Oleh: Akhmad Aulawi*)

Pendahuluan

Tak dipungkiri lagi, Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang terbesar di dunia. Tercatat sebanyak 17.508 pulau terbentang dari Sabang sampai Merauke, di mana terdapat 5.707 pulau mempunyai nama dan 11.801 pulau yang tak bernama dengan garis pantai sepanjang 108.000 km serta luas wilayah perairan yang mencapai 7,9 juta km2. Bahkan Indonesia menjadi negara kepulauan terbesar dari 10 negara kepulauan di dunia, setelah Madagaskar dan Papua Nugini.

Dari sudut pandang geografis, Indonesia merupakan negara yang memiliki posisi strategis dalam lalu lintas perekonomian dunia, yaitu terletak di antara dua benua (Asia dan Australia) dan dua samudera (Pasifik dan Hindia). Ini membuat masyarakat dunia mengakui Indonesia sebagai persimpangan lintas pelayaran niaga utama. Berdasarkan Konvensi Hukum Laut (UNCLOS) 1982, Indonesia memiliki kedaulatan atas wilayah perairan seluas 3,2 juta km2 yang terdiri dari perairan kepulauan seluas 2,9 juta km2 dan laut teritorial seluas 0,3 juta km2.

Selain itu, Indonesia juga mempunyai hak eksklusif untuk memanfaatkan sumber daya laut dan berbagai kepentingan seluas 2,7 km2 pada perairan ZEE (sampai dengan 200 mil dari garis pangkal). Menurut Pasal 47 Ayat (1) Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS) 1982, Negara Kepulauan berhak menarik garis pangkal (archipelagic baseline), sebagai dasar pengukuran wilayah perairannya dari titik-titik terluar dari pulau-pulau terluarnya.

Melihat begitu strategis dan pentingnya posisi Indonesia sebagai negara kepulauan, sudah semestinya diimbangi dengan pembangunan daerah kepulauan yang merupakan komponen penting dari negara kepulauan. Terlebih pembangunan daerah kepulauan merupakan salah satu kewajiban negara kepulauan untuk membangun kedaulatan berupa pemanfaatan sumber daya alam hayati dan nonhayati di perairan daerah kepulauan serta melaksanakan penegakan hukumnya.

Namun demikian, harapan yang dicita-citakan belum seperti yang pada kenyataannya. Keberadaan daerah kepulauan di Indonesia belum sepenuhnya menjadi perhatian pemerintah. Banyak permasalahan yang dihadapi oleh daerah kepulauan di Indonesia. Mulai dari kurangnya infrastruktur primer untuk masyarakat, aktifitas ekonomi yang terbatas, masih rawannya keamanan khususnya di daerah kepulauan yang memiliki akses sebagai pulau-pulau terluar atau berdekatan dengan perbatasan dengan negara lain. Dan yang terpenting adalah minimnya anggaran yang disalurkan untuk daerah kepulauan.

Selain itu, masalah lain yang muncul akibat besarnya potensi sumber daya di daerah kepulauan khususnya potensi yang ada di laut adalah isu kewenangan pengelolaan wilayah laut yang menjadi perhatian serius dari berbagai pihak. Ada pihak yang beranggapan bahwa dengan dilaksanakannya desentralisasi, kewenangan pengelolaan sumber daya kelautan yang ada dalam ruang lingkup wilayahnya mutlak berada di tangan daerah tersebut tanpa memperhatikan kepentingan-kepentingan daerah sekitar dan terlebih-lebih kepentingan pemerintah pusat.

Secara garis besar permasalahan daerah kepulauan di Indonesia dikategorikan ke dalam 4 (empat) permasalahan utama. Pertama, sebagian besar pulau-pulau merupakan daerah kawasan tertinggal dan banyak yang tidak berpenghuni. Kedua, keterbatasan pelayanan administrasi pemerintahan, pemberdayaan ekonomi dan sosial budaya, sarana dan prasarana komunikasi dan transportasi, termasuk transportasi laut yang menghubungkan antarpulau kecil dan pulau besarnya.

Ketiga, terjadinya kegiatan ilegal dan penyeludupan, kegiatan perikanan yang tidak ramah lingkungan dan berpotensi mengancam stabilitas keamanan. Keempat, kurangnya data dan pulau kecil (lebih dari 9.600 pulau belum bernama).

Di sisi lain, potensi daerah kepulauan kecil sangat tinggi baik dari segi ekonomi, sosial, politik dan pertahanan keamanan Indonesia, terutama pulau-pulau kecil yang berada di wilayah perbatasan. Sumber daya alam seperti terumbu karang, padang lamun, mangrove, perikanan, dan wisata bahari yang ada di daerah kepulauan dapat menjadi aset pembangunan bagi pengembangan daerah. Yang menjadi permasalahan selama ini adalah minimnya upaya promosi potensi pembangunan di pulau-pulau kecil.

Melihat begitu besarnya permasalahan di daerah kepulauan di Indonesia, sudah menjadi keharusan pembangunan daerah kepulauan segera untuk dibenahi dan menjadi fokus perhatian Pemerintah, tidak hanya perhatian tersebut tertuju kepada pembangunan daerah yang bukan kepulauan. Dan hal ini tentunya diharapkan menjadi tantangan tersendiri bagi eksekutif dan legislatif dalam periode Pemerintahan 2014-2019 untuk dapat menangkap aspirasi masyarakat di daerah kepulauan.

Produk Legislasi Sebagai Transformasi Tujuan Pembangunan Daerah Kepulauan

Daerah Kepulauan yang terdapat di Indonesia merupakan daerah atau tempat yang memiliki karakteristik khusus, mengingat luas wilayahnya, sebagian besar terdiri atas perairan dan sebagian lainnya terdiri atas daratan. Berdasarkan konteks pemahaman yang dikemukakan oleh Badan Kerjasama Provinsi Kepulauan, daerah kepulauan itu memiliki karakteristik unik dan khusus yang perlu untuk diperhatikan.


Terdapat beberapa karakteristik unik dan khusus yang terdapat pada daerah kepulauan, meliputi di antaranya pertama, luas wilayah laut yang lebih besar dari wilayah daratan. Kedua, dari segi persebaran demografis, penduduk wilayah kepulauan biasanya bersifat relatif sedikit dan penyebarannya tidak merata.

Selanjutnya ketiga, dari segi sosial budaya, komunitas-komunitas di wilayah kepulauan tersegregasi dalam pemukiman menurut territorial suatu pulau, sehingga lazim berimplikasi pada kuatnya rasa keterikatan pada tanah (baca: pulau), pola hidup pada pulau-pulau kecil senang selaras dengan alam (lamban menerima perobahan).

Keempat, dari segi sosial  ekonomi, aktivitas ekonomi, jenis dan derajat dinamika ekonomi umumnya terbatas dan berskala kecil, serta belum didukung oleh jaringan distribusi dan pemasaran secara memadai.

Kemudian, kelima, dari segi lingkungan, sumber daya lingkungan kecil, rentan terhadap perubahan (entrophy), rawan bencana alam (gelombang di permukaan laut, didominasi oleh gelombang gravitasi yang ditimbulkan oleh angin; arus laut disebabkan oleh dua faktor yakni angin musim dan pasang surut).

Melihat begitu unik dan spesifiknya, karakteristik yang dimiliki oleh daerah kepulauan, sudah semestinya Pemerintah memberikan perlakuan yang khusus dan perlu dibedakan penerapan strategi pembangunannya dengan daerah lain yang tidak begitu bercirikan kepulauan.

Pada prinsipnya jaminan untuk dapat diatur secara spesifik atau khusus terhadap daerah kepulauan ini sudah tercermin dan termaktub secara tersirat dan tersurat dalam Pasal 18B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam ketentuan konstitusi itu dinyatakan bahwa "Negara mengakui dan menghormati, satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dalam undang-undang."

Untuk dapat mewujudkan pembangunan terdapar daerah yang memiliki karakteristik khusus tersebut yang tentunya berbeda dengan daerah-daerah lain di Indonesia, tahun 2008 dibentuklah Badan Kerjasama Provinsi Kepulauan, dimana anggota Badan Kerjasama Provinsi Kepulauan terdiri atas pemerintah daerah Provinsi Sulawesi Utara, Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), Bangka Belitung (Babel), dan Kepulauan Riau (Kepri).

Produk dari Badan Kerjasama Provinsi Kepulauan adalah menyusun sebuah Rancangan Undang-Undang, tentang Daerah Kepulauan. Dalam rancangan ini, tidak hanya provinsi saja yang menjadi provinsi kepulauan, tetapi kabupaten yang wilayahnya dari pulau-pulau juga menjadi kabupaten kepulauan.

Selanjutnya dalam perkembangan penyusunan rancangan undang-undang ini, judul RUU Daerah Kepulauan berubah menjadi Percepatan Pembangunan Daerah Kepulauan. Hal ini ditujukan karena agar dalam pengaturan peraturan perundang-undangan ini terdapat affirmative action terhadap pembangunan di daerah kepulauan.

Kebijakan affirmative action ini diambil agar masyarakat yang berada di daerah kepulauan memperoleh hak dan peluang yang setara dan proporsional dengan masyarakat di daerah lain yang lebih bernuansa daratan terkait dalam pembangunan. Mengingat daerah kepulauan dengan segala kekurangan yang telah disebutkan sebelumnya membutuhkan akselerasi dalam pembangunannya agar tidak jauh tertinggal dengan daerah lainnya di Indonesia.

Jika melihat ke dalam RUU Percepatan Pembangunan Daerah Kepulauan, yang saat ini pembahasan RUUnya mengalami keterhambatan, terdiri beberapa substansi pokok, diantaranya: Pertama, pengertian Daerah Kepulauan dan Percepatan Pembangunan Daerah Kepulauan. Dua istilah ini perlu diketahui oleh masyarakat, agar dapat dapahami apa maksud pertain dua istilah itu. D

alam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 1 angka 3 RUU PPDK, dinyatakan bahwa Daerah Kepulauan adalah provinsi kepulauan yang memiliki wilayah laut lebih luas dari wilayah darat, yang di dalamnya terdapat pulau-pulau termasuk bagian pulau yang membentuk gugusan pulau, menjadi satu kesatuan geografi, ekonomi, politik dan sosial budaya. Sedangkan, Percepatan Pembangunan Daerah Kepulauan adalah proses, upaya dan tindakan, keberpihakan dan pemberdayaan yang dilakukan secara terencana, terkoordinasi, dan terpadu untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat di Daerah Kepulauan.

Kedua, kriteria Daerah Kepulauan. Dalam Pasal 5 RUU PPDK, yang menjadi kriteria Daerah Kepulauan mencakup 3 (tiga) hal, yaitu mempunyai paling sedikit 30% (tiga puluh persen) kabupaten/kota Kepulauan; wilayah laut lebih luas dari wilayah darat; dan pulau-pulau dan/atau bagian pulau yang membentuk gugusan pulau dan menjadi satu kesatuan geografi, ekonomi, politik, dan sosial budaya. Kriteria ini, menjadi salah subyek penting yang diatur dalam RUU, karena kriteria ini digunakan sebagai batasan mana daerah yang menjadi lingkup Daerah Kepulauan mana yang bukan. Jangan sampai diklaim sepihak oleh daerah tertentu yang mengganggap bahwa daerahnya menjdi bagian dari daerah kepulauan.

Ketiga, kewenangan dan kewajiban Daerah Kepulauan. Dalam Pasal 7 RUU PPDK, Daerah Kepulauan diberikan kewenangan untuk mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam di wilayah laut, baik di bawah dasar dan/atau di dasar laut dan/atau perairan di atasnya.

Kewenangan Daerah Kepulauan untuk mengelola  sumberdaya di wilayah laut meliputi di antaranya eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut; penegakkan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah; membantu memelihara keamanan di laut; dan membantu mempertahankan kedaulatan negara.

Selain kewenangan mengelola  sumberdaya di wilayah laut, Daerah Kepulauan juga mendapat kewenangan membuat kebijakan yang berorientasi meningkatkan pembangunan di bidang pendidikan, kesehatan, pangan, dan infrastruktur.


Terkait dengan kewenangan Daerah Kepulauan, dalam Pasal 9 RUU PPDK juga mengatur mengenai kewajiban yang harus dilakukan oleh Daerah Kepulauan, meliputi diantaranya mewujudkan keadilan, pemerataan pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat secara proporsional dan bertanggung jawab; mengembangkan nilai-nilai kearifan lokal maupun hukum adat ke dalam peraturan perundang-undangan sesuai kewenangannya; dan menyusun perencanaan dan tata ruang kepulauan yang mengutamakan pengembangan kelautan sesuai kewenangan dengan berbasis gugusan pulau.

Keempat, pengelolaan Daerah Kepulauan. Dalam RUU PPDK, Pengelolaan Daerah Kepulauan mencakup perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi. Untuk perencanaan,  Pemerintah Daerah Kepulauan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang wajib disusun berdasarkan kebutuhan, karakteristik, dan potensi Daerah Kepulauan. Selanjutnya terkait dengan pelaksanaan, pembangunan pada Daerah Kepulauan didasarkan pada kesatuan ruang darat, ruang laut, dan ruang udara yang utuh, komprehensif, dan terintegrasi.

Kemudian dalam hal pengawasan, Pemerintah yang diwakili oleh Menteri dan pemerintah daerah yang diwakili oleh Gubernur  melakukan pengawasan terhadap perencanaan dan pelaksanaan rencana pembangunan Daerah Kepulauan. Sedangkan, terkait dengan evaluasi Daerah Kepulauan, kegiatan ini dilakukan ditingkat Nasional dan di DaerahKepulauan itu sendiri. Untuk pelaksanaan evaluasi di tingkat nasional, evaluasi dilakukan oleh Menteri. Sedangkan, terkait dengan evaluasi di daerah Kepulauan dilakukan oleh Gubernur.

Kelima, pendanaan Daerah Kepulauan.Dalam RUU PPDK Pasal 29 dinyatakan bahwa pendanaan terhadap percepatan Pembangunan Daerah Kepulauan bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan anggaran pendapatan belanja daerah.

Sumber-sumber penerimaan Daerah Kepulauan meliputi pendapatan asli Daerah Kepulauan; dana perimbangan; penerimaan Daerah Kepulauan dalam rangka percepatan pembangunan; Pinjaman daerah; dan lain-lain penerimaan yang sah. Khusus untuk penerimaan Daerah Kepulauan dalam rangka percepatan pembangunan diperoleh dari penerimaan khusus yang besarnya setara dengan 1% (satu persen) dari plafon dana alokasi umum yang diutamakan untuk pembiayaan pendidikan, kesehatan, dan pembangunan infrastruktur.

Hambatan, Tantangan, dan Harapan Pembangunan Daerah Kepulauan

Dapat dikatakan bahwa pengaturan produk legislasi terhadap pembangunan Daerah Kepulauan, tidak berjalan mulus. Keinginan yang diusung oleh Badan Kerjasama Provinsi Kepulauan yang selanjutnya  digulirkan oleh DPR RI sebagai usul insisiatif RUU DPR RI, tidak sepenuhnya dapat diterima oleh Pemerintah. Banyak terdapat pandangan dan pemikiran Pemerintah yang belum sejalan dengan ide filosofis, sosiologis dan yuridis pembentukan RUU Percepatan Pembangunan Daerah Kepulauan.

Bahkan menurut pandangan salah satu pimpinan Pansus RUU PPDK DPR RI, ketidakberpihakan pemerintah pusat kepada daerah masih menjadi kendala dalam meloloskan rancangan regulasi itu menjadi UU. ketidakberpihakan pemerintah tersebut terlihat dari keengganan pemerintah dalam melanjutkan pembahasan RUU tersebut meski telah mengalami lima kali penundaan pembahasan dalam masa sidang tahun 2013.9

Dalam beberapa pandangan yang dikemukakan oleh Pemerintah, pada prinsipnya Pemerintah tetap mendukung semangat perlunya percepatan pembangunan daerah kepulauan, namun tidak setuju untuk dibentuk RUU ini dalam ketentuan tersendiri, cukup ketentuanyang mengatur mengenai pembangunan daerah kepulauan diatur dalam RUU Pemerintahan Daerah. Selain itu, Pemerintah berpandangan bahwa, RUU PPDK tidak sesuai dengan konsep hukum internasional maupun nasional. Konsep RUU ini bertentangan dengan Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS) yang diratifikasi Indonesia pada tahun 1986, Pasal 18 Ayat (1) dan 25A UUD 1945, dan UU No.6 Tahun 1996.

UNCLOS mengatur pemberian hak berdaulat kepada negara kepulauan, bukan kepada kepulauan dari suatu negara. Kewenangan daerah kepulauan untuk melakukan tata hukum daerah kepulauan sebagaimana diatur dalam RRU PPDK, berpotensi menghilangkan kewenangan kabupaten/kota untuk membentuk aturan hukum tentang pembagian daerah-daerah otonomi. Selain itu, RUU PPDK juga tidak secara jelas mengatur pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Tingkat Provinsi, dan Pemerintah Tingkat Kabupaten/Kota.

Selanjutnya terkait dengan Program dan kegiatan yang terkait dengan pembangunan daerah kepulauan, menurut Pemerintah hal tersebut juga telah terakomodir dalam RPJMN Tahun 2010-2014. Dengan demikian, pengaturan pembangunan daerah berciri kepulauan dalam Undang-Undang tersendiri sebagaimana tertuang dalam RUU PPDK dapat menciptakan disharmoni peraturan perundang-undangan yang berimplikasi pada ketidakpastian hukum dan tidak dapat diimplementasikan serta dapat mengganggu sistem perencanaan pembangunan nasional dan sistem penganggaran, bahkan keamanan nasional.

Melihat pandangan yang tidak sejalan dari Pemerintah dengan semangat dari pembentukan RUU ini, menurut pandangan penulis, perlu ada langkah pemecahan agar semangat pembentukan RUU ini dapat terlaksana dengan baik. Pertama, perlu memasukkan usulan pembentukan RUU Percepatan Pembangunan Daerah Kepulauan ini kembali dalam Program Legislasi Nasional Tahun 2014-2019. Langkah ini menjadi penting, karena masuknya usulan RUU dalam Prolegnas merupakan gerbang awal suatu RUU untuk dapat nantinya disahkan menjadi UU. Walaupun dikatakan pembentukan RUU PPDK dalam Prolegnas 2009-2014 gagal untuk disahkan menjadi UU, diharapkan dalam Prolegnas 2014-2019 ini, RUU ini jika diusulkan menjadi bagian dari Prolegnas akan menjadi UU yang akan disahkan.

Kedua, perlu ada pemahaman yang sama terkait perlu dan pentingnya pembangunan Daerah Kepulauan, baik dari sudut Pemerintah maupun dari para legislator. Penciptaan pemahaman yang sama di antara unsur pembentuk undang-undang ini begitu penting, agar memahami apa yang menjadi esensi dari dibentuknya RUU Percepatan Pembangunan Daerah Kepulauan.

Menurut pandangan penulis, hal-hal yang telah diungkapkan secara tertulis dalam naskah akademis dan pemaparan teoritis, harus dipahami oleh Pemerintah merupakan keinginan hakiki dari masyarakat di Daerah Kepulauan untuk mendapatkan perlakuan yang lebih sepadan jika dibandingkan dengan pembangunan di daerah-daerah lain di Indonesia yang bukan Daerah Kepulauan. Pandangan terhadap Daerah Kepulauan yang sebagian besar tertinggal, terpencil, termiskin, harus dapat dieliminasi dengan adanya keberlakuan peraturan perundang-undangan ini.

Ketiga, perlu adanya dukungan dari seluruh elemen masyarakat tentang pentingnya pembentukan RUU ini. Dukungan dari elemen masyarakat khususnya dari masyarakat yang berasal dari Daerah Kepulauan, dapat dilakukan dengan pengungkapan keberadaan pembangunan Daerah Kepulauan sejauh ini baik berupa capaian pembangunan infrastruktur maupun pembangunan sumber daya manusia. Penyampaian itu dapat dilakukan secara ilmiah melalui tulisan atau seminar, atau juga dapat diungkapkan melalui media.

*) Penulis adalah Perancang Undang-Undang di Sekretariat Jenderal DPR RI.

BACA JUGA: