Oleh: Firdaus Cahyadi 
Direktur Eksekutif One World-Indonesia

"Situs ini (google dan youtube) telah secara bebas untuk menebarkan konten-konten pornografi dan kekerasan tanpa kontrol sedikit pun. Google dan Youtube telah memberikan dampak negatif bagi Indonesia, jika mereka tidak dapat mengontrol situs-situs yang mereka unggah untuk masyarakat," ungkap Sekjen Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) Jafar Hafsah dalam seperti ditulis dalam situs detik.com (7/6).

Dan organisasi cendikiawan muslim itu pun meminta pemerintah untuk memblokir situs google dan youtube. Sebuah permintaan yang mengejutkan dari sebuah organisasi yang mengatasnamakan dirinya kumpulan para cendikiawan. Kenapa demikian?

Bagaimana tidak, bila pemerintah mengikuti desakan ICMI dengan memblokir situs google dan youtube maka itu berarti justru akan berpotensi menutup akses informasi dan pengetahuan publik yang menggunakan internet. Selama ini banyak sekali informasi dan pengetahuan bermanfaat yang didapatkan pengguna internet melalui kedua situs itu.

Mungkin melalui kedua situs itu, pengguna internet juga bisa mendapatkan konten negatif, baik itu kekerasan atau pornografi. Namun, jika kemudian caranya adalah memblokirnya, itu sama saja dengan membunuh tikus dengan membakar rumahnya.

Terlepas dari itu semua, permintaan blokir situs sebenarnya bukan kali ini saja muncul di permukaan. Sudah seringkali permintaan blokir situs muncul dari berbagai pihak. Sebelumnya muncul desakan kepada pemerintah untuk memblokir situs yang dinilai menyebarkan paham kiri. Tak berapa lama kemudian muncul desakan untuk memblokir layanan aplikasi transportasi online.

Di Indonesia, semua pihak bisa saja mengusulkan pemblokiran sebuah website dan aplikasi online lainnya. Hal itu disebabkan aturan mengenai pemblokiran website di internet memang tidak jelas di negeri ini.

Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), dengan mudah saja memblokir sebuah website atau layanan online. Jika muncul gugatan masyarakat, pemerintah tinggal bersembunyi di balik kewenangan panel Panel Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif.

Nampaknya pemerintah justru nyaman dengan tidak adanya kekosongan hukum dalam persoalan pemblokiran di internet. UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) sebagai salah satu produk hukum yang menangkap fenomena dunia internet dan media elektronik, ternyata hanya mengatur mengenai tindakan yang dilarang dan yang dimaknai sebagai pengaturan tentang jenis-jenis konten dilarang. Sebagai satu-satunya regulasi yang mengatur tata kelola internet di Indonesia, UU ITE cenderung berfokus pada pengaturan ihwal instrumen elektronik ketimbang meregulasi lalu lintas informasi elektronik di hadapan pengguna akhir.

Dampak dari kekosongan hukum itulah muncul Peraturan Menteri Kominfo No 19 Tahun 2014 tentang Penanganan Situs-situs Internet Bermuatan Negatif. Permen 19/2014 itu sendiri telah menuai banyak polemik karena dinilai tidak mampu menjawab persoalan kesewenang-wenangan dalam pemblokiran konten internet. Selain implementasinya yang sering kali bermasalah dan tidak menyediakan mekanisme yang transparan dan akuntabel, bentuk aturannya sendiri dinilai tidak legitimate.

Padahal sejatinya, pemblokiran konten merupakan bagian dari pembatasan hak asasi manusia (HAM) seperti hak atas informasi, pengetahuan dan berekspresi. Dan berdasar Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945 dan hukum internasional hak asasi manusia, ketentuan pembatasan terkait HAM, termasuk prosedurnya, mesti diatur dalam format undang-undang bukan peraturan menteri.

Saat ini pemerintah bersama dengan DPR sedang membahas revisi UU ITE. Seharusnya pembahasan revisi UU ITE dimanfaatkan untuk menegaskan bahwa persoalan pemblokiran harus diatur dalam UU, apakah itu dalam UU ITE atau UU Cyber Crime.

Namun, nampaknya yang terjadi sebaliknya. Pemerintah dan DPR nampaknya tidak memanfaatkan revisi UU ITE untuk mengurai carut marut persoalan pemblokiran internet di tanah air. Mereka justru menjadikan revisi UU ITE sebagai layaknya sinetron kejar tayang.

Bagaimana tidak, materi revisi UU ITE hanya menyasar persoalan pasal karet pencemaran nama baik. Itu pun pemerintah dan DPR nampaknya sepakat untuk tidak mencabutnya melainkan hanya mengurangi ancaman hukuman pidana. Persoalan pasal karet pencemaran nama baik memang krusial.

Namun, persoalan di internet bukan hanya soal pencemaran nama baik. Persoalan ketidakjelasan mekanisme, prosedur dan pemulihan website yang diblokir juga perlu diperhatikan.

Selain persoalan pemblokiran, persoalan perlindungan data pribadi di internet seharusnya juga diperkuat dalam revisi UU ITE. Semakin banyak aplikasi di internet yang mensyaratkan pengumpulan data pribadi penggunanya, jika tidak ada aturan yang jelas, akan berpotensi untuk disalahgunakan. Namun sayangnya, seperti dalam persoalan pemblokiran, persoalan perlindungan data pribadi ini nampaknya juga diabaikan dalam revisi UU ITE.

Nampaknya, kejar tayang revisi UU ITE yang sekarang sedang dibahas di DPR hanya menjadi medium pencitraan saja, baik pemerintah maupun DPR. Mereka seolah-olah memperhatikan kepentingan publik pengguna internet namun sejatinya tidak menyentuh substansi persoalan. Dan itu artinya, kedepan akan semakin banyak muncul desakan pemblokiran terhadap sebuah website dan aplikasi online.

Jika itu yang terjadi maka, hak publik atas informasi dan pengetahuan saat ini dan kedepan tergantung pada niat baik para anggota panel penilai situs konten bermuatan negatif, bentukan Kominfo. Dan tinggal sejengkal lagi Kominfo akan sama fungsi dan tugasnya seperti Departemen Penerangan di era rezim otoritarian Orde Baru.

BACA JUGA: