Oleh: Arrista Trimaya*)

Pendahuluan

Kurikulum 2013 merupakan kurikulum baru yang telah ditetapkan sejak tahun 2013. Pada awal pelaksanaannya, kurikulum 2013 hanya diterapkan pada kelas 1 dan 4 SD di beberapa sekolah terpilih. Penerapan kurikulum 2103 secara serentak telah dimulai pada tahun pelajaran 2014/2105 pada bulan Juli lalu, yang sudah diterapkan pada kelas 1, 2, 4, dan 5 SD di seluruh Indonesia. Pemerintah menargetkan pada tahun 2015 seluruh jenjang kelas 1 sampai dengan kelas 6 SD di seluruh Indonesia sudah menerapkan kurikulum 2013.

Kurikulum 2013 merupakan sebuah kurikulum yang mengutamakan pemahaman, skill, dan pendidikan berkarakter. Peserta didik dituntut untuk paham atas materi, aktif dalam berdiskusi dan presentasi serta memiliki sopan santun disiplin yang tinggi. Dalam kurikulum 2013 mata pelajaran wajib diikuti oleh seluruh peserta didik di satu satuan pendidikan pada setiap satuan atau jenjang pendidikan. Mata pelajaran pilihan yang diikuti oleh peserta didik dipilih sesuai dengan pilihan mereka.

Kedua kelompok mata pelajaran tersebut (wajib dan pilihan) terutama dikembangkan dalam struktur kurikulum pendidikan menengah (SMU dan SMK). Sementara itu mengingat usia dan perkembangan psikologis peserta didik usia 7–15 tahun, maka mata pelajaran pilihan belum diberikan untuk peserta didik SD dan SMP. (RPP dan Silabus Kurikulum 2013).

Berbeda dengan KTSP, pada kurikulum 2013 beberapa perangkat pembelajaran disediakan oleh Pemerintah Pusat seperti silabus, buku teks, dan Lembar Kerja Siswa yang terintegrasi dalam buku paket. Untuk tingkat SD, kurikulum 2013 mengunakan pendekatan pembelajaran tematik. Tema menjadi pengikat beberapa materi mata pelajaran yang harus disampaikan oleh guru kepada peserta didik. Setiap kelas disediakan beberapa tema yang memiliki sub tema, setiap sub tema terdiri dari beberapa pembelajaran.

Walaupun baru diterapkan kurang lebih 1,5 tahun ternyata sudah banyak kendala-kendala dalam penerapan kurikulum 2013. Kendala utam terletak pada kesiapan guru, sebagian besar guru di sekolah disinyalir masih bertipe "guru tradisional" yang diposisikan sebagai pembimbing, pengajar, dan pelatih yang menyiapkan peserta didik pada masa depan.

Hanya sebagian kecil guru yang bertipe guru profesional, yakni guru sebagai fasilitator yang mengondisikan suasana dan proses pembelajaran berpusat pada peserta didik sebagaimana tuntutan kurikulum. Kendala lainnya adalah pembagian buku teks tematik integratif yang tidak merata kepada peserta didik yang ada di tiap satuan pendidikan, terutama satuan pendidikan yang ada di daerah terpencil.

Selain persoalan kesiapan guru dan distribusi buku teks, penerapan kurikulum 2013 juga beresiko menambah beban belajar siswa. Akibatnya pelaksanaan kurikulum itu menjadi kurang efektif dan lebih terkesan menjadi semacam program proyek Pemerintah (Kompas, 28 Agustus 2014).

Masalah operasional lain juga ditemukan dalam penerapan kurikulum 2013 terkait dalam proses penyusunan kurikulum yang meliputi konten, struktur, dan teknis. Penerapan kurikulum 2013 dianggap hanya sekadar formalitas. Semuanya tampak dari minimnya persiapan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam menerapkan kurikulum tersebut di semua satuan pendidikan.

Ketua Dewan Pertimbangan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Itje Chodijah menuturkan, kurikulum 2013 telah menuai protes dan kritik. Proses penyusunan desainnya dinilai tidak transparan. Selain itu, proses uji publik juga dinilai asal-asalan serta minim sosialisasi.

Bobroknya sisi penerapan kurikulum 2013 tecermin dari keterpaksaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menurunkan target implementasi, yang semula 30 persen dari total satuan pendidikan menjadi hanya 2 persen (6.213 sayuan pendidikan). Selain itu, buku silabus dan buku teks juga terlambat dicetak dan didistribusikan ke satuan pendidikan sehingga berdampak pada penundaan pelatihan guru. Akibatnya, pada tingkat implementasi, banyak guru bingung saat penerapannya, karena tidak memiliki buku silabus sebagai panduan penerapan Kurikulum 2013.

Pengaturan Kurikulum dalam Peraturan Perundang-Undangan

Idealnya, kurikulum disusun dan diimplementasikan untuk mweujudkan pendidikan nasional yang mengacu pada standar nasional pendidikan. Hal ini sejalan dengan pengaturan khusus mengenai kurikulum yang telah diatur dalam Bab X Pasal 36 sampai dengan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). Pasal 36 Ayat (1) menyebutkan, pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Pasal 36 Ayat (2) menyebutkan bahwa kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik.

Sedangkan Pasal 36 Ayat (3) menyebutkan bahwa kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 37 mengatur mengenai muatan kurikulum dalam pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan tinggi. Selanjutnya Pasal 38 mengatur mengenai kerangka dasar dan struktur kurikulum serta cara pengembangan kurikulum.

Pengembangan kurikulum di Indonesia diatur dalam Bab IX UU Sisdiknas mengenai Standar Nasional Pendidikan, yang terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan. Standar nasional pendidikan salah satunya digunakan sebagai acuan pengembangan kurikulum, hasil pengembangan kurikulum harus dilakukan pemantauan dan pencapaiannya dilaporkan melalui badan standarisasi, penjaminan, dan pengendalian mutu pendidikan, yang bernama Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).

Selanjutnya, UU Sisdiknas mengamanatkan agar perihal kurikulum diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (PP), seperti diamanatkan dalam Pasal-Pasal berikut:
- Pasal 35 Ayat (4) mengenai standar nasional pendidikan;
- Pasal 36 Ayat (4) mengenai pengembangan kurikulum; dan
- Pasal 37 Ayat (3) mengenai kurikulum (pendidikan dasar dan menengah, serta pendidikan tinggi).

Amanat tersebut dituangkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (PP BNSP). Standar Nasional Pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 1 angka 1 UU Sisdiknas). Standar nasional tersebut, berfungsi sebagai dasar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu.

   
Evaluasi Kurikulum

Agar implementasi kurikulum 2013 dapat diterapkan dengan optimal harus dilakukan evaluasi agar kebelakuannya tidak menimbulkan kontroversi dikalangan guru dan peserta didik. Evaluasi kurikulum sangat penting untuk dilakukan guna mendapatkan data dan informasi mengenai kesesuaian, efektifitas dan efisiensi kurikulum terhadap tujuan yang hendak dicapai dan penggunaan sumber daya.

Data dan informasi tersebut sangat berguna sebagai bahan untuk membuat keputusan yaitu apakah kurikulum masih dijalankan tetapi perlu revisi ataukah kurikulum harus diganti dengan kurikulum yang baru. Evaluasi kurikulum juga penting dilakukan untuk penyesuaian dengan perkembangan ilmu pengetahuan, kemajuan teknologi, dan kebutuhan pasar (kerja) yang berubah.


Evaluasi kurikulum dapat mencakup keseluruhan kurikulum atau masing-masing komponen kurikulum seperti tujuan, isi, atau metode pembelajaran yang ada dalam kurikulum tersebut. Fokus evaluasi kurikulum dapat dilakukan pada outcome dari kurikulum (outcomes based evaluation) yaitu tujuan yang harus dicapai; dan juga dapat dilakukan pada komponen kurikulum (intrinsic evaluation) seperti evaluasi sarana prasarana penunjang kurikulum, evaluasi sumber daya manusia untuk menunjang kurikulum dan karakteristik mahasiswa (peserta didik) yang menjalankan kurikulum.

Evaluasi juga diperlukan untuk dapat mengetahui sejauh mana kekurangan dan kelebihan implementasi kurikulum yang berlaku dalam suatu rentang waktu tertentu, yang meliputi:

a. Seluruh kegiatan mengumpulkan dan memproses seluruh data (pemeringkatan, hasil tes, observasi, contoh hasil kerja) yang digunakan untuk pertimbangan membuat keputusan tentang prestasi peserta didik;

b. Semua data yang dikumpulkan secara formal maupun informal, subyektif maupun obyektif untuk berbagai aspek yang saling melengkapi dan dimasukkan menjadi gambaran keseluruhan. (Diah Hariyanti, 2009).

Kurikulum perlu diubah jika dari hasil evaluasi menunjukkan hasil proses pendidikan yang menggunakan kurikulum dimaksud mengalami kemunduran atau cenderung statis dan tidak menunjukkan hasil yang signifikan dalam membentuk karakter peserta didik dalam menghadapi era persaingan global.

Kesiapan Pemerintah

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya pada bagian pendahuluan, salah satu kebijakan Pemerintah yang dinilai tidak berkelanjutan adalah adanya perubahan kurikulum pendidikan. Perubahan kurikulum semestinya diimbangi dengan kesiapan Pemerintah agar pelaksanaan kurikulum 2013 efektik diberlakukan. Selama era reformasi, terjadi 3 (tiga) kali perubahan kurikulum, yaitu: Kurikulum Berbasis Kompetensi 2004, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan 2006, dan Kurikulum 2013 tematik integratif.

Pemerintah masih harus serius menyiapkan dan menyempurnakan dokumen Kurikulum 2013, terkait kompetensi inti dan kompetensi dasar. Sayangnya, pemerintah sampai saat ini tidak mau mendiskusikan secara terbuka soal dokumen Kurikulum 2013 yang dinilai membingungkan para guru saat implementasinya di dalam kelas. Dengan demikian, beberapa hal yang perlu dilakukan oleh Pemerintah agar kurikulum 2013 dapat diimplementasikan secara optimal kepada guru dan peserta didik, antara lain:

a. Membentuk kesiapan guru melalui pelatihan  dan penyediaan silabus yang berguna untuk pengembangan kurikulum. Sosialisasi Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Kurikulum 2013 juga diperlukan agar guru dapat menerapkan kurikulum 2013 secara optimal. Di samping itu, kesiapan guru juga dituntut untuk dapat mengembangkan kurikulum yang berorientasi pada kemampuan peserta didik agar peserta didik dapat mengatasi setiap tantangan dan rintangan dalam kehidupan.

b. Menyediakan sarana dan prasarana penunjang (buku teks, silabus, bahan ajar, dan bahan penunjang pembelajaran) yang merupakan komponen yang memegang peranan penting dalam proses pembelajaran, dan salah satu tolok ukur keberhasilan pelaksanaan kurikulum;

c. Koordinasi antar lembaga yang terkait (pusat dan daerah) harus menjadi prioritas utama sehingga implementasi kurikulum dapat berjalan dengan optimal, misalnya: dalam pencetakan buku paket jangan tersentralisir di pusat, melainkan harus didelegasikan ke daerah-daerah. Dengan demikian tidak akan terjadi keterlambatan penerimaan buku teks dan silabus pembelajaran bagi satuan pendidikan yang ada di daerah; dan

d. Evaluasi kurikulum sangat penting dilakukan untuk mendapatkan data yang digunakan sebagai bahan untuk membuat keputusan apakah kurikulum 2013 masih dapat dijalankan, tetapi perlu direvisi atau diganti dengan kurikulum yang baru.
     
*) Penulis adalah Perancang Undang-Undang Bidang Kesra Sekretariat Jenderal DPR RI

BACA JUGA: