Oleh: Laily Fitriani, S.H., M.H. *)

Terbongkarnya praktik prostitusi kelas atas di kalangan artis dimulai dengan ditangkapnya artis AA, seorang model majalah pria dewasa, dan mucikarinya oleh Polres Jakarta Selatan di hotel bintang lima kawasan ibu kota, menguak adanya daftar 200 nama artis yang diduga terlibat prostitusi ini. Tentu menjadi pertanyaan mengapa artis melakukan kegiatan prostitusi ini. Apakah untuk memenuhi gaya hidupnya sebagai selebriti yang memerlukan penampilan sempurna dan untuk menaikan eksistensinya?

Prostitusi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti pertukaran hubungan seksual dengan uang atau hadiah sebagai suatu transaksi perdagangan; pelacuran. Sedangkan secara etimologis pelacuran berasal dari bahasa latin yaitu Prostitutio yang artinya sebagai perilaku yang terang-terangan menyerahkan diri pada perzinaan, sedangkan perzinaan itu sendiri berarti berhubungan kelamin antara laki-laki dengan seorang perempuan baik salah satu ataupun kedua-duanya telah terikat perkawinan yang sah dengan orang lain (Landrawan, 2005:38 dalam Adelia Handini, et all, http://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/JJPP/article/viewFile/2941/2437).

Kegiatan Prostitusi ini melanggar norma-norma sosial kemasyarakatan, norma agama dan norma hukum. Prostitusi atau pelacuran juga merupakan masalah sosial yang akan memicu penyakit menular seksual (PMS) antara lain: gonorrhea, sifilis, kandidiasis, infeksi HIV/AIDS. Tentu saja kegiatan prostitusi ini merupakan kegiatan yang dapat merusak moral bangsa, khususnya bagi generasi muda di Indonesia.

Pengaturan Prostitusi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Jika ditilik pengaturan prostitusi dalam KUHP, telah diatur dalam Pasal 296 dan Pasal 506 KUHP, adapun Pasal 296 KUHP yang berbunyi: "Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah".

Kemudian dalam Pasal 506 berbunyi: "Barang siapa menarik keuntungan dari perbuatan cabul seseorang wanita dan menjadikannya sebagai pencaharian, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun."

Berdasarkan pengaturan ini maka prostitusi hanya sebagai suatu delik terhadap pihak perantaranya. Dengan demikian aparat penegak hukum hanya dapat melakukan tindakan hukum terhadap perantara atau yang biasa disebut mucikari. Adapun Pekerja seks komersial (PSK) dan pengguna PSK tidak mendapatkan hukuman. Terdengar miris memang tetapi hal tersebutlah yang diatur oleh undang-undang.

Ke depan seharusnya ada perubahan terhadap pasal dalam KUHP yang mengatur agar pihak yang terlibat dalam prostitusi, dalam hal ini PSK dan pelanggan dapat dikenai tindakan hukum. Karena prostitusi ini merupakan penyakit masyarakat yang dampaknya bisa merusak moral.

Kemudian jika dikaitkan dengan perzinaan, pengaturan dalam KUHP terdapat dalam rumusan Pasal 284 KUHP tentang tindak pidana perzinaan adalah perzinaan yang dilakukan oleh dua orang yang salah satu atau keduanya terikat perkawinan dan diadukan oleh isteri atau suami pelaku zina dan dilakukan atas dasar suka sama suka, dengan hukuman maksimal sembilan bulan penjara.

KUHP mencantumkan bahwa tindak pidana ini sebagai tindak pidana aduan, sehingga membuka kesempatan yang sangat luas bagi terjadinya tindak pidana perzinaan dalam berbagai bentuk dan variasinya. Dengan demikian, keberadaan rumusan Pasal tersebut tentunya sudah sangat tidak relevan dalam kehidupan masyarakat. Selain itu, substansi pasal tersebut tidak mampu mencerminkan dan mengakomodir nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, baik hukum adat maupun hukum agama. Pengaturan yang dapat  dilakukan adalah dengan memperluas cakupan perzinaan yakni terhadap laki-laki dan perempuan yang tidak terikat dalam perkawinan.

Pengaturan Prostitusi dalam Peraturan Daerah
Di beberapa daerah terdapat beberapa peraturan daerah yang mengatur/terkait dengan prostitusi antara lain di Pemerintah kabupaten Lahat, Bandar Lampung, Tangerang, Indramayu, Cilacap, Palembang,  Bengkulu, dan DKI Jakarta. Peraturan daerah (Perda) tersebut kemudian menjadi kekuatan hukum bagi pemerintah daerah menangkap seseorang yang dianggap atau dicurigai sebagai pelaku prostitusi (http://nasional.kompas.com/read/2008/05/12/0111358/menilik.peraturan.daerah.tentang.prostitusi).

Sebagai salah satu contoh, dalam Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum, PSK dan Pengguna PSK dapat dijerat dengan Pasal 42 Ayat (2) yang berbunyi:
Setiap orang dilarang:

a. menjadi penjaja seks komersial;
b. menyuruh, memfasilitasi, membujuk, memaksa orang lain untuk menjadi pejaja seks komersial;
c. memakai jasa penjaja seks komersial.

Berdasarkan ketentuan tersebut maka baik mucikari, pengguna PSK, dan PSK itu sendiri dapat dijerat dengan Pasal tersebut. Selain itu, dalam Pasal 61 Ayat (2) Peraturan Daerah tersebut, mencantumkan ketentuan mengenai ancaman pidana kurungan paling singkat 20 (dua puluh) hari dan paling lama 90 (sembilan puluh) hari atau denda paling sedikit Rp500.000 (Lima Ratus Ribu Rupiah) dan paling banyak Rp30.000.000 (Tiga Puluh Juta) bagi PSK dan orang yang memakai jasa PSK.

Sedangkan dalam Pasal 63 Ayat (1) Perda berlaku ketentuan untuk setiap orang yang menyuruh, memfasilitasi, membujuk, memaksa orang lain untuk menjadi penjaja seks komersial dikenai pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

*) Penulis adalah Perancang Undang-Undang Bidang Polhukham Sekretariat Jenderal DPR RI

BACA JUGA: