Oleh: Girindra Sandino*)

Polemik mengenai RUU Pilkada, terus mewarnai dinamika politik Indonesia dan menghiasi headline media massa, menjadi perdebatan kalangan akademisi, pegiat demokrasi, aktivis pemilu, praktisi hukum, pejabat negara hingga obrolan warung kopi. Perdebatan gagasan mengenai RUU Pilkada sebetulnya telah dibahas pada tahun 2012, mayoritas fraksi di DPR RI saat itu menolak habis usul pengembalian pemilihan kepala daerah menjadi wewenang DPRD.

Dan saat itu Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia kebagian mengeluarkan komentar atau pendapat, ketika sebuah salah satu ormas besar berbasis agama mendukung gagasan agar pemilihan kepala daerah dipilih oleh DPRD. Lantas KIPP menolak tegas usulan ormas tersebut dan membantah dalil-dalilnya, walau dapat dipahami hal tersebut merupakan ekses dari Pilkada langsung.

Setelah Pilpres 2014 wacana tersebut muncul lagi, dan anehnya fraksi-fraksi yang dulu mendukung Pilkada langsung berubah drastis, atau bisa dibilang tidak konsisten, mereka memilih Pilkada tidak langsung atau melalui DPRD. Entah karena faktor apa ketidakonsistenan tersebut terjadi, yang saya tahu kawan-kawan KIPP Nasional lainnya menyebut hal tersebut lebih bermuatan dendam politik karena kalah dalam Pilpres dan tidak legowo dalam menerima kekalahan.

Desakan masyarakat sipil begitu kuat, dan opsi jalan tengah sudah tidak mungkin lagi terwujud dimana saat ini sudah tahap finalisasi, yakni hanya ada ada dua opsi atau disiapkan dua draft, Pilkada langsung atau tidak langsung, ditambah aspirasi dari kebanyakan KIPP Daerah baik di tingkat provinsi maupun Kabupaten/Kota yang mengiginkan Pilkada langsung dengan argumentasi kuat secara akademik. Pengkajian lebih dalam pun kami lakukan atas RUU Pilkada ini. Begitupun diskusi baik melalui email, BBM dan media sosial dengan kawan koalisi dimana KIPP tergabung didalamnya.

Mengenai perkembangan politik mutakhir tentang RUU Pilkada serta penolakan KIPP Indonesia terhadap RUU Pilkada, di samping hal-hal normatif, teknis, politis dan dari aspek yudridis yang telah disampaikan banyak kalangan, termasuk kawan-kawan KIPPNas maupun KIPPda adalah sebagai berikut:

Pertama, Kelahiran  Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) sebagai organisasi pemantau pemilu pertama di Indonesia pada dasarnya merupakan modus perlawanan demokratik terhadap proses dan struktur politik represif Orde Baru dengan menggerakan rakyat ke dalam arena "counter political culture". Termasuk menentang  pemilihan oleh DPRD. Oleh karena itu, beberapa aspirasi dari  KIPP Daerah mengatakan bahwa RUU Pilkada melecehkan perjuangan panjang KIPP dan kaum pergerakan lainnya dalam mendelegitimasi kekuasaan Orde Baru melalui pemantauan pemilu.

Kedua, KIPP menilai bahwa Koalisi Merah Putih akan merebut semacam "alat produksi" demokrasi langsung dari rakyat dalam konteks kontestasi demokrasi lokal, yakni partisipasi politik rakyat. Sejatinya, partisipasi politik erat sekali kaitannya dengan kesadaran politik. Perubahan kesadaran politik rakyat, yang tadinya memandang diri mereka sebagai penerima pasif atas segala sesuatu yang diberikan oleh kekuasaan menjadi agen-agen perubahan sosial yang aktif melalui bentuk partisipasi yang positif dalam proses pengambilan keputusan, dimana dalam hal ini menentukan pemimpinnya secara langsung di daerahnya.

Kita bisa melihat di Pilpres lalu partisipasi politik rakyat yang sangat antusias dan semakin matang berdemokrasi. Dan semakin tinggi partisipasi politik rakyat sebagai syarat mutlak pemilu demokratik semakin tinggi kadar keabsahan (legitimacy) pemerintahan tersebut, dan sebaliknya.

Ketiga, Oleh karena itu kami lebih gandrung pada bentuk pemerintahan yang secara potensial mampu mengekspresikan kehendak masyarakat sehingga memungkinkan mereka bisa terlebur. Walau tidak menuntut berlebihan agar mesin politik demokratis yang ada bisa berfungsi sebagai penggerak harapan transformasi masyarakat. KIPP memandang demokrasi sebagai “way of life”, yang tidak dapat dibiarkan lagi tergantung pada atau diekspresikan hanya dalam lembaga-lembaga politik. Hematnya, kami menolak demokrasi elitis, akan tetapi welcome terhadap demokrasi partisipatoris.

Keempat, harus diapresiasi sikap Partai Demokrat yang awalnya mendukung Pilkada tidak langsung melalui DPRD namun pada saat-saat menegangkan berbalik mendukung Pemilihan langsung dengan mengajukan 10 syarat yang harus dimasukan ke dalam RUU Pilkada, baik yang disampaikan Ketua Umum Partai Demokrat yang juga Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono, Ketua Harian Partai Demokrat, Syarief Hasan, dan Sekjen Partai Demokrat Edhie BaskoroYudhoyono alias Ibas. Menarik apa yang dibilang Ibas sebagai Sekjen demokrat, dia sudah menunjukkan kematangan berpolitiknya, sudah mempunyai kapasitas, kapablilitas, dan kompetensi sebagai Sekjen Partai Politik besar.

KIPP mengapresiasi sikap Ibas yang menolak hak politik warga negara tidak boleh dipangkas, sepakat dengan nafas reformasi dan pematangan demokrasi, sejalan dengan pemikiran rakyat termasuk aspirasi kepala-kepala daerah yang menginginkan hak politik warga negara RI tidak boleh dipangkas. Dia mengerti betul bahwa kepala daerah-kepala daerah yang menolak Pilkada melalui DPRD dan berasal dari partainya mempunyai basis politik yang kuat di daerahnya masing-masing.

Kelima, dalam sistem presidensil yang menganut sistem multipartai, koalisi adalah suatu keniscayaan, terlebih postur kabinet Jokowi-JK akan diisi oleh 16 kader parpol. Inilah realitas politik Indonesia, tidak ada koalisi yang permanen. Jokowi sebagai Presiden terpilih harus merangkul parpol jika ingin program-programnya mulus di parlemen. Hal ini tidak bisa dibantah dalam sistem pemerintahan kita.

Keenam, KIPP sangat yakin peta politik berubah dengan adanya perubahan sikap Partai Demokrat. Jika berubah lagi sikap Partai Demokrat yang sekarang mendukung Pilkada langsung menjelang pengesahan RUU Pilkada, sama saja hal tersebut "bunuh diri politik" serta ke depan tidak tertutup kemungkinan ada Parpol dari Koalisi Merah Putih yang ikut gerbong Parpol Koalisi Jokowi-JK mengikuti jejak Partai Demokrat.

Misalnya pernyataan Wakil Ketua Umum PPP Suharso Manoarfa, yang dimuat Harian Kompas (18/9), menyebut dua kalkulasi yang akan dipetimbangkan di Muktamar PPP, 22 September, yakni mekanisme pimpinan DPR sebagaimana tertuang dalam UU MD3 dan kembalinya PPP ke khitah mendukung pemerintahan bersih. Itu sudah merupakan sinyal yang kuat.

Ketujuh, bila diteruskan pembahasan RUU Pilkada di DPR, serta jika melalui mekanisme voting di DPR RI, koalisi pendukung Pilkada langsung sudah menang di atas kertas. Yaitu PDIP punya 94 kursi, PKB 38 kursi, Hanura 16 kursi ditambah Demokrat 148 kursi, total 286 kursi atau 51 persen.

Sedang Pendukung Pilkada Tidak langsung atau melalui DPRD adalah Golkar  dengan 106 kursi, Gerindra 26 kursi, PKS 57 kursi, PAN 46 kursi, dan PPP 38 kursi. Total 273kursi atau 48,7%. Singkatnya Koalisi pendukung Pilkada tidak langsung sedang galau atau pusing gara-gara sikap dan dukungan Partai Demokrat terhadap Pilkada langsung. Kita  lihat saja nanti 25 September 2014, voting RUU Pilkada di DPR RI.

*) Penulis adalah Wakil Sekjen KIPP Indonesia

BACA JUGA: