Oleh: Firdaus Cahyadi *)

Matahari belum bersinar, waktu pun masih menunjukkan pukul 05.00 WIB. Namun, kereta commuter line jurusan Jakarta sudah disesaki penumpang di Stasiun Bogor pagi itu. Sebagian besar penumpang kereta commuter line, baik yang duduk maupun berdiri, asyik dengan perangkat smartphone miliknya. Ada yang bermain game, berselancar di media sosial hingga membaca artikel di internet.

Gambaran suasana di kereta commuter line pagi itu sering kita temui. Pertumbuhan pengguna internet di Indonesia memang mencengangkan. Dalam tahun 2009, menurut Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), pengguna internet di Indonesia hanya berkisar 30 juta. Namun pada tahun 2013 sudah meningkat tajam menjadi 71,19 juta. Tak heran berbagai website dan aplikasi di internet pun bermunculan.

Di satu sisi, munculnya berbagai website dan aplikasi di internet memudahkan warga untuk mengakses informasi, pengetahuan dan berinteraksi baik secara sosial maupun ekonomi. Namun, di sisi lain maraknya berbagai website dan aplikasi itu menimbulkan berbagai persoalan baru. Setidaknya ada tiga persoalan penting yang terjadi di Indonesia terkait dengan internet.

Pertama, perlindungan data pribadi. Masifnya penggunaan teknologi internet dalam menunjang pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari merupakan tantangan tersendiri dalam hal perlindungan hak atas privasi. Hal ini disebabkan karena peredaran data pribadi dalam bentuk digital semakin meningkat dan terkumpul dalam skala besar dari berbagai bidang seperti layanan kesehatan, pendidikan, transportasi dan perekonomian.

Konsekuensi pengumpulan data pribadi dalam skala besar ini adalah maraknya kebocoran data pribadi yang digunakan untuk strategi pemasaran produk dan bahkan aksi penipuan. Hal ini diperparah dengan minimnya perlindungan akan hak privasi masyarakat karena kekosongan hukum terkait prosedur dan perlindungan hukum data pribadi yang jelas.

Beberapa waktu yang lalu misalnya, seorang pengguna ojek online mendapat ´teror´ dari pengemudinya setelah pengguna itu melakukan komplain kepada perusahaan terhadap pelayanan pengemudi via pesan di twitter. Hal itu terjadi karena pihak perusahaan membuka data pengguna ojek online yang komplain tersebut ke pengemudi.

Di dalam UU ITE memang sudah dicantumkan mengenai pengaturan data pribadi ini. Pasal 26 UU ITE disebutkan bahwa setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan orang yang bersangkutan kecuali ditentukan lain oleh Peraturan Perundang-undangan.

Dengan rumusan pasal 26 UU ITE tersebut perlindungan data pribadi belum begitu kuat. Seharusnya penggunaan informasi dan data pribadi selain harus memperoleh persetujuan orang yang bersangkutan juga harus diatur dalam Undang-undang.

Kedua, pemblokiran konten di internet. Beberapa waktu terakhir ini sering terjadi pemblokiran internet yang dilakukan dengan mengatasnamakan pemberantasan terorisme, pelanggaran hak cipta dan pornografi. Isu pemblokiran di internet ini berpotensi akan semakin mengemuka dengan munculnya berbagai perjanjian perdagangan bebas yang mensyaratkan perlindungan hak cipta secara represif di internet, misalnya pada perjanjian TPP (Trans-Pacific Partnership).

Saat ini di Indonesia, dalam praktiknya, kebijakan pemblokiran dan/atau penapisan konten internet di Indonesia dilakukan oleh Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) setelah mendapat saran dari panel yang mengawasi konten negatif di internet.

Pertanyaannya kemudian adalah bahwa panel pengawas bukanlah mandat dari Undang-Undang (UU). Padahal, seharusnya segala pembatasan hak warga negara, termasuk mengakses internet harus diatur dalam UU yang pembahasannya melibatkan para wakil rakyat. Adalah sebuah ironi, bila pembatasan hak masyarakat diatur dalam sebuah aturan yang tidak melibatkan para wakil rakyat.

Selain itu, mekanisme pemblokiran dan pemulihan konten yang diblokir juga tidak jelas. Akibatnya, praktik pemblokiran konten internet terlampau lebih luas dari sasaran yang hendak dituju (over blocking). Sudah sering kita mendengar kabar sebuah konten internet di website tiba-tiba tidak bisa diakses tanpa jelas alasan mengapa konten itu diblokir dan bagaimana mekanisme pemulihannya.

Ketiga, pencemaran nama baik di internet. Sejak muncul pencemaran nama baik di internet dalam UU ITE pada tahun 2008 hingga tahun 2016 ini sudah mencapai ratusan orang. Banyaknya korban yang berjatuhan tak bisa dilepaskan dari lenturnya definisi pencemaran nama baik di UU ITE.

Adalah Ervani Emi Handayani, seorang ibu rumah tangga di Yogyakarta. Ia didakwa melakukan pencemaran nama baik melalui internet hanya karena ia posting status di facebook karena mengkritik perusahaan tempat suaminya bekerja. Padahal ia hanya menggunakan kata ´lebay´ dalam postingannya di facebook itu. Bayangkan hanya dengan kata ´lebay´ saja seseorang dapat didakwa dengan pasal karet pencemaran nama baik di UU ITE.

Banyaknya korban pasal karet pencemaran nama baik itu telah menyebabkan ketakutan bagi pengguna internet untuk berekspresi. Para pengguna internet pun melakukan swa-sensor atau menyensor diri mereka sendiri. Bukan hanya itu, begitu mudahnya pasal karet pencemaran nama baik menjerat seseorang juga berdampak pada media massa terutama media elektronik.

Media massa elektronik kini sedang menuju krisis narasumber untuk diwawancarai. Para narasumber menahan diri untuk mengemukakan pendapatnya karena ketakutan terjerat pasal karet pencemaran nama baik di UU ITE.

Pasal karet di UU ITE itu kini telah menjadi alat membungkam perbedaan pendapat. Bila dulu, di era Orde Baru, pembungkaman dilakukan terhadap media massa maka, kini pembungkaman itu dilakukan terhadap narasumber media massa.

Dalam waktu dekat ini, pemerintah dan DPR hendak membahas revisi UU ITE. Pertanyaan berikutnya adalah apakah ketiga persoalan krusial internet di Indonesia itu dimasukkan dalam revisi UU ITE? Sayangnya tidak.

Draf pemerintah terkait dengan revisi UU ITE hanya mengurangi ancaman hukuman dalam pasal karet pencemaran nama baik di internet. Artinya, kriminalisasi para pengguna internet masih terbuka lebar. Padahal pasal karet pencemaran nama baik di UU ITE harusnya dihapus karena soal itu sudah diatur dalam KUHP. Sementara dua persoalan lainnya, yaitu perlindungan data pribadi dan pemblokiran tidak dimasukkan dalam revisi UU ITE sama sekali.

Di satu sisi memang kita harus mengapresiasi pemerintah yang pada akhirnya merevisi UU ITE setelah sekian lama mendapatkan kritik dari masyarakat. Namun, di sisi lain, bisa jadi revisi UU ITE ini hanya jebakan saja karena dalam draf-nya masih mengakomodir pasal karet pencemaran nama baik dan tidak memasukkan soal perlindungan data pribadi serta pemblokiran di internet. Nampaknya, jalan masih panjang untuk mendemokratisasikan internet di negeri ini.

*) Penulis adalah Executive Director OneWorld-Indonesia

BACA JUGA: