Oleh: A’an Efendi *)

Kisah ketidakadilan muncul kembali dan kini berasal dari Probolinggo, Jawa Timur. Kisah ini bermula ketika seorang yang bernama Busrin alias Karyo Bin Mistiah, warga Dusun Mawar RT 02/RW 03, Desa Pesisir, Kecamatan Sumberasih, Kabupaten Probolinggo, yang hanya seorang buruh tani miskin dan buta huruf, karena ketidaktahuannya tentang hukum menebang tiga pohon bakau di kampungnya. Kayu dari pohon bakau itu, kemudian dijadikan bahan bakar untuk memasak oleh istrinya.

Sial bagi Busrin karena perbuatannya itu kepergok anggota Polair Polres Probolinggo, Busrin pun ditangkap dan kemudian dibawa ke Kantor Polair Polres Probolinggo untuk diproses secara hukum. Singkat cerita, kasus Busrin itupun dibawa hingga ke persidangan. Di persidangan PN Probolinggo, Busrin didakwa melanggar Pasal 35 huruf e, f, dan g, juncto Pasal 73 Ayat (1) huruf b UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Oleh majelis hakim PN Probolinggo yang menyidangkan perkaranya, Busrin dijatuhi pidana penjara dua tahun dan denda dua miliar rupiah dengan ketantuan apabila denda tidak dibayar akan diganti dengan pidana kurungan selama satu tahun. Majelis hakim berkilah, hukuman yang dijatuhkan kepada Busrin adalah yang paling ringan.

Pendapat majelis hakim benar pada tataran dogmatis. Memang menurut Pasal 73 Ayat (1) UU No. 27/2007 ancaman hukuman terhadap perbuatan Busrin adalah penjara paling singkat dua tahun dan paling lama sepuluh tahun dan pidana denda paling sedikit dua miliar rupiah dan paling banyak sepuluh miliar rupiah. Hanya saja, seringan-ringannya hukuman itu, bagi Busrin tentu saja hukuman itu sangat berat dan pastinya tidak adil jika dibandingkan dengan perbuatannya yang hanya menebang tiga pohon bakau.

Ada benang merah yang dapat ditarik dari putusan kasus Busrin. Kisah Busrin menjadi pertanda bahwa masih banyak hakim berpaham legalistik yang sangat menjunjung tinggi UU ketika harus memutus suatu perkara. Hakim legalistik hanya berpedoman pada pasal UU semata untuk menjatuhkan putusannya.

Hakim tidak lebih hanya sebagai juru bicaranya UU. Bagi hakim legalistik pokoknya ada perbuatan dan ada pasal UU yang dilanggar maka sanksi yang ada dalam UU akan dijatuhkan.

Hakim tidak melihat faktor lain di luar UU. Bagi hakim legalistik ia seperti memakai kacamata kuda. Semua perkara yang sama yang dihadapkan kepadanya akan diputus sama sesuai ketentuan UU yang berlaku. Putusan hakim legalistik membuahkan ketidakadilan.

Misalnya ada dua pelaku pencurian. Pencuri yang satu mencuri untuk untuk membeli narkoba karena ia kecanduan sedangkan pencuri yang satu untuk membeli makan untuk anaknya yang kelaparan.

Bagi hakim legalistik dua pencuri itu akan dihukum dengan hukuman yang sama karena menurut Pasal 362 KUHP setiap pelaku pencurian hukumannya sama yaitu hukuman panjara paling lama lima tahun.

Hakim yang baik dan cerdas serta menggunakan hati nuraninya dan tidak hanya terpaku pada pasal UU tentu akan memutus berbeda terhadap dua pencuri itu. Bagi pencuri pertama adalah adil apabila ia diputus dengan hukuman yang lebih berat. Motif ia mencuri saja karena kecanduan narkoba yang sudah merupakan perbuatan dilarang. Bagi pencuri kedua tentu tidak adil apabila ia dihukum sama dengan pencuri pertama.

Motif pencuri kedua adalah karena ia terpaksa harus mencuri dan jika tidak melakukannya mungkin saja anaknya bisa jatuh sakit bahkan meninggal dunia. Terhadap pencuri kedua tentu saja harus dihukum lebih ringan bahkan mungkin dibebaskan. Hakim mestinya tidak boleh terkungkung pada aspek normatif tanpa menengok sisi sosiologisnya karena itu bisa melahirkan ketidakadilan.

Bahkan seorang hakim ketika menghadapi suatu perkara dan UU yang menjadi dasar untuk memutus perkara itu menurut keyakinanannya telah ketinggalan zaman dan tidak mencerminkan keadilan maka hakim dapat melakukan contra legem (tidak menerapkan) terhadap UU itu. Ahli hukum (hakim) yang hanya bermain dengan UU oleh Homes, seorang hakim agung terkenal Amerika Serikat, disebut sebagai black letter lawyer dan menurut Homes ahli hukum seperti itu sudah ketinggalan zaman.

Oleh sebab itu seorang hakim tidak cukup berbekal ilmu hukum saja apalagi hanya kelas ilmu hukum dogmatis yang di situ hanya mempelajari hukum positif yang tidak lain adalah mempelajari UU. Hakim harusnya menguasai ilmu lain seperti teori ilmu hukum dan filsafat hukum yang di situ hakim belajar memahami hukum secara substantif dan mendalam. Dari situ hakim akan belajar filosofi keadilan, teori penerapan hukum yang baik dan sebagainya.

Hakim harus juga seorang pribadi yang memiliki kepekaan sosial tinggi, berintegritas, jujur, dan berhati nurani yang bersih. Tidak mudah memang memiliki itu semua tetapi mau tidak mau hakim harus memilikinya karena ditangan hakim bergantung nasib manusia (terdakwa).

Dalam kisah Busrin memang Busrin harus dihukum kalau ia telah terbukti bersalah melakukan perbuatan yang melanggar UU. Hukuman bertujuan agar Busrin tidak lagi mengulangi perbuatannya di hari kemudian dan sekaligus mencegah Busrin-Busrin lainnya untuk melakukan perbuatan yang sama. Namun hukuman itu menjadi tidak adil bagi Busrin yang hanya menebang tiga pohon bakau harus menerima ganjaran dua tahun penjara dan denda dua miliar rupiah.

Hakim dalam putusan Busrin hanya mempertimbangkan bahwa perbuatan Busrin telah terbukti melanggar UU dan Busrin harus dihukum sesuai ketentuan UU yang dilanggarnya. Hakim tidak mempertimbangkan faktor mengapa Busrin melakukan perbuatannya dan berapa nilai kerugian akibat perbuatan itu yang kemudian menjadi dasar dijatuhkannya putusan.

Hakim tidak pula mempertimbangkan bahwa Busrin adalah tulang punggung yang harus menghidupi keluarganya. Hukuman itu tentu pukulan telak bagi Busrin. Dapat dibayangkan bagaimana seorang Busrin yang hanya seorang buruh tani dan kuli pasir mampu mengumpulkan uang dua miliar untuk membayar dendanya.

Kalau Busrin tidak mampu artinya Busrin harus tinggal di dalam ruang jeruji besi untuk waktu yang lebih lama. Karena putusannya telah berkekuatan hukum tetap, kini yang dapat dilakukan oleh Busrin untuk mendapatkan keadilan adalah dengan mengajukan upaya hukum luar biasa ke Mahkamah Agung. Mampukah Mahkamah Agung sebagai lembaga terakhir bagi pencari keadilan memberikan keadilan? Kita tunggu saja pembuktiannya.

*) Penulis adalah mahasiswa program doktoral Universitas Airlangga

BACA JUGA: