Oleh: Yusri Usman*)

Lampu hijau yang diberikan oleh pemerintah baru di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo kepada Pertamina sebagai operator blok Mahakam merupakan angin segar bagi perusahaan migas pelat merah itu. Apalagi setelah blok tersebut dikuras selama 50 tahun oleh perusahaan Total Indonesia.

Niat pemerintah memberikan blok Mahakam kepada Pertamina seperti yang diumumkan oleh Plt Dirjen Migas Ir Naryanto Wagimin dan Widyawan Prawira Atmaja sebagai Kepala Unit Pengendalian kinerja Kementerian ESDM adalah suatu angin segar dan langkah yang tepat serta perlu diapresiasi. Apalagi saat ini suasana lifting migas nasional menurun terus di angka sekitar 800.000 BPOD. Sementara komsumsi BBM terus meningkat sesuai pertumbuhan ekonomi nasional di sekitar 1,5 juta BPOD per hari.

Sudah tentu kalau blok Mahakam jadi dikelola oleh Pertamina dengan serius dan fokus akan meningkatkan produksi migas bagian negara. Sayangnya, kebijakan pemerintah ini dikomentari dengan kalimat bersayap oleh ke dua pejabat migas ini. Widyawan mengatakan, syarat untuk Pertamina mendapatkan blok Mahakam adalah harus menggandeng kontraktor sebelumnya alias Total Indonesia.

Lebih jauh Widyawan mengatakan, keharusan menggandeng Total Indonesia itu, adalah sebagai bentuk keadilan. Alasannya, selama ini Total sudah berinvestasi dalam mengelola blok Mahakam dan sebaiknya opsi Pertamina berkesempatan mengelola blok milik Total diluar negeri. Bahkan Widyawan mengatakan, kalau Total tidak diajak, maka mereka akan memboyong semua tenaga ahlinya keluar negeri.

Sikap setengah hati pemerintah untuk melepas blok Mahakam kepada Pertamina ini jelas mengecewakan. Sikap Widyawan itu sendiri perlu dipertanyakan apakah merupakan representasi sikap pemerintah cq Kementerian ESDM? Apakah merupakan sikap resmi Presiden Jokowi atau Wapres Jusf Kalla? Ataukah sikap pribadi yang ditunggangi "sponsor" tertentu?

Jika benar ini sikap pemerintah, maka hal itu sangat mengecewakan. Widyawan, sebagai bagian dari pemerintah yang juga pernah berada di Pertamina, lupa tenaga ahli migas Pertamina di hulu sudah sangat piawai dalam mengelola blok migas.

Contohnya, blok West Madura Offshore (WMO ) ketika dikelola oleh Kodeco, produksinya tinggal 13.000 BPOD dan sekarang sudah mencapai 22.000 BPOD. Ada lagi blok Offshore North West Java (ONWJ) yang pada saat  diakuisisi oleh Pertamina dari British Petroleum pada tahun 2009 produksinya hanya 21.000 BPOD dan saat ini sudah mencapai 46.000 BPOD.

Fakta ini seharusnya menjadi suatu hal yang luar biasa membanggakan kita. Sementara itu akitivitas Pertamina Hulu di luar negeri seperti di Australia, Sudan, Irak,Libya, Qotar dan Aljazair baik sebagai operator maupun penyertaan modal memperlihatkan hasil yang belum siginifikan dari dana-dana yang sudah dikeluarkan. Artinya modal yang dikeluarkan belum sebandung dengan hasil produksinya.

Melihat hal itu, sebaiknya Pertamina  saat ini fokus saja terhadap  potensi blok-blok migas yang akan berakhir kontraknya sampai ddengan tahun 2019 (ada sekitar 20 blok ) termasuk blok Mahakam. Jangan seperti pepatah kambing kurus di negeri orang dikejar kejar, kerbau gemuk di kampung sendiri dipotong orang lain.

Blok Mahakam adalah persoalan nasionalisme dan harga diri anak Bangsa. Karena itu pemerintah dalam hal ini Kementerian ESDM dan SKK Migas dituntut jujur terkait pengelolaan blok migas di Indonesia. Selama ini proses tender pengelokaan blok migas sangat buruk seperti tender Duri Crude, Senipah dan Bontang Return Condensat.

Proyek-proyek itu selama ini dikuasai pemain tertentu seperti Widodo Ratanachaitong pemilik Kernel Oil yang pernah diperiksa KPK terkait kasus suap mantan Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini. Penulis mensinyalir, Widodo tetap bermain dengan memakai nama perusahaan baru. Soal ekspor minyak mentah seperti hasil dari Duri Crude ini, jelas melanggar UU Nomor 22 tahun 2001 tentang Migas. Pasal 11 Ayat (3) beleid itu berbunyi: "Kewajiban  pemasokan minyak dan gas bumi untuk kebutuhan dalam negeri"

Juga Permendag Np 42/M.Dag/Per/2009 Pasal 3 Ayat (1) berbunyi: "Minyak dan gas bumi sebagaimana disebut pada Pasal 2 dapat diekspor dan diimpor setelah mempertimbangkan kondisi pasokan dalam negeri".

Karena itu penjualan duri crude ke luar negeri melanggar beleid tersebut. Padahal kilang Balongan dan Dumai Pertamina sangat membutuhkan Duri Crude dan kilang Cilacap dan Balikpapan bisa mengolah Belanak Crude karena spesifikasinya cocok untuk kilang-kilang tersebut.

Pemerintah juga harus menjelaskan soal penunjukkan kuasa jual LNG bagian negara kepada Chevron Rapak, Ganal Makasar dan Eni Muara Bakau sesuai SK Nomor 0062/BPOOOOO/2011/SO tanggal 11 Mei 2011 yang ditandatangani oleh kepala BP Migas Raden Priyono.

Selain itu ada juga kasus lain yang mengindikasikan keberpihakan pada asing seperti adanya alokasi gas kepada hampir 100 trader gas dan sebagian bertameng Perusahaan Daerah (BUMD) yang tanpa persetujuan Menteri ESDM. Padahal menurut Permen ESDM 03 tahun 2010 harus atas persetujuan Menteri ESDM.

Terkait Blok Mahakam, alasan menggandeng kembali Total Indonesia juga dinilai tidak masuk akal. Karena terkait investasi, semua investasi Total di blok Mahakam sudah diganti oleh cost recovery. Selain itu, blok Mahakam adalah lapangan pengembangan yang berisiko lebih kecil dibandingkan Pertamina masuk ke "virgin area" atau "greenfield area" yang berisiko tinggi.

Suatu hal yang harus diingat sesungguhnya staf karyawan Pertamina dan khususnya di bidang perminyakan memiliki kemampuan yang hebat. Bahkan banyak juga yang masih muda-muda sudah berkiprah di NOC Petronas, Saudi Aramco dan lainnya di NOC Timur Tengah. Hanya karena banyaknya intervensi dari pihak-pihak luar saja yang bikin Pertamina ini selalu terseok seok dan selalu dijadikan kambing hitam kalau terjadi krisis BBM.

*) Penulis adalah pemerhati kebijakan energi nasional

BACA JUGA: