oleh: Chairul Umam*)

Problematika pembebasan lahan untuk pembangunan kepentingan umum selalu saja tak kunjung usai. Walaupun telah disahkan Undang-Undang mengenai Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Bagi Kepentingan Umum dengan UU Nomor 2 Tahun 2012 (UU PTUP), namun penerapannya di lapangan masih banyak menuai masalah. Baru-baru ini kita dikejutkan oleh nilai ganti rugi tanah yang sangat fantastis sebesar Rp35 juta/meter persegi hasil putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara. Pembayaran tersebut dimaksudkan sebagai ganti tanah warga yang digunakan untuk proyek Akses Tol Tanjung Priok, Jakarta Utara.

Nilai ganti rugi tersebut diputuskan setelah diajukan keberatan oleh warga yang terkena obyek pembangunan ruas tol tersebut. Nilai mana sangat berbeda jauh dengan nilai ganti rugi yang telah diterima terdahulu oleh sebagian warga. Beberapa pihak mempertanyakan putusan yang dikeluarkan oleh PN Jakarta Utara tersebut, mulai dari soal kewenangan PN dalam menentukan nilai harga tanah dan pertimbangan atau ukuran penentuan jumlah nilai ganti rugi. Pemda DKI Jakarta yang tidak puas dengan putusan PN kemudian berniat mengajukan banding atas putusan tersebut.

Jumlah nilai ganti rugi tersebut dianggap sangat tinggi bahkan dibandingkan dengan daerah yang terkenal sebagai "daerah mahal" di Jakarta (contoh: Pondok Indah). Belum lagi masalah kewenangan PN dalam ikut menentukan jumlah penilaian ganti rugi yang dianggap oleh pihak tertentu telah melampaui kewenangan (ultra vires) yang diberikan oleh peraturan perundangan. Menurutnya, kewenangan penilaian ganti kerugian ada di Penilai berdasarkan Pasal 25 Ayat (1) Peraturan Kepala BPN No. 3 Tahun 2007. Oleh karenanya menarik untuk melihat sejauh mana penilaian ganti kerugian diatur dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pelaksanaan pembebasan lahan di tanah air.

a. Pembentukan UU PTUP

Lahirnya UU PTUP sebagai aturan operasional tertinggi tentang pengadaan tanah bagi pembangunan kepentingan umum, merupakan aturan yang dibentuk guna menyempurnakan aturan yang sama sebelumnya dalam bentuk perpres yaitu Perpres 65 Tahun 2006 sebagai perubahan Perpres 36 Tahun 2005. Selain penyempurnaan substansi pengaturan, pembentukan UU PTUP juga dianggap sekaligus sebagai koreksi bentuk hokum peraturan perundang-undangan. Pembebasan lahan untuk pembangunan kepentingan umum yang dalam praktiknya mengambil hak warga negara atas kepemilikan atau penguasaan tanah tidak tepat jika diatur hanya dalam bentuk Perpres.

Rakyat sebagai pemegang hak tidak diajak bicara dan dimintai pendapatnya dalam pembentukan Perpres yang merupakan hak prerogatif Presiden. Lain halnya jika dalam bentuk hokum undang-undang dimana pembahasannya dilakukan bersama antara Pemerintah dan DPR sebagai perwakilan dari rakyat. Dalam bentuk undang-undang, selain memperkuat posisi tawar warga negara dalam pembebasan lahan sekaligus juga memperkuat posisi pemerintah dalam pelaksanaan pembangunan kepentingan umum. Daya laku dan daya ikat dari undang-undang dianggap lebih kuat dari sekedar bentuk hukum perpres.

Sebagaimana layaknya UU yang memerlukan peraturan pelaksana, UU PTUP saat ini telah dilengkapi dengan beberapa peraturan organiknya antara lain Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, yang mengatur secara lebih rinci setiap tahap penyelenggaraan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.

Kemudian ditindaklanjiuti dengan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI Nomor 5 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengadaan Tanah, Peraturan Menteri Dalam Negeri RI Nomor 72 Tahun 2012 tentang Biaya Operasional dan Biaya Pendukung Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, dan Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 13/PMK.02/2013 tentang Biaya Operasional dan Biaya Pendukung Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

b. Masalah Penilaian Ganti Kerugian

Walaupun UU PTUP telah diundangkan selama lebih dari dua tahun dan didukung oleh seperangkat peraturan organiknya, pelaksanaannya di lapangan tak lantas sepi dari masalah. Hal ini dapat disebabkan oleh banyak faktor. Bisa jadi penyebabnya adalah kurangnya sosialisasi peraturan maupun teknis pelaksanaan proses pengadaan tanah bagi pembangunan kepentingan umum. Sehingga dalam praktek bisa saja tidak tahu adanya aturan baru atau tidak paham teknis detilnya sehingga terjadi salah tafsir yang berakibat salah penerapan hukum. Dalam beberapa masalah teknis operasional pengadaan tanah memang sangat sulit dimengerti oleh masyarakat awam bahkan pada tingkat aparatur pemerintah sekalipun.

Padahal masyarakat dan aparatur pemerintah adalah stake holder penting dari peraturan perundang-undangan di bidang pengadaan tanah untuk pembangunan kepentingan umum. Karena suatu saat bisa saja tanah kita sebagai warga masyarakat terkena obyek pembebasan lahan dan aparatur pemerintah di wilayah lokasi tanah tersebut maupun nasional yang akan melaksanakan tahapan proses pengadaan tanahnya.

Dalam kasus putusan penetapan jumlah ganti rugi oleh PN Jakarta Utara menarik untuk dilihat bagaimana sebenarnya penilaian ganti kerugian diatur dalam UU PTUP maupun peraturan pelaksananya. Proses penilaian ganti kerugian dalam UU PTUP terdapat dalam tahapan pelaksanaan pengadaan tanah yaitu setelah proses penetapan hasil verifikasi dan penetapan penilai yang ditetapkan oleh lembaga pertanahan (BPN).

Penilai merupakan profesi yang secara nasional diatur dan berada di bawah kementerian keuangan. Mereka adalah orang perseorangan yang melakukan penilaian secara independen dan profesional yang telah mendapat izin praktik penilaian dari Menteri Keuangan dan telah mendapat lisensi dari Lembaga Pertanahan untuk menghitung nilai/harga objek pengadaan tanah (Pasal 1 angka 11 UU PTUP).

Dalam pengadaan tanah, penilai bertugas melakukan penilaian terhadap objek pengadaan tanah (Pasal 31 UU PTUP). Penilaian besarnya ganti kerugian oleh Penilai dilakukan per bidang tanah (Pasal 33 UU PTUP) yang merupakan nilai tunggal bidang perbidang tanah (Pasal 66 Ayat (2) Perpres 71 Tahun 2012) yang mengacu pada nilai saat pengumuman penetapan lokasi pembangunan oleh Gubernur dan instansi yang memerlukan tanah. Besar nilai ganti kerugian sebagai hasil penilaian kemudian disampaikan ke BPN/Pelaksana Pengadaan Tanah dan dijadikan dasar atau acuan pada saat muswarah penetapan ganti kerugian dengan masyarakat (Pasal 34 Ayat (1) UU PTUP).

Hasil musyawarah penetapan ganti kerugian antara masyarakat dengan BPN/Pelaksana Pengadaan Tanah akan bermuara kepada dua hasil akhir yaitu sepakat besarnya ganti kerugian berdasarkan hasil kerja Penilai atau tidak sepakat. Bagi masyarakat yang tidak sepakat dapat mengajukan keberatan ke PN sebagaimana diatur dalam Pasal 38:

(1) Dalam hal tidak terjadi kesepakatan mengenai bentuk dan/atau besarnya Ganti Kerugian, Pihak yang Berhak dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri setempat dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja setelah musyawarah penetapan Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 Ayat (1).

(2) Pengadilan negeri memutus bentuk dan/atau besarnya Ganti Kerugian dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterimanya pengajuan keberatan.

Dua ayat dalam Pasal 38 UU PTUP diatas menjadi poin penting yang dapat menjadi rujukan dalam kasus penetapan besarnya ganti kerugian oleh PN atas keberatan yang diajukan pihak yang berhak. Artinya PN dalam kasus ini mendapat kewenangan dari undang-undang untuk memutus besaran ganti kerugian, selain memutus bentuk ganti kerugian.

Dalam persidangan di PN tersebut pihak yang berkepentingan (bisa dari pihak pemerintah/instansi atau pihak yang berhak) dapat mengajukan saksi ahli sebagai pembanding penilaian sebagaimana dalam penjelasan Pasal 38 Ayat (2): "Sebagai pertimbangan dalam memutus putusan atas besaran Ganti Kerugian, pihak yang berkepentingan dapat menghadirkan saksi ahli di bidang penilaian untuk didengar pendapatnya sebagai pembanding atas penilaian Ganti Kerugian."

Dari penjelasan tersebut di atas memang tidak tergambarkan bagaimana hakim memformulasikan perhitungan hingga sampai keluar putusan besaran ganti kerugian. Hal ini yang banyak menjadi pertanyaan oleh pihak yang tidak setuju dengan putusan PN. Namun dalam persidangan tersebut hakim dapat mendengar dari saksi ahli yang diajukan para pihak yang berkepentingan untuk didengar pendapatnya sebagai pembanding atas penilaian ganti kerugian yang dianggap tidak wajar atau tidak layak tersebut.     

Dalam soal kewenangan, Pasal 73 Perpres 71 Tahun 2012 yang merupakan delegasian UU PTUP juga tidak menyatakan hal yang berbeda dari Pasal 38 UU PTUP. Pasal tersebut bahkan mengulang kembali bunyi Pasal 38 UU PTUP. Adapun di dalam Peraturan Kepala BPN No. 5 Tahun 2012 tidak dibahas lagi mengenai kewenangan PN dalam memutus keberatan atas penetapan besarnya ganti kerugian yang diajukan pihak yang berhak, tetapi lebih banyak membahas mengenai penitipan ganti kerugian di PN. Oleh karenanya anggapan bahwa PN telah melampaui kewenangan (ultra vires) dalam ikut menentukan besaran ganti kerugian tidak ditemukan dalam peraturan perundang-undangan.

Artinya secara yuridis PN dibenarkan dan sah memutus besarnya ganti kerugian dalam perkara pembebasan lahan. Begitu pun pada tingkat pengadilan yang lebih tinggi yaitu kasasi ke Mahkamah Agung. Adanya peluang upaya hukum yang lebih luas dibanding peraturan sebelumnya dalam hal keberatan nilai ganti kerugian merupakan langkah maju dalam proses pembebasan lahan untuk pembangunan kepentingan umum.

Hal ini menggambarkan kesungguhan pemerintah dalam menghormati hak-hak warga negaranya termasuk dalam kepemilikan tanah, sesuai tujuan pengadaan tanah dalam UU PTUP itu sendiri (Pasal 3): "Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum bertujuan menyediakan tanah bagi pelaksanaan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa, negara, dan masyarakat dengan tetap menjamin kepentingan hukum Pihak yang Berhak."

*) Penulis adalah seorang analis hukum

BACA JUGA: