Oleh: Yanuar Prihatin*)

Pembahasan RUU tentang Penetapan Perppu Nomor 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota yang saat ini berlangsung di DPR sudah jelas arahnya.  Mayoritas fraksi akan menerima Perppu tersebut untuk ditetapkan menjadi undang-undang. Sikap ini merupakan bentuk kesadaran bersama bahwa menerima Perppu jauh lebih baik daripada menolak Perppu yang bisa mendorong munculnya masalah-masalah baru yang lebih rumit.

Namun tentu saja harus diakui bahwa penetapan Perppu tersebut menjadi undang-undang bukan berarti persoalan telah selesai. Harus diingat kembali bahwa penyelenggaraan pemilukada selama ini masih banyak kekurangan dan kelemahan pada berbagai aspeknya. Apakah Perppu nomor 1 tahun 2014 ini mampu mengatasi kekurangan dan kelemahan ini? Belum tentu.

Secara umum, substansi yang tertuang dalam Perppu ini sebenarnya belum menunjukkan karakter perubahan yang bersifat fundamental, strategis dan komprehensif. Semangat perubahan yang muncul dalam Perppu ini lebih kuat pada aspek perbaikan teknis-prosedural. Sementara pertanyaan penting ini tidak terjawab tuntas oleh Perppu. Pertanyaan itu adalah apakah Perppu ini bisa menjamin munculnya calon kepala daerah yang terbaik dan memenuhi segala persyaratan yang ideal?  

Fakta selama ini menunjukkan bahwa tidak sedikit kepala daerah yang akhirnya masuk bui karena terjerat perkara hukum. Artinya, kepala daerah yang terpilih ternyata bukanlah orang yang terbaik karena dia masih gampang tergoda untuk berbuat tercela dan melanggar hukum. Kepala daerah yang baik dan ideal tentunya harus memiliki kontrol yang kuat di dalam dirinya, tidak mudah terjerat oleh rayuan harta dan penyelahgunaan kekuasaan. Regulasi tentang pemilukada seharusnya mampu menjamin munculnya individu-individu yang berkarakter dan mumpuni dalam segala aspek kepribadiannya.

Dengan sudut pandang semacam itu, maka Perppu nomor 1 tahun 2014 meskipun nantinya ditetapkan menjadi undang-undang mutlak harus direvisi dalam tahap pembicaraan berikutnya. Beberapa aspek penting yang memerlukan revisi atau perubahan mencakup hal-hal berikut, antara lain:

1.  Persyaratan Calon

Persyaratan calon kepala daerah/wakil kepala daerah yang berjalan selama ini terkesan lebih banyak berurusan dengan soal-soal administratif, terutama terkait dengan kelengkapan berkas atau dokumen yang dibutuhkan. Dalam kenyataannya, seringkali dokumen-dokumen ini tidaklah menggambarkan secara tepat tentang kualitas, kompetensi, integritas dan kepemimpinan individu calon. Ke depan, perlu dikembangkan persyaratan calon kepala daerah/wakil kepala daerah yang mengacu kepada Indeks Kepemimpinan Daerah (IKD) yang memiliki indikator yang jelas, terukur, komprehensif, akurat dan bisa dipertanggungjawabkan.

Salah satu contohnya adalah tentang syarat: "Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa". Syarat ini paling sering diabaikan bahkan dianggap tidak penting. Pencantuman syarat ini dalam sejumlah undang-undang terkesan hanya lips service, simbolik dan pemanis belaka, tanpa kesungguhan untuk mengopersionalkannya dalam pengujian syarat calon. Tidak pernah digali dan dikembangkan secara sungguh-sungguh dan cermat, apa ukuran bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa itu.  

Apa indikator yang menjadi alat ukur yang jelas untuk mengukur ketaqwaan seorang calon kepala daerah/wakil kepala daerah? Dan siapa pula yang harus mengukurnya? Jika menurut ukuran yang bisa dipertanggungjawabkan, seorang calon tidak memenuhi syarat ini lantas bagaimana nasibnya sebagai seorang calon: bisa diteruskan atau gugur? Hal ini penting untuk dipertimbangkan serius oleh semua pihak mengingat aspek religiusitas termasuk komponen sangat penting dalam kepribadian dan jiwa seseorang, apalagi bagi seorang pemimpin daerah.

Tentu saja masih banyak syarat-syarat lainnya yang harus digali, dikembangkan dan disempurnakan. Setiap syarat pencalonan yang ditetapkan dalam undang-undang haruslah pula memiliki indikator atau alat ukur yang jelas untuk menilai seorang calon kepala daerah/wakil kepala daerah. Semua ini diperlukan agar kita benar-benar bisa memperoleh pemimpin daerah yang terbaik yang mampu memajukan daerah itu secara nyata dan bertanggungjawab.

2.  Uji Publik

Uji publik tetap diperlukan, namun hasil akhir dari uji publik haruslah jelas dan tegas. Panitia uji publik tidak sekadar memberikan keterangan bahwa seorang calon kepala derah sudah mengikuti uji publik. Jika seperti ini formatnya, maka panitia uji publik sama saja dengan panitia seminar yang hanya mengeluarkan sertifikat untuk peserta tanpa pernah tahu apakah peserta itu lulus atau tidak.

Panitia uji publik harus diberi kewenangan untuk melakukan penilaian nyata atas individu calon menurut ukuran-ukuran yang jelas, terbuka, akurat dan bisa dipertanggungjawabkan secara akademis, yuridis dan politis.  Indeks Kepemimpinan Daerah (IKD) bisa dijadikan acuan oleh Panitia Uji Publik untuk mengukur dan menilai individu calon. Meskipun penilaian ini bukan keputusan final atas nasib seorang calon, namun uji publik yang berbobot akan sangat membantu partai politik menentukan pilihan yang tepat atas seorang bakal calon yang hendak dimajukan sebagai calon definitif.

3.  Indeks Kepemimpinan Daerah (IKD)

Kepemimpinan adalah kumpulan dari sejumlah kemampuan yang melekat pada diri seseorang sehingga dia layak disebut pemimpin. Pemilukada secara langsung harus mampu menjamin munculnya pemimpin, bukan melegitimasi munculnya kaum oportunis, pekerja birokrasi dan pemburu harta. Karena itu diperlukan suatu ukuran atau parameter yang obyektif, valid, komprehensif, terukur dan bisa dipertanggungjawabkan secara akademis, filosofis, yuridis dan politis untuk menilai kemampuan kepemimpinan seseorang.

Ini adalah persoalan serius karena menyangkut masa depan pembangunan dan kemakmuran di daerah. Jangan menyederhanakan soal kepemimpinan daerah hanya sekedar soal politik dukung-mendukung dan kemampuan finansial seorang calon. Harus dikembangkan alat ukur baru kepemimpinan daerah yang bersifat obyektif dan komprehensif. Regulasi pemilkukada harus memuat secara jelas dan tegas Indeks Kepemimpinan Daerah (IKD) sebagai acuan untuk merumuskan persyaratan seorang calon kepala daerah.

Dengan tidak diberlakukannya penilaian yang serius untuk meloloskan seorang calon kepala daerah ternyata telah berdampak sistemik yang mengacaukan seleksi obyektif kepemimpinan daerah berbasis kompetensi. Dampak buruknya, siapa saja bisa jadi calon gubernur, bupati dan walikota sebagai akibat simpelnya persyaratan calon kepala daerah.


Dan inilah hasilnya: kepala daerah banyak masuk bui, kemiskinan lambat diatasi, KKN merajalela di daerah, insfrastruktur tambal sulam, pertanian bergerak lambat, dan seterusnya. Situasi ini harus segera dicegah dan diatasi dengan cara menerapkan alat ukur baru untuk menilai seorang calon kepala daerah berdasarkan Indeks Kepemimpinan Daerah (IKD).

Indeks Kepemimpinan Daerah (IKD) harus mencakup berbagai aspek secara komprehensif, obyektif, akurat dan terukur, antara lain aspek-aspek berikut:

a. Religiusitas;
b. Pemahaman ideologi, kesetiaan dan wawasan nasional;
c. Karakter dan sikap mental pribadi;
d. Kemampuan komunikasi;
e. Kemampuan manajerial;
f.  Kemampuan konseptual-akademik;
g. Wawasan regional dan global;
h. Dukungan lintas golongan/parpol;
i.  Kemampuan ekonomi/financial pribadi;
j.  Rekam jejak, termasuk masalah hukum;
k. Kehidupan keluarga;
l.  Dan sebagainya.

Tentu saja berbagai indikator lainnya masih bisa digali, dikembangkan dan dirumuskan lebih sempurna, termasuk di dalamnya menyertakan hal-hal yang bersifat adiminsitratif-dokumentatif.

4.  Rentang Waktu Tahapan Pemilukada

Rancangan tahapan pemilukada sesuai Perppu Nomor 1 tahun 2014 membutuhkan waktu sekitar 13 sampai 14 bulan, dari mulai penerbitan PKPU, pendaftaran bakal calon, pembentukan panitia uji publik, pelaksanaan uji publik, pencalonan, kampanye, pemungutan suara, penetapan hasil rekapitulasi, penyelesaian sengketa hingga penetapan calon terpilih. Jika ada putaran kedua, maka diperlukan waktu hingga 17 bulan seluruhnya. Rentang waktu yang panjang ini tentu tidak efisien, diperlukan pendalaman dan kajian ulang atas seluruh proses yang berlangsung dalam tahapan pemulukada ini.

5.  Pemilukada Serentak

Terkait pemilukada serentak juga memerlukan pendalaman dan pembahasan yang komprehensif, bukan sekedar waktu pelaksanaannya, tetapi juga menyangkut pilihan-pilihan model "ke-serantak-an" itu, apakah serentak secara nasional atau serentak berdasarkan wilayah/regional tertentu. Harus diingat pemilukada serentak memerlukan kesiapan yang cukup matang pada banyak aspek, termasuk aspek penyelesaian sengketa, aspek keamanan dan stabilitas lokal dan nasional, aspek kesiapan penyelenggara pemilu, dan sebagainya.

Jangan memandang pemilukada serentak hanya dengan pertimbangan efisiensi waktu dan penghematan anggaran belaka. Bahkan dalam soal keserentakan waktu pelaksanaan pemilukada, ada beberapa opsi yang bisa dikaji, apakah serentak berdasarkan hari, minggu atau bulan.

6.  Calon Tunggal versus Calon Paket

Selama ini calon yang diajukan dan diusung dalam pemilukada bersifat paket, yaitu calon kepala daerah berpasangan dengan calon wakil kepala derah. Namun dalam Perppu Nomor 1 tahun 2014, calon yang diajukan bersifat tunggal, hanya calon kepala daerah saja. Pengisian jabatan wakil kepala derah menjadi wewenang calon kepala daerah terpilih. Kedua model ini memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Sistem pemilihan satu paket mampu merangkul kekuatan politik lokal dan efisien pada saat terjadinya penggantian kepala derah oleh wakil kepala derah ketika kepala derah berhalangan tetap. Namun kelemahannya, sistem ini telah mendorong terjadinya disharmoni dalam kepemimpinan daerah, konflik birokrasi dan penyeragaman jumlah wakil kepala daerah padahal kondisi antar daerah itu berbeda-beda.

Sementara itu, sistem pemilihan tunggal lebih menjamin stabilitas pemerintahan lokal dan memperkuat loyalitas wakil kepala daerah kepada kepala daerah. Namun bisa muncul resistensi dari partai politik sebagai akibat kegagalan membangun koalisi di tahap awal penentuan bakal calon.

Atas dasar itu, maka soal yang satu ini penting untuk didiskusikan dan dikaji kembali agar diperoleh format yang lebih baik dan bisa dioperasionalkan. Itulah beberapa catatan penting yang perlu mendapat perhatian bersama. Catatan-catatan lainnya tentu akan berkembang seiring dengan penyerapan aspirasi di masyarakat serta dinamika pembahasan di DPR.

*) Penulis adalah anggota Komisi II DPR RI Fraksi PKB

BACA JUGA: