Oleh: Zaqiu Rahman SH., MH. *)

Wacana Pembubaran Organisasi Kemasyarakatan Paling Aktual

Kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat merupakan bagian dari hak asasi manusia yang keberadaanya dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Pasal 28 dan Pasal 28E Ayat (3) UUD Tahun 1945). Dalam menjalankan hak tersebut, setiap orang wajib menghormati hak asasi dan kebebasan orang lain dalam rangka tertib hukum serta menciptakan keadilan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara (Pasal 28J ayat (2) UUD Tahun 1945).

Sebagai wadah maupun perwujudan dari kebebasan tersebut antara lain dilakukan melalui pembentukan suatu organisasi kemasyarakatan (ormas) sebagai wadah untuk berpartisipasi dan berperan aktif dalam pembangunan guna mewujudkan tujuan nasional. Ormas merupakan organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila (Pasal 1 angka 1 UU Ormas).

Kemudian untuk menjamin penyelenggaraan keormasan, pemerintah membentuk Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas) yang merupakan pengganti undang-undang sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 karena sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan dinamika kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Terkait dengan keberadaan ormas, saat ini tengah berhembus rencana Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama yang ingin membubarkan ormas Front Pembela Islam (FPI). Rencana itu muncul setelah pada hari Jumat 3 Oktober 2014 FPI berunjuk rasa dengan turun ke jalan menolak Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) menjadi Gubernur DKI Jakarta di depan gedung DPRD dan berakhir ricuh. Sebelumnya ratusan massa FPI terlibat bentrok dengan polisi, baik massa FPI dan polisi banyak yang mengalami luka-luka.

Dalam aksinya FPI membuat kericuhan seperti melempar batu dan kotoran sapi ke arah petugas kepolisian. Belasan polisi mengalami luka-luka, kejadian ini terus berlanjut dengan ditangkapnya beberapa anggota FPI dan menyusul rekomendasi oleh pihak Polri kepada Kementerian Dalam Negeri untuk membubarkan ormas tersebut. Alasannya, tindakan ormas tersebut telah meresahkan masyarakat, ormas ini diduga telah menyebabkan masalah karena dalam aksinya telah banyak menimbulkan persoalan dengan melakukan kekerasan dan anarkis.

Hingga saat ini dari hasil pemeriksaan sudah ada belasan anggota FPI yang dijadikan tersangka dalam kerusuhan demo anarkis beberapa waktu lalu. Koordinator lapangan FPI yang melakukan demo rusuh pun sudah menyerahkan diri ke Polda Metro Jaya dan saat ini sedang dalam pemeriksaan intensif penyidik.

FPI menjadi sangat terkenal karena aksi-aksinya yang kontroversial sejak tahun 1998, terutama yang dilakukan oleh laskar paramiliternya yakni Laskar Pembela Islam. Rangkaian aksi penutupan klab malam, tempat pelacuran, dan tempat-tempat yang diklaim sebagai tempat maksiat, ancaman terhadap warga negara tertentu, penangkapan (sweeping) terhadap warga negara tertentu, konflik dengan organisasi berbasis agama lain adalah wajah FPI yang paling sering diperlihatkan dalam media massa.

Tidak hanya itu saja, keberadaan ormas ini ditengarai telah menimbulkan keresahan yang dirasakan oleh sekelompok warga karena aksi-aksi kekerasan yang dilakukannya.

Sejarah Pembubaran Organisasi Masyarakat

Menilik dari sejarah keormasan di Indonesia, kiranya perlu juga diingat beberapa tindakan pembubaran yang pernah terjadi sebelumnya. Sejarah pembubaran ormas di Indonesia banyak terjadi pasca terjadinya G 30 S PKI pada tahun 1965. Pada saat itu mahasiswa melakukan aksi dengan mengeluarkan Tritura (tiga tuntutan rakyat), yaitu pembubaran PKI dan seluruh ormas-ormasnya; pembersihan kabinet dari unsur G 30 S/PKI; dan penurunan harga.

Pada saat itu dilangsungkan apel kebulatan tekad untuk mendesak Presiden membubarkan PKI beserta ormas pendukungnya, membersihkan kabinet, DPR-GR, MPRS, serta lembaga-lembaga  negara lainnya dari unsur-unsur G 30 S/PKI.

Kejadian ini semakin diperkuat dengan diterimanya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) dari Sukarno kepada Suharto, sehingga menjadi dasar legitimasi untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu yang salah satunya dilakukan melalui pembubaran PKI dan ormas-ormas pendukungnnya. Selain pergerakan mahasiswa yang menuntut pembubaran PKI beserta ormasnya, pada masa pemerintahan Orde Baru oleh Suharto pernah juga dilakukan pembubaran ormas Partai Rakyat Demokratik (PRD) karena dianggap sebagai ancaman bagi pemerintahan Orde Baru.

Pada hari Selasa tanggal 30 September 1997, Pemerintah membubarkan sekaligus melarang PRD serta seluruh organisasi yang bernaung di bawahnya. Keputusan tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 210-221 Tahun 1997 tentang Pembubaran dan Pelarangan Organisasi Partai Rakyat Demokratik. Pemerintah membubarkan PRD, beserta organisasi yang bernaung di bawahnya, serta menyatakanya sebagai organisasi terlarang.

Pemerintah juga melarang semua bentuk kegiatan yang mengatasnamakan PRD dan organisasi yang bernaung di bawahnya dalam segala bentuk dan manifestasi, yaitu Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID), Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI) Serikat Tani Nasional (STN), Serikat Rakyat Indonesia (SRI), Serikat Rakyat Djakarta (SRD), dan  Serikat Rakyat Solo (SRS).

Pemerintah menyebutkan sejumlah alasan pembubaran dan pelarangan organisasi tersebut, di antara adalah PRD tak pernah didaftarkan di Departemen Dalam Negri, tidak pernah diakui oleh pemerintah, dan secara yuridis keberadaan PRD bertentangan dengan ketentuan yang ada. Pertimbangan lain pembubaran dan pelarangan itu adalah buku PRD Menuju Demokrasi Multipartai Kerakyatan yang antara lain memuat doktrin organisasi telah dinyatakan sebagai barang terlarang untuk diedarkan.


Pengaturan Pembubaran Ormas di Dalam Undang-Undang

Tidak mudah untuk dapat membubarkan suatu ormas, karena harus terlebih dahulu dikenakan sanksi pencabutan status badan hukum (Pasal 61 huruf d) karena telah melanggar perintah atau larangan yang telah diatur didalam UU Ormas kemudian setelahnya dapat dibubarkan melalui mekanime putusan pengadilan. Pengaturan mengenai syarat pembubaran suatu ormas tidak diatur secara gamblang di dalam UU Ormas, tetapi diatur secara tersirat melalui tahapan pemenuhan unsur pelanggaran terhadap kewajiban dan/atau larangan, dilakukan oleh pihak yang berwenang, serta melalui tahapan/mekanisme tertentu.

Untuk memudahkan dalam memahami mekanisme dan tahapan pembubaran  suatu ormas di dalam UU Ormas, perlu dipaparkan dalam tahapan dan mekanisme berikut: Pertama, untuk sampai pada tahapan pembubaran suatu ormas, harus terlebih dahulu memenuhi unsur-unsur pelanggaran yang di atur di dalam UU Ormas, yaitu "melanggar" kewajiban berupa melaksanakan kegiatan sesuai dengan tujuan organisasi; menjaga persatuan dan kesatuan bangsa serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; memelihara nilai agama, budaya, moral, etika, dan norma kesusilaan serta memberikan manfaat untuk masyarakat; menjaga ketertiban umum dan terciptanya kedamaian dalam masyarakat; melakukan pengelolaan keuangan secara transparan dan akuntabel; dan berpartisipasi dalam pencapaian tujuan negara (Pasal 21 UU Ormas).

Ini merupakan unsur-unsur kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap ormas, apabila kewajiban tersebut dilanggar maka suatu ormas dapt dikenakan sanksi admnistratif.

Selain pelanggaran terhadap kewajiban, setiap ormas juga diwajibkan untuk mematuhi aturan "larangan" berupa menggunakan bendera atau lambang yang sama dengan bendera atau lambang negara Republik Indonesia menjadi bendera atau lambang Ormas; menggunakan nama, lambang, bendera, atau atribut yang sama dengan nama, lambang, bendera, atau atribut lembaga pemerintahan; melakukan tindakan kekerasan, mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, atau merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial dan lain-lain seperti tercantum dalam Pasal 59 UU Ormas.

Khusus untuk ormas yang didirikan oleh warga negara asing sanksi administratif dapat juga dikenakan apabila ormas yang bersangkutan melanggar larangan berupa; melakukan kegiatan yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; mengganggu kestabilan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; melakukan kegiatan intelijen; melakukan kegiatan politik; melakukan kegiatan yang mengganggu hubungan diplomatik; melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan tujuan organisasi; menggalang dana dari masyarakat Indonesia; dan menggunakan sarana dan prasarana instansi atau lembaga pemerintahan (Pasal 52 UU Ormas).

Kedua, terkait dengan siapa saja pihak berwenang yang terlibat dalam memutuskan atau memberikan pertimbangan untuk melakukan pembubaran suatu ormas yaitu pemerintah atau pemerintah daerah sebagai pihak yang mengenakan sanksi administratif berupa pencabutan status badan hukum (Pasal 60 Ayat (1)). Selain itu ada Mahkamah Agung sebagai pihak yang memberikan persetujuan permohonan perpanjangan putusan pengadilan dalam hal pembubaran ormas (Pasal 71 Ayat (2)) serta memproses kasasi mengenai pembubaran suatu ormas (Pasal 75 dan Pasal 76).

Kemudian, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia yang memberikan sanksi pencabutan status badan hukum (Pasal 68 Ayat (3)). Lalu, Kejaksaan yang bertindak sebagai pihak yang mengajukan permohonan pembubaran suatu ormas atas permintaan tertulis dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia (Pasal 70 Ayat (1)). Pengadilan Negeri yang memutus pembubaran suatu ormas (Pasal 71 Ayat (1)), serta Mahkamah Agung yang memutus perkara pembubaran ormas pada tahap kasasi (Pasal 58 Ayat (4)).

Ketiga: terkait dengan mekanisme, tahapan, atau prosedur pembubaran suatu ormas, Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai dengan lingkup tugas dan kewenangannya menjatuhkan sanksi administratif kepada ormas yang melanggar ketentuan kewajiban di dalam Pasal 21 dan larangan dalam Pasal 59 UU Ormas (Pasal 60 UU Ormas). Salah satu bentuk sanksi administratifnya adalah pencabutan status badan hukum (Pasal 60 huruf d UU Ormas).

Hal itu dilakukan setelah melalui tahapan sebelumnya antara lain berupa peringatan tertulis, penghentian bantuan dan/atau hibah, atau penghentian sementara kegiatan, ormas berbadan hukum tidak mematuhi sanksi penghentian sementara kegiatan. Pemerintah menjatuhkan sanksi pencabutan status badan hukum setelah adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap mengenai pembubaran ormas berbadan hukum, yang dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia (Pasal 68 UU Ormas).

Pencabutan status badan hukum ormas dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diterimanya salinan putusan pembubaran ormas yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pencabutan status badan hukum ormas tersebut selanjutnya diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia (Pasal 69UU Ormas).

Permohonan pembubaran ormas berbadan hukum diajukan ke pengadilan negeri oleh kejaksaan hanya atas permintaan tertulis dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia. Permohonan pembubaran ormas diajukan kepada ketua pengadilan negeri sesuai dengan tempat domisili hukum ormas dan panitera mencatat pendaftaran permohonan pembubaran sesuai dengan tanggal pengajuan permohonan dan harus disertai bukti penjatuhan sanksi administratif oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah.

Kemudian pengadilan negeri menetapkan hari sidang dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak tanggal pendaftaran permohonan pembubaran Ormas. Surat pemanggilan sidang pemeriksaan pertama harus sudah diterima secara patut oleh para pihak paling lambat 3 (tiga) hari sebelum pelaksanaan sidang. Dalam sidang pemeriksaan, ormas sebagai pihak termohon diberi hak untuk membela diri dengan memberikan keterangan dan bukti di persidangan (Pasal 70 UU Ormas).

Permohonan pembubaran ormas harus diputus oleh pengadilan negeri dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal permohonan dicatat. Kemudian dapat diperpanjang paling lama 20 (dua puluh) hari atas persetujuan Ketua Mahkamah Agung. Putusan pembubaran ormas harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum (Pasal 71 UU Ormas). Selanjutnya pengadilan negeri menyampaikan salinan putusan pembubaran ormas kepada pemohon, termohon, dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.

Ketentuan mengenai penjatuhan sanksi pencabutan izin untuk kemudian dibubarkan melalui penetapan putusan pengadian negeri terhadap ormas secara mutatis mutandis berlaku bagi penjatuhan sanksi untuk ormas berbadan hukum yayasan yang didirikan oleh warga negara asing atau warga negara asing bersama warga negara Indonesia, atau yayasan yang didirikan oleh badan hukum asing (Pasal 80 UU Ormas).

Harapan Ke Depan

Mendirikan dan aktif di dalam ormas merupakan perwujudan dari kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat yang keberadaanya dijamin dalam konstitusi karena merupakan bagaian dari hak asasi manusia. Hanya saja dalam menjalankan hak tersebut harus setiap orang wajib menghormati hak asasi dan kebebasan orang lain dalam rangka tertib hukum serta menciptakan keadilan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Untuk itulah karena Indonesia bukanlah negara yang bersandarkan pada kekuasaan tetapi merupakan negara hukum (Pasal 1 Ayat (3) UUD Tahun 1945) maka negara mengatur penyelenggaraan ormas tersebut melalui UU Ormas, dalam rangka menjamin dan meningkatkan partisipasi dan keberdayaan masyarakat; menjaga, memelihara, dan memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa; dan mewujudkan tujuan Negara (Pasal 5 UU Ormas).

Akan tetapi dalam kiprahnya di masyarakat tidak semua ormas melaksanakan apa yang menjadi tujuan pendirian organisasinya secara konsukuen, bahkan terdapat ormas yang melakukan kekerasan, pengerusakan, bahkan melakukan aksi-aksi anarkis di dalam masyarakat, seperti yang telah dilakukan oleh FPI. Untuk menciptakan ketertiban, kemananan, dan rasa nyaman di masyarakat pemerintah harus mengambil tindakan yang tegas dan lugas agar aksi-aksi kekerasan dan pemaksaan kehendak dari suatu kelompok dapat diminimalisir untuk menjamin iklim demokrasi di Indonesia, yang salah satu upayanya dilakukan melalui pembubaran ormas.

Agar pembubaran ormas tersebut tidak digunakan oleh pemerintah yang berkuasa untuk membelenggu dan membatasi kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat maka tindakan pembubaran ormas harus dilakukan melalui cara-cara yang demokratis dan dilakukan prosedur hukum yang jelas.

UU Ormas tidak mengatur secara gamblang mengenai kriteria, mekanisme, dan tata cara pembubaran suatu ormas. Hanya saja di dalamnya mengatur segala kewajiban dan larangan, yang apabila suatu ormas melanggar maka dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan izin. Pencabutan izin inilah yang melalu mekanisme putusan pengadilan dapat menjadi pintu masuk bagi pembubaran suatu ormas melalui syarat, prosedur, dan mekanisme yang jelas, terbuka, dan terukur demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

*) Penulis adalah tenaga fungsional Perancang Peraturan Perundang-Undangan Bidang Industri dan Perdagangan di Sekretariat Jenderal DPR RI.

BACA JUGA: