Oleh: Yeni Handayani *)

Dalam rangka melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta dalam memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, diperlukan perlindungan, penegakan, dan pemajuan Hak Asasi Manusia (HAM). Perlindungan, penegakan, dan pemajuan HAM tersebut telah diwujudkan melalui pengaturan mengenai HAM ke dalam berbagai peraturan perundang-undangan baik UUD 1945 maupun peraturan perundang-undangan di bawahnya.

Peraturan Perundang-undangan di bawah UUD 1945 yang mengatur mengenai HAM, salah satunya yaitu Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM). UU itu antara lain materinya mengatur mengenai Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Komnas HAM identik dengan badan pemantauan yang didasarkan pada badan-badan perjanjian internasional (treaty-based monitoring bodies) instrumen internasional HAM.

Ketentuan badan semacam ini diinkorporasikan dalam instrumen HAM internasional yang bersangkutan kecuali Kovensi Internasional Hak-Hak Ekonomi Sosial Budaya 1966. Padahal Komnas HAM pada dasarnya bukan badan pemantau yang khusus memantau pelaksanaan peraturan perundang-undangan nasional mengenai tema HAM tertentu yang keberadaan, komposisi, fungsi, wewenang, dan tugasnya diatur dalam ketentuan-ketentuan yang diinkorporasikan dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.

Sejak diundangkannya UU HAM, terdapat berbagai hambatan dalam pelaksanaan fungsi Komnas HAM terutama yang berkaitan dengan belum efektifnya kewenangan pemanggilan paksa terhadap pihak yang diduga melakukan pelanggaran HAM atau pihak lain yang akan diminta keterangannya oleh Komnas HAM. Selain itu karena kewenangan Komnas HAM hanya melakukan penelitian, pemantauan, dan penyelidikan terhadap hasil temuan pelanggaran HAM yang diadukan oleh masyarakat, kemudian menerbitkan rekomendasi.

Dalam praktiknya, rekomendasi ini tidak memiliki kekuatan apapun dengan alasan tidak diatur secara tegas di dalam UU HAM. Pengaturan mengenai Komnas HAM dalam UU HAM tersebut belum menjamin Komnas HAM dapat melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya secara efektif dan efisien dalam perlindungan, penegakan, dan pemajuan HAM.

Berdasarkan hal tersebut maka diperlukan penyempurnaan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia untuk penguatan fungsi dan peran Komnas HAM. Hal ini penting untuk dapat menjawab tantangan perubahan konstalasi politik dan hukum di tanah air, terkait dengan permasalahan perlindungan, pemenuhan dan penegakan HAM juga perkembangan HAM.

Apalagi Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2013 telah mengamanatkan pembentukan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (RUU HAM).
 
Komisioner Komnas HAM sebagai Penyelidik

Berdasarkan UU HAM, sebagai lembaga yang setingkat dengan lembaga negara, Komnas HAM diberikan fungsi kuasi yudisial. Fungsi kuasi yudisial memiliki karakteristik tindakan yudisial yang dilakukan oleh lembaga pemerintah seperti penyelesaian sengketa dan penetapan fakta yang prosedur dan tata laksananya ditetapkan secara mandiri oleh lembaga tersebut berdasarkan undang-undang yang membentuknya.

Dalam konteks ini, fungsi kuasi yudisial Komisi tercermin antara lain dalam tindakan penyelidikan. Dalam pelaksanaan fungsi Komisi, penyelidikan merupakan serangkaian kegiatan dalam rangka pencarian data, fakta, dan informasi terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran HAM. Untuk melaksanakan fungsinya, Komnas HAM bertugas melakukan penyelidikan. Ketentuan ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Semenjak lahirnya UU Pengadilan HAM, tugas dan wewenang Komnas HAM tidak saja sebagai lembaga yang bertujuan untuk mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan HAM serta meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia. Tetapi Komnas HAM telah menjadi bagian dari anasir sistem pengadilan HAM dengan wewenangnya sebagai penyelidik pelanggaran HAM yang berat.

Dengan diundangkannya UU Pengadilan HAM, tugas dan wewenang Komnas HAM semakin bertambah dengan diberi wewenang sebagai penyelidik pelanggaran HAM yang berat. Berdasarkan UU HAM yang merupakan dasar pembentukan UU Pengadilan HAM, sebenarnya Komnas HAM telah memiliki kewenangan untuk menyelidiki pelanggaran HAM, yaitu penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran hak asasi manusia.

Kewenangan ini merupakan kewenangan Komnas HAM dalam fungsinya sebagai pemantauan. Dengan demikian, terdapat dua macam penyelidikan Komnas HAM, yaitu penyelidikan berdasarkan UU Pengadilan HAM dan Penyelidikan berdasarkan UU HAM.

Secara substansi, kedua penyelidikan tersebut di atas mempunyai perbedaan mendasar. Penyelidikan berdasarkan UU Pengadilan HAM adalah penyelidikan dalam lingkup pro yustisia, yang berarti sebagai rangkaian penegakan hukum melalui pengadilan. Sedangkan penyelidikan berdasarkan UU HAM disebut sebagai penyelidikan pemeriksaan, yaitu penyelidikan dalam rangka pemantauan.

Penyelidikan pro yustisia bertujuan untuk menentukan ada tidaknya suatu tindak pidana (crimes) pelanggaran HAM yang berat (berupa genocide atau crimes against humanity) dalam suatu peristiwa. Sedangkan penyelidikan pemeriksaan dalam rangka pemantauan adalah kegiatan pencarian data, informasi, dan fakta untuk mengetahui ada atau tidaknya pelanggaran HAM yang bertujuan untuk menyelidiki apakah dalam suatu peristiwa terdapat pelanggaran terhadap prinsip-prinsip HAM yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, terutama yang diatur dalam UU HAM. Dalam hal ini Komnas HAM mengawasi (monitoring) apakah prinsip-prinsip HAM dilanggar atau tidak.

Penyelidikan pro yustisia dan penyelidikan pemeriksaan sama-sama menyelidiki pelanggaran HAM, tetapi pelanggaran HAM dalam kedua penyelidikan ini mempunyai makna yang berbeda. Pelanggaran HAM dalam penyelidikan pro yustisia berarti tindak pidana (crimes) yang mempunyai sanksi pidana, sedangkan dalam penyelidikan pemeriksaan ‘pelanggaran HAM berarti pelanggaran prinsip-prinsip HAM.

Dilihat dari output-nya, penyelidikan pro yustisia menentukan ada tidaknya kejahatan HAM. Jika ada selanjutnya akan ditindaklanjuti dengan penyidikan. Sedangkan penyelidikan pemeriksaan output-nya berupa rekomendasi Komnas HAM kepada lembaga atau institusi terkait. Namun, di beberapa kasus, penyelidikan pemeriksaan dapat ditingkatkan ke penyelidikan pro yustisia oleh sidang paripurna Komnas HAM jika ternyata hasil temuan penyelidikan pemeriksaan ada dugaan yang kuat berdasarkan sifat dan lingkupnya terdapat pelanggaran HAM Berat.

Komnas HAM telah memiliki kewenangan penyelidikan dalam UU HAM namun merupakan merupakan bagian fungsi pemantauan sebagaiman diatur dalam Pasal 89 Ayat (3) UU HAM tersebut. Oleh karena itu, untuk mempertegas kewenangan Komnas HAM sebagai penyelidik, dalam penyempurnaan UU HAM perlu dirumuskan secara tegas dengan pengaturan tersendiri yang terpisah dari fungsi pemantauan.

Dengan itu, Komnas HAM dalam melakukan fungsi penyelidikan dapat bekerja secara maksimal sehingga dapat mengungkapkan permasalahan pelanggaran HAM yang sampai saat ini masih belum terselesaikan bahkan eskalasi pelangggaran HAM semakin meningkat belakangan ini.

Komnas HAM dalam menjalankan tugasnya di bidang penyelidikan harus melakukan hal-hal sebagai berikut :

1. Penyelidikan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran HAM;
2. Pencarian dan pengumpulan fakta, data, dan informasi/ keterangan berkenaan dengan peristiwa yang diduga terdapat pelanggaran HAM;
3. Pemanggilan pelapor, korban, dan pihak yang dilaporkan untuk dimintai dan didengar keterangannya;
4. Pemanggilan saksi untuk dimintai dan didengar kesaksiannya dan diminta menyerahkan bukti yang diperlukan; dan
5. Peninjauan di tempat terjadinya peristiwa dan tempat lainnya yang dianggap perlu.

Tugas Komnas HAM ini perlu diatur secara tegas sehingga kehadiran Komnas HAM bukan hanya sebagai lembaga semata yang tidak memiliki fungsi dan kewenangan yang berarti melainkan kehadiran Komnas HAM diharapkan membawa dampak positif dan berarti untuk menyelesaikan pelanggaran HAM yang terjadi.

Kewenangan Pemanggilan Paksa (subpoena)

Komnas HAM sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 1 angka 7 UU HAM dinyatakan bahwa Komnas HAM adalah lembaga mandiri, yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya, yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi hak asasi manusia. Komnas HAM berwenang melakukan pemanggilan paksa atau subpoena. Yakni setiap orang yang diperlukan kehadiran, keterangan, kesaksian, pernyataan, atau kerja samanya oleh Komnas HAM.

Dalam menjalankan fungsi dan tugas itu, yang telah dipanggil secara patut tiga kali berturut-turut akan tetapi tidak datang memenuhi panggilan tersebut dengan alasan yang tidak sah, Komnas HAM berwenang meminta bantuan kepolisian negara Republik Indonesia untuk menghadirkan yang bersangkutan secara paksa.

Dalam hal orang atau lembaga tidak bersedia menyerahkan/memberikan dokumen yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan fungsi dan tugasnya, Komnas HAM dapat melakukan penyitaan dokumen tanpa izin ketua pengadilan negeri setempat. Dalam melakukan penyitaan dokumen wajib membuat berita acara penyitaan pada hari penyitaan yang sekurang-kurangnya memuat nama, jenis, dan jumlah dokumen yang disita; keterangan tempat, waktu, hari, tanggal, bulan, dan tahun dilakukan penyitaan; keterangan mengenai orang atau lembaga yang menguasai dokumen tersebut; tanda tangan dan identitas penyidik yang melakukan penyitaan; dan tanda tangan dan identitas dari orang atau lembaga yang menguasai dokumen tersebut.

Dalam Pasal 95 UU HAM dinyatakan: "Apabila seseorang yang dipanggil tidak datang menghadap atau menolak memberikan keterangannya, Komnas HAM dapat meminta bantuan Ketua Pengadilan untuk pemenuhan panggilan secara paksa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan".


Mengingat masih kurang efektifnya Pasal 95 UU HAM tersebut sehingga Komnas HAM mempunyai kewenangan untuk memanggil paksa pelanggar HAM dengan melibatkan kepolisian, tanpa meminta bantuan ketua pengadilan sangat sulit diterapkan. UU HAM tidak mengatur secara jelas dan rinci mengenai pemanggilan tersebut sehingga tidak memiliki kekuatan memaksa untuk menghadirkan yang bersangkutan.

UU HAM tidak memberikan kewenangan kepada Komnas HAM untuk melakukan pemanggilan secara paksa untuk datang menghadap atau menolak memberikan keterangan. Komnas HAM dapat meminta bantuan ketua pengadilan untuk pemenuhan panggilan secara paksa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Baik UU HAM maupun Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM memang tidak diatur mengenai upaya paksa yang dapat dilakukan apabila ada pihak yang tidak datang memenuhi panggilan dalam rangka penyelidikan.

Pengaturan upaya paksa secara jelas dan terperinci dalam penyempurnaan UU HAM sangat diperlukan dengan alasan:

a. Apabila seseorang yang dipanggil Komnas HAM tidak datang datang menghadap atau menolak memberikan keterangan maka Komnas HAM dapat meminta bantuan ketua pengadilan untuk pemenuhan secara paksa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
b. Untuk membantu kelancaran pelaksanaan tugas Komnas HAM itu sendiri, karena selama ini Komnas HAM sering kesulitan menemukan bukti permulaan untuk menyatakan bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat karena orang tidak datang menghadap atau menolak memberikan keterangan, yang pada gilirannya akan menghalangi proses pencarian keadilan bagi pihak-pihak yang dirugikan dari peristiwa dimana telah terjadi dugaan pelanggaran HAM.
c. Jika harus terlebih dahulu meminta bantuan kepada ketua pengadilan maka dalam pelaksanaannya kemungkinan ketua pengadilan akan mempertimbangkan banyak hal termasuk kepentingan pihak yang dipanggil sebelum memutuskan apakah akan memenuhi permintaan Komnas HAM atau tidak.

Untuk memperkuat kewenangan Subpoena bagi Komnas HAM terkait kewenangan pemanggilan orang, dimana Komnas HAM harus diberikan kewenangan untuk melakukan adanya pemanggilan paksa maka fungsi dan kewenangan HAM yaitu terdiri dari pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi HAM harus ditambah dengan fungsi eksekusi dalam menjalankan fungsinya.

Setiap orang yang diperlukan kehadirannya, keterangan, kesaksian, pernyataan, atau kerja samanya oleh Komnas HAM yang jika dipanggil berturut-turut tiga kali, tetapi tidak datang maka Komnas HAM berwenang memanggil sendiri maupun meminta bantuan kepolisian republik Indonesia untuk menghadirkan yang bersangkutan secara paksa.

Oleh karena itu perlu diatur dalam penyempurnaan UU tentang HAM tentang pemanggilan tersebut seperti diatur dalam Pasal 224 Ayat (1) dan Ayat (2) KUHP, namun harus diperhatikan juga bagaimana jika orang yang dipanggil tersebut tidak mau hadir dengan alasan adanya intimidasi atau akan diancam. Adapun jika berkaitan dengan penyelidikan dan sesuai dengan kewenangannya maka perlu diberi keselamatan untuk memeriksa dokumen yang berkaitan dengan pelanggaran HAM.

Pemanggilan paksa terhadap orang atau pemeriksaan terhadap dokumen diperlukan untuk memudahkan Komnas HAM dalam melaksanakan penyelidikan. Kewenangan pemanggilan paksa (subpoena) Komnas HAM perlu dibarengi dengan personil yang melakukan tindakan tersebut. Apakah pihak Komnas HAM secara tegas dibantu institusi lain atau membentuk satuan tersendiri hal ini perlu dibahas dalam proses legislasi.

Mengenai pemeriksaan dokumen perlu juga dilakukan, karena proses penyelidikan oleh Komnas HAM tidak cukup hanya dengan permintaan keterangan, tetapi perlu didukung dengan data/dokumen dan jika diperlukan perluasan alat bukti dokumen sebagaimana diatur dalam undang-undang lain.

Rekomendasi Komnas HAM    

Pengalaman menunjukkan perlunya Komnas HAM memiliki kedudukan hukum (legal standing), yang memungkinkannya untuk melakukan gugatan dan dapat digugat misalnya dalam hal suatu lembaga negara lain tidak melaksanakan kewajibannya menurut undang-undang, yang berakibat terhambatnya suatu proses hukum penyelesaian suatu pelanggaran HAM. Sebagai perbandingan dapat dicatat bahwa sejumlah institusi nasional HAM negara lain mempunyai kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana ditetapkan dalam instrumen konstitutifnya masing-masing, seperti institusi nasional HAM Australia, Malaysia, Nepal, dan Selandia Baru.

Berkaitan dengan kewenangan, di Srilanka menetapkan bahwa pihak yang dipanggil oleh Komnas HAM pada waktu dan tempat yang tepat tidak datang, maka dapat dipidana karena dianggap contempt dan disrespect sehingga dapat mengajukan ke mahkamah agung dan memproses pemidanaan.

Berbeda dengan Komnas HAM Indonesia, apabila rekomendasi Komnas HAM tidak dipatuhi, tidak ada sanksi apapun terhadap penerima rekomendasi tersebut. Untuk pelaksanaan rekomendasi, dalam UU HAM menyebutkan saran dan rekomendasi Komnas HAM. Dalam praktiknya, rekomendasi kebanyakan berasal dari hasil pemantauan, pengkajian, dan penelitian.

Kedudukan hukum (legal standing) akan menunjang pelaksanaan fungsi pemantauan Komnas HAM, yang menetapkan kewajiban setiap orang untuk memenuhi panggilan Komnas HAM untuk memberikan keterangan atau kesaksian dengan sanksi apabila tidak mematuhinya tanpa alasan yang sah. Kedudukan hukum juga menunjang pelaksanaan rekomendasi Komnas HAM, yang menetapkan kewajiban bagi pejabat negara atau pejabat pemerintah untuk memberikan penjelasan kepada Komnas HAM dalam hal mereka tidak mau (unwilling) atau tidak dapat (unable) melaksanakannya.


Oleh karena itu apabila dalam UU HAM yang baru nanti diatur mengenai ketentuan yang menetapkan bahwa Komnas HAM mempunyai kedudukan hukum (legal standing) agar dalam penyampaian rekomendasi, Komnas HAM mempunyai kedudukan hukum yang kuat. Komnas HAM dapat menyampaikan rekomendasi kepada pihak terkait meliputi :
 
a. Pemberian saran mengenai kemungkinan aksesi dan/atau ratifikasi berbagai instrumen internasional HAM;
b. Pemberian saran mengenai pembentukan atau perubahan perundang-undangan yang berkaitan dengan HAM, dan pencabutan peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan HAM;
c. Pemberian saran perubahan kebijakan terkait dengan upaya-upaya pemajuan, perlindungan, penegakan, dan pemenuhan HAM yang dilakukan pemerintah;
d. Pemberian saran terkait dengan sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui cara konsultasi, negosiasi, mediasi, dan konsiliasi;
e. Pemberian rekomendasi berdasarkan hasil pengamatan dan penilaian atas adanya dugaan diskriminasi ras dan etnis; dan
f. Penyampaian rekomendasi kepada pihak yang berwenang atau berkepentingan mengenai langkah yang perlu diambil oleh pihak yang bersangkutanberdasarkan hasil pemantauan, penyelidikan, atau pengawasan.

Dalam hal pihak penerima rekomendasi yaitu pihak yang berwenang atau oleh pihak yang bersangkutan tidak bersedia melaksanakan seluruh atau sebagian rekomendasi, pihak penerima rekomendasi wajib menjelaskan secara tertulis kepada Komnas HAM dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak mulai diterimanya rekomendasi. Apabila pihak penerima rekomendasi tidak bersedia melaksanakan rekomendasi tanpa alasan yang dapat diterima oleh Komnas HAM, Komnas HAM berwenang mengajukan permohonan penetapan pengadilan pelaksanaan rekomendasi ke pengadilan negeri setempat.

Pengaturan yang ideal terhadap rekomendasi yang disampaikan Komnas HAM mengenai kasus-kasus pelanggaran HAM kepada instansi penegak hukum agar instansi tersebut mau melaksanakan rekomendasi dimaksud, yaitu diperlukan pengaturan rekomendasi yang diberikan oleh Komnas HAM kepada instansi penegak hukum sesuai dengan tugas dan fungsi instansi tersebut serta sanksi yang diberikan Komnas HAM kepada instansi penegak hukum apabila tidak dilaksanakan rekomendasi.

Jika berkaitan dengan penyelidikan dan sesuai dengan kewenangannya perlu diberi keselamatan untuk memeriksa dokumen yang berkaitan dengan pelanggaran HAM. Tindakan lain untuk ditaatinya rekomendasi yaitu dengan memberi sanksi kepada pelaku yang tidak melaksanakan rekomendasi tersebut.

Masalah pengaturan ideal terhadap rekomendasi Komnas HAM mengenai kasus pelanggaran HAM kepada instansi penegak hukum agar instansi tersebut mau melaksanakan rekomendasi tersebut, tentunya di setiap instansi terdapat satuan pengawas/provos/inspektorat yang melakukan kontrol dan pengawasan terhadap tindakan yang dilakukan oleh aparatnya. Secara umum setiap laporan yang disampaikan kepada satuan pengawas/provos/inspektorat akan ditindaklanjuti.

Oleh karena itu yang penting dilakukan adalah koordinasi yang baik dengan satuan pengawas/provos/inspektorat di instansi tersebut. Rekomendasi yang di buat oleh Komnas HAM tidak serta merta langsung diterima, tetapi perlu dipelajari terlebih dahulu, diperiksa, dan dianalisa lagi untuk selanjutnya apakah diminta untuk disempurnakan kembali oleh Komnas HAM atau diteruskan ke tahap selanjutnya, misalnya sebagai bahan untuk penuntutan di pengadilan.

Bahwa rekomendasi dapat diartikan adalah saran yang menganjurkan (membenarkan, menguatkan), sedangkan merekomendasi diartikan sebagai istilah saran yang menganjurkan, dan harus dinyatakan dengan surat/tertulis. Rekomendasi perlu diberikan bobot yang kuat. Agar rekomendasi dari Komnas HAM mempunyai bobot yang kuat maka perlu diberikan kewenangan kepada Komnas HAM untuk dapat menggugat instansi tau lembaga yang tidak melaksanakan rekomendasinya setelah sebelumnya kepada instansi atau lembaga yang bersangkutan diperingatkan sebanyak 3 (tiga) kali.

Jika rekomendasi yang disampaikan oleh Komnas HAM tidak dilaksanakan maka atasannya perlu menegurnya dan bertanggung jawab, jika atasannya tidak menindaklanjuti maka perlu diumumkan di media masa bahwa pelakunya tidak melaksanakan rekomendasi dan yang bersangkutan perlu dicatat sebagai pelaku pelanggaran HAM.

Mengingat bahwa rekomendasi Komnas HAM hanyalah bersifat morally binding, sehingga tidak ada kewajiban hukum bagi para pihak yang menerima rekomendasi Komnas HAM untuk menindaklanjuti. Hal inilah yang mengakibatkan banyaknya pengaduan ke Komnas HAM tidak dapat tertangani dengan baik. Untuk itu, Komnas HAM perlu diberikan kewenangan yang lebih melalui penyempurnaan UU HAM sehingga dapat menjalankan mandatnya dengan lebih baik sesuai dengan harapan masyarakat.

*) Penulis adalah Tenaga Fungsional Perancang Undang-Undang Bidang Politik, Hukum, dan Hak Asasi Manusia Sekretariat Jenderal DPR-RI

BACA JUGA: