Oleh: Yeni Handayani, S.H.,M.H. *)
         
Berdasarkan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, negara Indonesia bertujuan melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsadan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Karena itu negara perlu melakukan tindakan tegas terhadap segala bentuk ancaman yang mengganggu rasa aman warga negara dan mengganggu kedaulatan negara termasuk ancaman tindak pidana terorisme dan aktivitas yang mendukung terjadinya aksi terorisme.

Terorisme merupakan ancaman nyata dan setiap saat dapat membahayakan keamanan bangsa dan negara. Terorisme merupakan kejahatan yang bersifat lintas negara, terorganisasi dan mempunyai jaringan luas, sehingga mengancam perdamaian dan keamanan nasional maupun internasional, oleh karena itu memerlukan penanganan secara terpusat, terpadu dan terkoordinasi. Menilik sejarahnya, Badan Nasional Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme (BNPT) dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010 tentang Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.

Beleid itu kemudian diubah Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2012 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010 tentang Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (Perpres tentang BNPT). BNPT merupakan sebuah Lembaga Pemerintah Nonkementerian (LPNK) Indonesia yang mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang penanggulangan terorisme. BNPT dipimpin oleh seorang kepala yang bertanggung jawab kepada Presiden melalui koordinasi Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan.

Pembentukan BNPT merupakan upaya penguatan yang bersifat institusional atas unit kerja yang dibentuk di bawah Menteri Koordinator Politik Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkopulhukam), Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme (DKPT) (Kep-26/Menko/Polhukam/11/2002). Unit kerja ini sendiri dibentuk sebagai tindak lanjut atas lahirnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2002 yang merespon terjadinya bom Bali.

Perpu tersebut lahir sebagai respon atas kekosongan hukum/kurang memadainya peraturan perundang-undangan yang mengatur bentuk kejahatan yang disebut terorisme. Setelah DKPT terbentuk ternyata belum mampu menyelesaikan masalah terorisme, sehingga pada saat Menkopolhukam melaksanakan rapat kerja dengan Komisi I DPR RI tanggal 31 Agustus 2009 direkomendasikan kepada pemerintah beberapa hal sebagai berikut:

a. Mendukung upaya pemerintah dalam penanggulangan dan pemberantasan terorisme;
b. Terorisme merupakan kejahatan luar biasa dan dijadikan musuh bersama; peningkatan kapasitas dan keterpaduan penanggulangan terorisme dengan peningkatan peran masyarakat; dan c. Agar pemerintah membentuk suatu badan yang berwenang secara operasional melaksanakan tugas pemberantasan tindak pidana terorisme.

Tindak pidana terorisme yang diproses hukum sejak BNPT diresmikan melalui Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010 tentang Badan Nasional Penanggulangan Terorisme sebanyak 299 kasus, atau merupakan 26% (dua puluh enam) persen dari jumlah keseluruhan tindak pidana terorisme yang terjadi dan di proses hukum sejak peristiwa bom Bali yang mencapai 867 kasus.

Jumlah tersebut terjadi hanya dalam kurun waktu kurang dari 3 (tiga) tahun sejak BNPT diresmikan 2010 sampai 2013 dan jumlah itu belum termasuk tindak pidana terorisme yang ditangkap dan masih dalam proses hukum sepanjang semester pertama tahun 2014 yang berjumlah kurang lebih sebanyak 50 (lima puluh) orang tersangka/terdakwa.

Sebelum tahun 2010, sasaran teror kelompok radikal dalam aksi terorisme biasanya ditujukan kepada orang atau kepentingan asing yang ada di indonesia. Namun sejak kasus pelatihan militer Aceh terungkap, sasaran serangan terror sebagian besar ditujukan kepada aparat penegak hukum yang dianggap menjadi penghalang gerakan kelompokn radikal yang mengedepankan kekerasan.

Dengan demikian dari 2 (dua) fakta tersebut saja dapat dilihat bahwa BNPT masih memerlukan evaluasi dan optimalisasi dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai lembaga yang bertanggung jawab terhadap penanggulangan terorisme, walaupun kuantitas tindak pidana terorisme saat ini menurun, namun fenomena teror ke depan masih akan berkembang.

Secara institusional, diluar BNPT, sebagai bagian dari implementasi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Terorisme, masing-masing Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dan Tentara Nasional Indonesia membentuk satuan-satuan khusus seperti Detasemen 88 (Polri), Sat-81/Gultor, kopassus, Detasemen Bravo 90, dan Detasemen Jala Mengkara (TNI-AL). Masing-masing satuan merupakan satuan khusus yang memiliki struktur rentang pertanggungjawaban khusus di masing-masing institusi, seperti satuan Densus 88 secara birokrasi berada dalam rentang pembinaan Bareskrim, namun secara pelaporan dan pertanggungjawaban langsung kepada Kepala Polri (Kapolri).


Satuan khusus tersebut dibentuk berdasarkan surat keputusan kepala institusi masing-masing. Tidak terdapat rujukan resmi yang bersifat publik yang menunjukkan pola dan koordinasi kerja antara satuan tersebut maupun dengan BNPT.

Perpres tentang BNPT sebenarnya telah memberikan cakupan mandat dan kewenangan yang cukup luas bagi BNPT, sebagai badan utama pemerintah yang dibentuk untuk tujuan sebagaimana diatur dalam Pasal 2, terdapat 4 kewenangan yang kemudian diturunkan dalam tugas yang lebih praktis yang tercantum dalam Pasal 3 yang menyatakan kewenangan BNPT mencakup:

1) Penyusunan strategi, kebijakan dan program nasional,
2) Mengkoordinasi instansi pemerintah terkait dalam pelaksanaandan melaksanakan kebijakan di bidang penanggulangan terorisme,
3) Melaksanakan kebijakan dengan membentuk satgas-satgas yang terdiri dari unsur instansi pemerintah terkait sesuai dengan tugas pokok fungsi dan kewenangan masing-masing.

Selain itu, pemberian kewenangan dan otoritas bagi BNPT sebagai pusat pengendalian krisis apabila terjadi tindak pidana terorisme yang tertuang dalam Pasal 4 juga merupakan satu kewenangan yang cukup strategis dan luas.

Berdasarkan pengaturan substansi dan cakupan mandat serta kewenangan kelembagaan, sebenarnya Perpres tersebut telah menyediakan ruang yang cukup luas dan memadai. Adapun  permasalahannya mungkin terletak pada seberapa jauh aturan tersebut dapat secara efektif mengkoordinasikan berbagai elemen birokrasi dari berbagai kementrian yang terkait dalam satu koordinasi kerja yang mumpuni. Kendala lain yang mungkin timbul adalah terkait dengan kewenangan dan akses anggaran, khususnya terkait anggaran belanja negara.

Berkenaan dengan rencana penguatan BNPT melalui pembentukannya dalam undang-undang tentunya akan menimbulkan konsekuensi hukum tersendiri dalam upaya penanganan tindak pidana terorisme di indonesia. Lembaga baru yang dibentuk pada prinsipnya bersifat sementara, sebagai lembaga yang mendukung atau membantu (auxiliary state’s organ) lembaga negara yang sudah ada (main state’s organ).

Selayaknya, dalam sistem pemerintahan presidensil yang dianut oleh Indonesia, ketika koordinasi antar kementerian/lembaga yang memiliki kewenangan penanganan terorisme telah berjalan dengan baik maka fungsi koordinasi masalah terorisme dapat dikembalikan kepada menteri koordinator bidang keamanan secara langsung sesuai dengan amanat konstitusi.

Dalam Pasal 5 Perpres tentang BNPT diatur bahwa dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, BNPT dikoordinasikan oleh menkopolhukam. Apabila BNPT nantinya dibentuk dalam produk hukum undang-undang, dapat dikatakan BNPT telah berubah fungsinya dari lembaga negara bantu menjadi lembaga negara yang permanen, yang secara de facto akan memiliki kedudukan sederajat dengan kementerian/lembaga negara.

Padahal, BNPT bukan lembaga negara yang dibentuk karena amanat konstitusi, bahkan tidak dibentuk dari amanat undang-undang, namun ada karena suatu kebijakan politik yang pada dasarnya dapat berubah seiring dengan perkembangan yang terjadi. Dengan kondisi demikian, sudah sangat tepat jika kelembagaan BNPT cukup diatur dengan Peraturan Presiden sehingga tidak perlu diatur dalam suatu undang-undang tersendiri

Penguatan fungsi BNPT sebaiknya dengan mengoptimalisasikan fungsi BNPT yang menitikberatkan pada bidang tugas soft approach, berupa perumusan kebijakan strategis dalam upaya pencegahan tindak pidana terorisme dan deradikalisasi, namun masih tetap dalam koridor sebagai koordinator dan fasilitator.

Pelaksanaan tugas BNPT dalam penanggulangan tindak pidana terorisme sebatas tugas langkah pencegahan mulai dari edukasi, pre emtif dan preventif, serta deradikalisasi dan mengembalikan/menyadarkan kembali para mantan narapidana tindak pidana terorisme agar kembali menjadi warga masyarakat yang taat dan patuh terhadap kaidah hukum yang berlaku.

Profesionalisme sumberdaya manusia di BNPT perlu terus ditingkatkan kualitas dan kuantitasnya, Upaya peningkatan profesionalisme dapat dilakukan sejak rekruitmen sumber daya manusia sesuai dengan kualifikasi yang diperlukan, kemudian melakukan latihan-latihan yang terprogram, penguatan kelembagaan, penguatan koordinasi dan kerjasama diantara lembaga-lembaga penanggulangan terorisme yang ada. Indikasi keberhasilan peningkatan sumber daya manusia di BNPT adalah dengan makin berkurangnya keluhan masyarakat atas tindakan yang dilakukan BNPT khususnya dalam upaya operasi penggalangan.


Struktur organisasi BNPT yang ada saat ini sudah baik, namun perlu ditingkatkan mengenai kualifikasi masing-masing personil yang ada dalam struktur organisasi tersebut sehingga dengan mengedepankan peningkatan fungsi akan terwujud profesionalisme BNPT. Selain itu pelaksanaan tugas dan fungsinya BNPT dalam melakukan penanggulangan tindak pidana terorisme diperlukan peningkatan dan mekanisme koordinasi yang jelas dengan instansi pemerintah terkait.

Diantaranya adalah kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan serta menerima masukan dari akademisi maupun praktisi hukum lainnya. Dengan demikian akan terbentuk koordinasi yang solid dan akan menciptakan kerjasama yang solid dalam hal penanggulangan terorisme.

Penguatan BNPT cukup dilakukan dengan menyempurnakan Perpres tentang BNPT, khususnya menambahkan substansi mengenai bidang tugas soft approach antara lain:

Bidang Pencegahan:

a. Mengkoordinir komunitas intelijen Negara sesuai dengan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara dalam rangka kontra radikalisme.
b. Mengkoordinir kementerian/lembaga yang membidangi pendidikan, keagamaan, kepemudaan, sosial, komunikasi dan informasi dalam rangka membangun daya tangkal masyarakat terhadap masuknya paham radikal/terorisme baik melalui lembaga formal maupun non formal.
c. Melaksanakan pengawasan terhadap munculnya organisasi yang mengembangkan ideologi radikal dan melawan penyebaran propaganda ideologi radikal.

Bidang Rehabilitasi

a. Mengkoordinasikan kementerian hukum dan ham dalam hal ini direktorat jenderal pemasyarakatan berkenaan pembangunan infrastruktur lembaga pemasyarakatan/ penempatan  khusus bagi narapidana terorisme.

b. Mengkoordinir pelaksanaan rekomendasi pembebasan bersyarat terhadap narapidana tindak pidana terorisme dan pembuatan sistem penilaian (assesment), sesuai dengan PP Nomor 99 Tahun 2012 tentang perubahan kedua atas Pasal 43b Ayat (3) huruf a Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

Disebutkan, Direktur Jenderal Pemasyarakatan dalam memberikan pertimbangan pembebasan bersyarat wajib meminta rekomendasi dari instansi terkait  yaitu Polri, BNPT dan/atau Kejaksaan Agung dalam hal narapidana dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme.

c. Melaksanakan pengawasan terhadap mantan narapidana tindak pidana terorisme yang sudah kembali ke masyarakat.

d. Mengkoordinir pelaksanaan teknis yang meliputi: penjemputan wni yang ditetapkan sebagai tersangka dan/atau napi maupun mantan narapidana tindak pidana terorisme yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, perlindungan saksi dan korban yang masuk dalam kategori orang atau lembaga yang dilindungi secara internasional (duta besar, konsulat, atase, staf embassy/corps diplomatic), eksekusi napi narapidana tindak pidana terorisme terorisme, kompensasi, restitusi dan rehabilitasi untuk narapidana tindak pidana terorisme,  pengawasan dan pengendalian situs-situs radikal.

e. Mengkoordinir kegiatan pembinaan kemampuan personil seluruh instansi yang terlibat dalam penanggulanan terorisme.

f. Memfasilitasi penelitian dan pengembangan peralatan utama dan peralatan khusus sesuai pemutakhiran ilmu pengetahuan dan teknologi serta kebutuhan tuntutan tugas para pelaksana dilapangan.

Selain itu, penguatan BNPT juga dapat dilakukan dengan mempertimbangkan adanya perubahan Undang-Undang tentang pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang di dalamnya mengatur BNPT secara komprehensif.

*) Penulis adalah Tenaga Fungsional Perancang Undang-Undang Bidang Politik Hukum dan Hak Asasi Manusia, Sekretariat Jenderal DPR RI.

BACA JUGA: