Oleh: Irfan Aulia Syaiful *)

Ini adalah sebuah renungan tentang cara memandang manusia Indonesia terhadap diri, tanah, dan masa depan keindonesiaan. Kajian ini terinspirasi dari beberapa pemikiran pemikir analisis eksistensial Indonesia yang merumuskan sebuah cara pikir dalam melihat manusia Indonesia. Sebuah tulisan menarik dalam melihat manusia Indonesia dibuat oleh Prof. Fuad Hassan saat menulis mengenai Psikologi Kita.

Di dalam tulisan tersebut, Fuad Hassan menulis mengenai miltstein, sebuah kebersamaan sebagai kita, yang memiliki arti inklusif, memiliki keterkaitan sebagai kita. Keterasingan sebagai kita membuat manusia mengalami kegagalan penyesuaian diri. Hal ini menjadikan manusia mengalami keterasingan dan berujung pada gangguan neurosis.

Selain tulisan Fuad Hassan, artikel ini juga terinspirasi oleh pemikiran psikolog sekaligus budayawan Pater M.A.W. Brouwer mengenai cahaya fenomenologis. Di dalam tulisannya, Brouwer mencoba melakukan analisis mengenai tubuh dan penghayatan terhadap tubuh. Hal ini menginspirasi tulisan ini dalam hal mengkaji penghayatan manusia Indonesia terhadap keindonesiaan sebagai sebuah asal. Sebuah identitas tanah yang kemudian terikat dalam sebuah ikatan penghayatan terhadap kita.

Ide dasar di dalam artikel ini adalah pertanyaan terhadap apa yang manusia Indonesia hayati terhadap diri, tanah, dan masa depannya. Artikel ini tidak menawarkan sebuah kaca mata tetapi lebih sebuah dialog mengenai penghayatan. Bahan yang dipakai untuk melakukan penulisan artikel adalah pengalaman subyektif penghayatan penulis selama melakukan pergulatan dan perjalanan di Indonesia. Hal yang juga menjadi bahan adalah diskusi mengenai cara pandang manusia Indonesia yang penulis ikuti.

Hal yang juga menjadi bahan adalah buku tentang Indonesia baik buku-buku lama seperti kajian kepulauan, atau kajian tentang cara pandang orang luar terhadap Indonesia. Artikel ini tentu saja memiliki keterbatasan dalam mengungkap seluruh kekayaan penghayatan, namun berupaya menawarkan sebuah pembacaan terbuka dan dialog menarik tentang diri, tanah, dan masa depan Indonesia.

Artikel ini memulai bahasan mengenai tanah. Hal ini dipilih sebab tanah mewakili umwelt, sebuah terminologi dalam analisa eksistensial sebagai apa yang tak bisa ditolak, sesuatu yang diberikan, sesuatu yang sebagaimana asalnya.

Manusia Indonesia telah memilih sebuah wilayah geografis tanah yang kini disebut Indonesia. Memahami tanah adalah memahami apa yang muncul dan menjadi khas dalam Indonesia. Sebagai bahan bantu dialog, coba simak apa yang terlintas dalam pemikiran anda mengenai tanah Indonesia? Lintasan pemikiran yang kerap muncul adalah subur, tanah kepulauan, semua ada, surga dunia.

Ini mengisyaratkan keberlimpahan, kekayaan, namun juga sebuah kewaspadaan mengenai potensi kehilangan. Simak argumen mengenai tanah ada semacam pesimisme mengenai tanah Indonesia yang tidak dimiliki bangsanya. Ia kaya tapi tak makmur. Ia kaya tapi tak menikmati kekayaan.

Pemahaman mengenai tanah ada tonasi positif sekaligus negatif, ia mirip bandul yang sewaktu bisa ke kiri dan sewaktu bisa ke kanan. Pemahaman ini coba ditulis sebagai sebuah pemahaman ambiguitas. Dalam khasanah budaya simbol ambiguitas ini muncul dalam banyak lagu dan tarian. Ia memuja sekaligus meratap.

Artikel ini mencoba memahami pemahaman ambiguitas ini dalam kacamata sebagai sebuah adaptasi terhadap ketidakpastian. Dalam kacamata eksistensial, adaptasi ini muncul karena tanah Indonesia kerap kali muncul dalam bentuk gempa dan pemunculan kekayaan bumi, atau letusan gunung berapi dan pemunculan kesuburan.

Dialog manusia Indonesia dengan tanah menimbulkan kesan adaptasi terhadap tanah, sebuah adaptasi terhadap tanah yang menyimpan misteri. Contoh terhadap hasil dialog ini adalah kekayaan batik. Batik adalah harmonisasi banyak corak, warna, dan simbol ambiguitas yang harus dipadukan menjadi harmoni.

Dialog kedua adalah diri. Diri dalam kacamata analisis eksistensial disebut mitwelt. Artikel ini memahami mitwelt sebagai pertemuan antar manusia. Manusia Indonesia tak memiliki satu tubuh dominan. Ia memiliki beragam tubuh yang bertemu dalam satu wilayah tanah dan imajinasi. Wilayah dan tanah dan imajinasi ini kemudian disebut Indonesia.

Sebagai manusia Indonesia, perjalanan anda memasuki pulau yang berbeda membuat Anda memiliki kesempatan pertemuan dengan manusia yang secara simultan memiliki persamaan dan perbedaan. Contoh paling anyar adalah pertemuan dalam pertandingan sepak bola final antara Persib dan Persipura. Di sana anda bertemu manusia yang memiliki persamaan suka dengan bola, tapi secara simultan memiliki perbedaan warna kulit, logat bicara, warna rambut dan sebagainya.

Contoh yang juga menarik mengenai pertemuan adalah cara para presiden memilih menteri, dalam setiap pemilihan menteri ada unsur yang mewakili pertemuan antar banyak elemen. Mulai dari keterwakilan fisik dalam arti suku dan pulau, hingga keterwakilan partai dan ormas. Dari dua contoh kita bisa lihat pertemuan dalam konteks Indonesia itu seperti pertemuan dalam corak batik. Titik yang dipadukan dalam harmoni.

Dialog ketiga adalah eigenwelt, tentang menjadi apa. Di dalam artikel ini menjadi apa dalam tanah Indonesia punya arti menjadi apa dalam waktu ke depan dari apa yang dilakukan di waktu hari ini. Pertanyaan mengenai masa depan Indonesia menurut artikel ini bisa digambarkan dari ide negara kepulauan atau negara maritim yang agraris.

Ide ini penulis kembali ungkap dari hasil bacaan mengenai Deklarasi Djuanda, tentang laut sebagai penghubung dan tentang kita manusia Indonesia yang terhubung melalui laut. Bila kita pahami, karakter laut ini punya hal yang sama dengan tanah Indonesia yang gelombangnya senantiasa bergerak. Tanah Indonesia punya pasir, salju, hutan. Sangat beragam dan berwarna, berkumpul jadi pulau-pulau besar dan pulau-pulau kecil.

Dari pulau ini terhubung dengan laut, maka menurut kajian ini secara eksistensial masa depan Indonesia adalah masa depan manusia dengan laut dan pulau. Kemampuan manusia Indonesia melakukan pertemuan melalui laut akan menentukan pertemuan di daratan. Dan di titik ini masa depan dimulai.

*) Penulis adalah Psikolog Politik dan Kebijakan Publik

BACA JUGA: