepatuhan pada hukum moral (obedience to the moral law), konformitas pada aturan-aturan sosial (conformity to social rules), otonomi rasional dalam hubungan antarpribadi (rational autonomy in interpersonal dealings), dan otonomi eksistensial dalam pilihan seseorang (existential autonomy in one’s choice).

Pendidikan moral atau nilai hendaknya difokuskan pada kaitan antara pemikiran moral dan tindakan bermoral. Konsepsi moralitas perlu diintegrasikan dengan pengalaman dalam kehidupan sosial. Komponen kognitif dan afektif sangat diperlukan dalam pengembangan moral. Aspek kognitif memungkinkan seseorang dapat menentukan pilihan moral secara tepat, sedangkan aspek afektif menajamkan kepekaan hati nurani, yang memberikan dorongan untuk melakukan tindakan bermoral.

Menurut Thomas Lickona (Sutawi, 2010), ada 10 aspek degradasi moral yang melanda suatu negara yang merupakan tanda-tanda kehancuran suatu bangsa. Kesepuluh tanda tersebut (1) Meningkatnya kekerasan pada remaja, (2)Penggunaan kata-kata yang memburuk, (3) Pengaruh peer group (rekan kelompok) yang kuat dalam tindak kekerasan, (4) Meningkatnya penggunaan narkoba, alkohol dan seks bebas, (5) Kaburnya batasan moral baik-buruk, (6) Menurunnya etos kerja, (7) Rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru, (8) Rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara, (9) Membudayanya ketidakjujuran, (10) Adanya saling curiga dan kebencian di antara sesama.

Apabila kita melihat kesepuluh aspek yang dikatakan Lickona dengan membandingkan kondisi di Negara kita, semua hal tersebut sudah nampak di depan mata, lalu langkah antisipasi apa yang bisa dilakukan? Menurut penulis langkah antisipatif yang dapat dilakukan adalah pendidikan moral yang harus diberikan pada setiap jenjang pendidikan terutama pendidikan dasar.


Membentuk manusia yang berbudi pekerti luhur adalah salah satu dari aspek tujuan Pendidikan Nasional sebagaimana yang diterangkan dalam Pasal 3 Undang-Undang Sisdiknas  yang menjelaskan bahwa: "Pendidikan Nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab."
 
Pendidikan pada saat sekarang ini berbeda halnya dengan pendidikan masa lalu. Begitu juga halnya dengan pendekatan pendidikan moral/nilai yang pernah diterapkan di masa yang lalu seperti indoktrinatif sepertinya sudah tidak relevan lagi digunakan untuk generasi sekarang dan yang akan datang. Jika di masa lalu untuk mencegah terjadinya berbagai kasus kekerasan dan moral dalam dunia pendidikan hanya cukup dengan pendekatan indoktrinatif tersebut dan terkadang mengalami  kesulitan karena tidak terbentuknya pribadi-pribadi yang memiliki kemandirian dalam membuat keputusan moral. (M.Abrar Parinduri, 2014)

Oleh karena itu diperlukan alternatif sebagai pengganti agar pendekatan pendidikan moral/nilai memungkinkan subjek didik mampu mengambil keputusan secara mandiri dalam memilih nilai-nilai yang saling bertentangan, seperti yang terjadi pada kehidupan sekarang ini. Jangankan strategi indoktrinasi, strategi keteladanan pun sepertinya tidak lagi mampu membendung arus kerusakan moral dalam institusi pendidikan karena strategi ini mengalami kesulitan dalam menemukan siapa sosok yang ideal untuk dapat dijadikan contoh teladan.

Bercermin dengan Negara lain, seperti Finlandia, Jepang, dan Singapura, yang memiliki kesuksesan dibidang pendidikan, bahwa pendidikan dasar bukanlah masa dimana peserta didik dibebankan dengan banyaknya mata pelajaran. Pendidikan moral dan tata kramalah yang ditanamkan  untuk memunculkan sifat kedisiplinan,kemanusiaan, dan etika peserta didik. Dengan sistem tersebut, Negara tersebut tetap dapat meningkatkan kemampuan kognitif peserta didiknya tanpa meninggalkan nilai-nilai moral. Berbeda dengan Indonesia yang masih membebankan terlalu banyak mata pelajaran dibandingkan dengan pendidikan moral.

Pasal 77I Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan menyebutkan bahwa struktur kurikulum SD/MI, SDLB atau bentuk lain yang sederajat terdiri atas muatan pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan social, seni dan budaya, pendidikan jasmani dan olahraga, keterampilan/kejuruan, dan muatan local. Tidak ada satupun muatan pendidikan moral dalam peraturan pemerintah tersebut. Hal inilah yag dirasa menjadi akar dari berbagai permasalahan bangsa yang terjadi.

Menurut penulis, ada tiga poin penting kelemahan dari Undang-Undang Sisdiknas. Pertama, Implementasi konkrit pendidikan moral yang sangat kurang atau bisa dikatakan tidak sama sekali padahal telah tercantum fungsi pendidikan nasional pada Pasal 3 Undang-Undang Sisdiknas yang menyatakan bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Kedua, Krisis teladan serta menurunnya tingkat kepercayaan pendidik yang turut menyebabkan rendahnya kualitas moral peserta didik, terutama di pendidikan dasar. Tanpa adanya teladan, peserta didik akan sulit menginternalisasi nilai-nilai positif yang ada di bangku sekolah. Ketiga, belum adanya poin pendidikan moral dalam kurikulum pendidikan dasar. Mengingat bahwa pendidikan moral akan lebih efektif jika disampaikan sejak dini atau di pendidikan dasar.

*) Penulis Adalah Perancang Peraturan Perundang-undangan Sekretariat Jenderal DPR RI

BACA JUGA: