Oleh: Abdanial Malakan, S.H., M.H. *)

Sekitar akhir Januari lalu muncul berita yang cukup membuat miris terjadi di Indonesia. Berita tersebut menyebutkan bahwa beberapa warga Kecamatan Majalaya, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, ada yang hidup hanya dengan satu ginjal. Sebab satu bagian ginjal lainnya telah mereka rupiahkan. Alasan menggadaikan organ tubuh berharga itu karena himpitan ekonomi. Mereka telah terjerembab sindikat penjualan organ tubuh manusia, hingga akhirnya kasus itu terbongkar oleh Mabes Polri.  

Edi Midun (39) adalah salah satu orang yang menjual ginjalnya untuk ditukar rupiah. Dia berkisah pada Agustus 2014  terlilit utang mencapai Rp35 juta, yang kemudian datanglah seseorang berinisial AM, yang dijuluki sebagai Bandar Ginjal di kampungnya, menawarkan solusi atas desakan ekonomi yang dialami Edi. AM menawarkan kepada Edi untuk menjual sebagian organ tubuhnya yaitu ginjal.  Dimana dalam perjalanannya akhirnya disepakati harga untuk ginjal yang dijual senilai Rp75 juta  dan AM meminta bagian uang dari penjualan itu sebesar Rp10 juta sebagai jasa perantara kepada pembeli ginjal Edi tersebut.
    
Bahwa dari sample case di atas dijumpai tentang motivasi seseorang rela menjual organ tubuhnya dalam bentuk ginjal adalah karena memenuhi desakan ekonomi yang dialaminya. Orang yang mengalami kebutuhan ekonomi yang amat mendesak akan rentan menjadi sasaran sindikat perdagangan organ tubuh manusia. Himpitan kebutuhan yang tidak diimbangi oleh daya beli masyarakat akan membuat semakin besarnya kelompok rentan yang ada di masyarakat kita.

Motivasi ini akan berbeda ketika ditanyakan pada pelaku perdagangannya (perantara, pembeli dan oknum tenaga medis yang terlibat). Dimana motivasi yang mendorong mereka terjun pada bisnis haram perdagangan organ manusia adalah tidak lain keuntungan pendapatan yang sangat mudah (easy money) dan sangat besar pula. Bisa dilihat dari contoh kasus di atas uang yang didapatkan seseorang yang merelakan organ tubuhnya diambil untuk ditukar rupiah hanyalah sebesar Rp75 juta, sedangkan harga jual organ ginjal di pasar gelap bisa mencapai Rp300 juta, bahkan hingga mencapai Rp500 juta, hingga akhirnya mereka terjun di bisnis haram tersebut.
    
Sindikat bisnis haram jual beli organ tubuh manusia ini pastilah melibatkan beberapa pihak, dimana masing-masing pihak memiliki peranannya masing-masing. Ada pihak yang menjadi pencari calon pendonor organ, tugas orang tersebut adalah mencari orang-orang yang membutuhkan dana segar untuk selanjutnya dengan bujuk rayu dan iming-iming uang yang lumayan besar (bagi mereka), hingga akhirnya calon pendonor menyepakati untuk merelakan organ tubuhnya diambil dan ditukarkan dengan rupiah.

Pihak selanjutnya adalah oknum tenaga medis, peran oknum tenaga medis disini cukup krusial dimana mereka berperan untuk meneliti kelayakan organ dan melakukan tindakan medis dalam bentuk pengambilan organ tubuh. Lalu Pihak yang tak kalah berperanan penting dalam sindikat perdagangan organ tubuh manusia tersebut adalah pembeli, dimana pembeli organ tubuh manusia tersebut bisa seseorang yang nantinya akan menjual kembali kepada seorang user (orang yang membutuhkan organ tubuh untuk dirinya sendiri) atau bahkan mungkin user itu sendiri selaku pembelinya.      
Dalam contoh kasus di atas, pihak kepolisian mengenakan Pasal 64 Ayat (3) Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan terhadap para tersangka sindikat perdagangan organ tubuh manusia, dimana dalam pasal tersebut menyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan organ atau jaringan tubuh dengan dalih apa pun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 Ayat (3).

Bagi seseorang yang terbukti melakukan tindak pidana dan melanggar pasal tersebut dapat dikenakan pidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 192 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan. Pertanyaannya, apakah ada aturan hukum lainnya yang dapat dipergunakan untuk menjerat para sindikat perdagangan organ tubuh manusia yang terjadi di Indonesia?
    
Patut diketahui, indikasi tentang terjadinya perdagangan organ tubuh manusia telah terjadi sejak lama dengan modus operandi yang semakin hari semakin berkembang, sehingga jika merujuk pada sistem hukum pidana yang ada di Indonesia, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHPidana) mengatur secara umum tentang perdagangan yang terlarang, dimana diatur dalam Bab VII Kitab Undang-undang Hukum Pidana tentang kejahatan yang membahayakan keamanan umum bagi orang atau barang, dalam Pasal 204, 205 dan Pasal 206 KUHP membahas tentang sanksi pidana bagi yang memperjualbelikan barang yang diketahui membahayakan nyawa atau kesehatan orang.

Pada tahun 1981 pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1981 tentang Bedah Mayat Klinis dan  Bedah Mayat Anatomis Serta Transplantasi Alat atau Jaringan Tubuh Manusia, dimana dalam dalam Pasal 17 diatur secara tegas bahwa dilarang memperjualbelikan alat atau jaringan tubuh manusia dan dalam Pasal 18 berbunyi dilarang mengirim dan menerima alat dan atau jaringan tubuh manusia dalam semua bentuk ke dan dari luar negeri.

Untuk menunjukkan perhatian serius pemerintah akan isu perdagangan organ tubuh manusia maka dibuatlah aturan-aturan dalam bentuk undang-undang lainnya hingga akhirnya diterbitkannya peraturan perundang-undangan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan orang dan UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
    
Lalu bagaimanakah menjawab kebutuhan tindakan medis berupa transplantasi atau pencangkokan organ tubuh untuk menyelamatkan nyawa seseorang? Tidak semua tindakan medis berupa transplantasi atau pencangkokan organ adalah menyalahi aturan hukum, dimana dalam UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 64 ayat (1) menyatakan bahwa "Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dapat dilakukan melalui transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh, implan obat dan/atau alat kesehatan, bedah plastik dan rekonstruksi, serta penggunaan sel punca." 

Hal ini menunjukkan tindakan medis berupa transplantasi tetap dapat dilakukan, akan tetapi yang jelas dilarang dan diindikasikan sebagai bentuk tindak pidana adalah perdagangannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (3) Jo Pasal 192 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Sehingga untuk kebutuhan tindakan medis berupa transplantasi atau pencangkokan organ tubuh tetap dapat dilakukan selama cara mendapatkannya tidak menyalahi aturan hukum yang ada.
    
Fenomena hukum tentang perdagangan organ tubuh manusia ini jelas tidak dapat dipandang remeh, karena kelompok rentan dari sisi ekonomi yang ada di masyarakat Indonesia begitu banyak. Pemerintah tidak bisa hanya menerbitkan peraturan saja, akan tetapi langkah preventif juga harus dilakukan dalam bentuk sosialisasi bahaya sindikat perdagangan organ tubuh manusia. Hal itu meliputi modus operandi sindikat tersebut dan bahayanya dari sisi kesehatan dan aturan hukum atas perdagangan organ tubuh manusia. Keterlibatan dari kalangan akademisi dan praktisi kesehatan juga hukum sangat diperlukan untuk sosialisasi sebagai langkah preventif di masyarakat.   

*) Penulis adalah advokat dan praktisi hukum

BACA JUGA: