Oleh: Usman Abdhali Watik *)

Kehidupan pers kini semakin diwarnai oleh hal-hal kurang penting dijadikan sangat penting, sesuatu yang mestinya tak layak ditayangkan justru menjadi tontonan utama, isu remeh-temeh dibesar-besarkan seolah harus diketahui oleh pembaca. Peristiwa yang layak diliput justru luput dari perhatian.

Pers yang seharusnya "menghidangkan" menu menyehatkan dan bergizi justru terperosok menjadi pers yang kehilangan "sense of priorities", tak tahu mana yang penting dan baik untuk masyarakat, asal bisa menimbulkan sensasi, selesailah tugas pers.

Tak heran jika kontribusi pers Indonesia sejak bergulirnya euforia reformasi di segala bidang pada 1998 hingga kini tak banyak bisa dibanggakan. Kecuali berkontribusi pada semakin bebasnya pers dalam mengungkap dan menyiarkan kebobrokan para oknum birokrat dan elite partai politik korup.

Di sisi kehidupan berbangsa yang lain, pers seolah tak berkutik ketika dihujat, kemanakah pers saat petani, penduduk mayoritas negeri ini dijadikan bulan-bulanan oleh pemerintah terkait impor beras yang membuat petani semakin terpuruk taraf kesejahteraannya? Dimanakah pers bersembunyi ketika para nelayan diacak-acak oleh menteri kelautan karena kebijakan moratorium penangkapan ikan yang justru memperburuk kehidupan nelayan dan keluarganya? Dimana pers berada ketika seharusnya hadir dan menyuarakan aspirasi rakyat tertindas hak-hak kemanusiaannya untuk hidup layak dan bermartabat di negeri yang katanya sangat menjunjung tinggi nilai-nilai budi pekerti mulia? Dan hujatan-hujatan lainnya yang memang pantas ditujukan kepada pers dan para aparatusnya (jurnalis, editor, gatekeeper, redaktur, pemilik media, asosiasi jurnalis).

Di tengah kondisi pers seperti itu, menjadi sangat mendesak untuk memberitahu bahkan menjewer telinga stakeholders pers di negeri ini agar segera bangun dari nyenyaknya tidur di atas ranjang bulan madu lantaran terlalu sering melakukan perkawinan dengan kapitalisme yang tanpa kenal lelah memburu keuntungan semata sehingga menderita amnesia kepentingan publik dan gagal sensitifitas.

Publik berhak meneriakkan sekeras-kerasnya luapan emosinya kepada para pelaku pers agar segera bangkit dari segala bentuk kemalasan kerja jurnalistik dalam menyajikan informasi ataupun tayangan (news, features) yang memberi energi dan menumbuhkan semangat juang terkait perubahan taraf kesejahteraan masyarakat yang semakin membaik.

Tugas dan tanggung jawab pers seperti inilah dikenal dengan istilah Pers Profetik. Profetik bermakna kerisalahan atau berkaitan dengan risalah kenabian, sehingga pers profetik bisa diartikan sebagai pers yang menjadikan nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan sebagai bagian dan rujukan utama dalam menjalankan peran, fungsi dan tugas jurnalistik dalam upayanya turut serta membangun peradaban yang mulia.

Sebagai contoh, ketika seorang jurnalis ditugaskan untuk meliput peristiwa penggusuran pedagang kaki lima oleh satpol PP, yang terpenting bukan peristiwanya tetapi bagaimana pers memberi makna sehingga masyarakat lebih memahami situasi dan pokok masalahnya hingga masyarakat turut berpartisipasi menyuarakan tawaran solusi, mengingat problematika bangsa tidaklah cukup hanya ditangani oleh pemerintah saja.

Memberi makna terhadap peristiwa bisa dengan meliput hingga tuntas, mulai menginterview beberapa pedagang kaki lima, satpol PP, birokrat berwenang, masyarakat, hingga memberikan tawaran solusi dan kemungkinan implementasi dari solusi tersebut, sambil menyajikan data akurat seputar keberadaan pedagang kaki lima dan kontribusi pedagang kaki lima dalam mengatasi masalah pengangguran. Maka nilai pers profetik terletak pada pemberian makna bahwa kerja keras manusia harus dihargai tinggi karena agama manapun sangat menganjurkan ummatnya untuk senantiasa memakmurkan dirinya agar keluarga dan masyarakat di sekitarnya juga menikmati kemakmuran yang diperolehnya. Dengan demikian pers telah menjalankan peran profetiknya sebagai penyampai risalah kemuliaan dan keadaban.

Betapa dahsyatnya kontribusi para jurnalis yang kini jumlahnya kurang lebih 50 ribu jurnalis (baik jurnalis cetak, elektronik, online) di seluruh Indonesia, jika menjalankan peran profetiknya. Katakanlah 10% dari jumlah itu, maka akan ada 5.000 jurnalis yang turut memberi warna pers nasional dengan atmosfir profetik, maka dapat dipastikan pers nasional menjadi semakin cepat membawa Indonesia menjadi lebih baik, lebih cerdas, lebih sehat sehingga ujungnya nanti menjadikan Indonesia sebagai negara yang berperadaban mulia.

Sayangnya, harapan itu masih berhadapan dengan beberapa tantangan yang sepertinya menghadang dengan kokohnya, bagai tembok beton yang mustahil diruntuhkan, salah satunya tantangan dari para pemilik modal (para kaum kapitalis pemburu keuntungan semata). Harus diakui bahwa mati hidupnya industri pers tak bisa dipisahkan dengan bergeraknya roda industri pers, ada untung maka pers bergerak, tak ada untung maka pers yang buntung alias sakit-sakitan atau mati sama sekali.

Walaupun sesungguhnya pasti ada pemilik modal yang memang sudah tergerak hatinya untuk berperan secara profetik. Dibutuhkan upaya dan langkah strategis mengubah tantangan jenis ini menjadi peluang bahkan bahkan penopang mewujudkan pers profetik, diantaranya dengan memberikan bukti atau benchmark, bahwa pers yang profetik juga bisa menghasilkan keuntungan yang signifikan jika dikemas dengan menarik (menghibur) dan elegan (membuka kesadaran dan cerdas).

Tantangan yang tak kalah besarnya adalah berasal dari para jurnalis itu sendiri. Tidak hanya menyangkut kompetensi dan kapasitas jurnalis tetapi juga integritasnya juga menjadi taruhan dalam menjalankan peran profetiknya. Banyak jurnalis yang mumpuni, namun lemah dalam hal integritas atau cenderung longgar keterikatannya dengan nilai-nilai universal kemanusiaan apalagi ke-Islaman.  

Tantangan ini sebenarnya menjadi tugas para jurnalis senior dan tokoh pers khususnya yang ada berbagai asosiasi pers dan jurnalis di Indonesia untuk lebih agresif dan cerdas dalam membangun network dengan para jurnalis sehingga terbangun diskursus yang berkelanjutan terkait peran-peran profetik yang harus dimainkan oleh para jurnalis.

Menjelang Hari Pers Nasional 2016, kita menitipkan pesan kepada insan pers di seluruh Indonesia, berbuatlah untuk negerimu sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, semoga Tuhan Yang Maha Kuasa memberimu perlindungan dan kesehatan dalam menjalankan tugas mulia. Selamat Hari Pers Nasional.

*) Penulis adalah alumnus Ilmu Komunikasi Pascasarjana Universitas Indonesia (UI); Wakil Ketua Komisi Informasi Pusat 2011-2012.

BACA JUGA: