Oleh: Eka Martiana Wulansari *)

Semaraknya gerakan LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender) bukanlah semata isu biasa, tetapi isu yang sengaja dihembuskan agar masyarakat Indonesia bisa menerima kelainan ini sebagai kewajaran. LGBT dapat dipahami dari berbagai sudut pandang baik dipandang berdasarkan nilai-nilai moral, budaya dan agama, juga dapat dipandang dari sisi ilmu pengetahuan mencakup biologi, psikologi dan sosiologi.

Namun, secara keseluruhan LGBT tidak dapat diabaikan untuk dipahami sebagai sebuah gerakan sosial. Walaupun dapat dikatakan tidak ada sebuah organisasi atau sebuah entitas tertentu yang beranggotakan individu dengan latar belakang perilaku lesbian, gay, biseksual dan transgender atau transeksual. Artinya secara gerakan, kelompok LGBT dapat dikatakan berada di dalam organisasi-organisasi yang terpisah. Sebagai contoh di Indonesia kelompok gay diwakili oleh sebuah organisasi besar yang menamakan dirinya Gaya Nusantara.

LGBT tidak dapat dipisahkan dengan gerakan yang mengusung konsep kesetaraan gender. Sehingga secara epistemologis dapat dikatakan gerakan LGBT adalah produk langsung dari konsep gender itu sendiri. Dalam konsep gender, individu tidak saja dikenal sebagai laki-laki dan perempuan yang mewakili jenis kelamin.

Namun individu dipahami sebagai bentukan dari sebuah konstruk sosial, sehingga dalam konsep gender dikenal ide masculin, feminime dan others. Seseorang bisa saja memiliki peran gender maskulin walaupun jenis kelaminnya adalah perempuan, demikian dan seterusnya.

Kajian konsep gender tidak dapat dipisahkan juga dari kajian gerakan feminisme yang tidak diragukan lagi salah satu tujuannya adalah memperjuangkan kesetaraan gender. Namun banyak yang tidak menyadari, bahwa memperjuangkan kesetaraan gender tidak berarti memperjuangkan keadilan bagi kaum perempuan, karena keadilan tidak selalu bermakna menyamaratakan.

Definisi gender yang dimaksud juga tidak merujuk pada seks atau jenis kelamin biologis tertentu. Gender dalam pandangan feminis adalah hasil konstruksi sosial yang sifatnya tidak permanen. Para feminis telah berhasil meruntuhkan konsep seksualitas yang telah berabad-abad berlaku dengan memperkenalkan jenis kelamin baru yaitu jenis kelamin sosial.

Setelah konsep gender diperkenalkan, maka orientasi seksual seperti biseksual dan homoseksual harus diakui oleh negara. Hal ini karena perbedaan orientasi seksual adalah konsekuensi logis dari pilihan atau identitas gender seseorang. Saat ini, hampir seluruh negara-negara Barat telah melegalkan pernikahan sesama jenis dan memberikan sanksi hukum bagi mereka yang menentangnya.

LGBT merupakan sebuah gerakan yang sedang berjuang untuk mendapatkan pengakuan dari berbagai sisi dan cara pandang bahwa mereka bukan kelompok yang dapat dikatakan memiliki penyimpangan perilaku. Terdapat 3 argumen pendukung gay politics yang menyatakan bahwa: 1) homoseksual adalah diturunkan secara biologis; 2) homoseksual tidak dapat diubah secara psikologi; dan 3) homoseksual adalah hal yang normal secara sosiologi.

Ketika mereka menawarkan argumentasinya tersebut, mereka menawarkan berbagai kajian terkait untuk mendukung argumen tersebut. Maka berbagai pandangan dibangun diatas paradigma yang sangat kental dengan prinsip relativismenya, sehingga akan banyak menimbulkan pandangan pro dan kontra.

Komunitas LGBT merupakan komunitas yang secara sadar sepenuhnya bahwa orientasi seksual mereka adalah kepada sesama jenis. Mereka menyukai pasangannya karena sesama jenis. Seiring dengan kesadaran itu tentu saja melahirkan konsekuensi-konsekuensi yang harus mereka tanggung.

Keberbedaan yang mereka miliki seringkali dipandang negatif dan diidentikkan dengan hal-hal yang buruk oleh masyarakat. Dalam menyikapi hal ini mereka berkeyakinan bahwa diri mereka adalah seorang yang menyukai sesama jenis itu bukanlah sesuatu yang salah. Seorang penyuka sesama jenis merupakan identitas diri mereka yang sesungguhnya dan sudah seharusnyalah masyarakat mengakuinya.

Bayangan masa depan mereka tentu sama dengan manusia pada umumnya untuk mendapatkan kebahagiaan dan hidup berkeluarga. Berkeluarga berarti hidup bersama dengan orang yang mereka cintai. Pendirian mereka untuk memperjuangkan identitas sebagai LGBT bukan berarti mereka menyetujui seks bebas. Hidup berkeluarga oleh kebanyakan orang adalah menjalankan fungsi reproduksi dan mendapatkan keturunan.

Satu hal yang terlupakan bahwa yang diutamakan dalam hidup berkeluarga, yaitu fungsi berbagi kasih sayang dengan orang yang dicintai dan harapan mendapat kebahagiaan dengan hidup bersama tersebut. Bila yang diutamakan adalah fungsi reproduksi, tentu tidak dapat menjamin terwujudnya kebahagiaan.

Dan seandainya mereka menginginkan keturunan (anak), itu tentu saja hal yang sangat mungkin terjadi walaupun anak itu tidak lahir dan memang tidak harus lahir dari rahim mereka sendiri.

KONSEP LGBT MENURUT ISLAM - Penduduk di wilayah Indonesia mayoritas beragama Islam. Secara garis besar pandangan ajaran Islam mempengaruhi cara pandang masalah-masalah sosial yang dihadapi antara lain fenomena LGBT. Dalam pandangan Islam, Allah SWT menciptakan manusia tidak hanya berjenis kelamin laki-laki dan perempuan.

Tetapi ternyata ada juga "jenis kelamin ketiga". Jenis ini terkait dengan kondisi fisik, psikis dan orientasi seksual. Kita mengenal ada kelompok lesbian, gay, biseksual dan transsexual (LGBT). 

Dalam fikih, praktik homoseksual dan lesbian mudah dicari rujukannya. Seks sesama jenis ini sering disebut al-faahisyah (dosa besar) yang sangat menjijikkan dan bertentangan dengan kodrat dan tabiat manusia. Kalau ditelusuri secara gramatikal, tidak ada perbedaan penggunaan kata antara homoseksual dan lesbian.

Dalam bahasa arab kedua-duanya dinamakan al-liwath. Pelakunya dinamakan al-luthiy. Namun Imam Al-Mawardi dalam kitabnya al-Haw danal-Kabir menyebut homoseksual dengan liwath, dan lesbian dengan sihaq atau musaahaqah. Imam Al-Mawardi berkata: "Penetapan hukum haramnya praktik homoseksual menjadi ijma", dan itu diperkuat oleh nash-nash Al-Quran dan Al-Hadits."

Ibnu Qudamah Al-Maqdisi dalam Al-Mughni juga menyebutkan, bahwa penetapan hukum haramnya praktik homoseksual adalah ijma’ (kesepakatan) ulama, berdasarkan nash-nash Al-Quran dan Hadis. Fikih, di samping membahas perilaku seks sejenis ini dalam kaitan dengan hukuman (bab Al-Hadd), juga melibatkannya dalam bahasan soal tata cara salat jamaah, masalah peradilan dan pemerintahan.

Pada pokoknya, fikih memang menegaskan bahwa manusia hanya memiliki dua jenis kelamin, yaitu laki-laki dengan penis (zakar) dan perempuan dengan vagina (farji). Fikih juga mengenal istilah khuntsa, yang kalau diartikan menurut kosakata bahasa Arab adalah seorang waria atau banci. Pada dasarnya, istilah khuntsa ini menempel pada seorang yang secara fisik-biologis laki-laki, tetapi mempunyai naluri perempuan.

Dalam kamus Al-Munjid dan Lisan Al-Arab, kata-kata khuntsa diartikan sebagai seseorang yang memiliki anggota kelamin laki-laki dan perempuan sekaligus. Bahasa medis mengenalnya dengan istilah hermaphrodite atau orang yang berkelamin ganda. Jenis kelompok ini, yang populer juga dengan sebutan waria, dimasukkan dalam kelompok transeksual, yaitu seseorang yang memiliki fisik berbeda dengan keadaan jiwanya.

Istilah ini dikenakan pada seseorang yang secara fisik laki-laki, tapi berdandan dan berperilaku perempuan. Begitupun sebaliknya, pada kenyataannya ada sesorang yang secara fisik perempuan, tapi berpenampilan laki-laki. Dalam hal ini, ulama fikih memilahnya menjadi dua jenis.

Pertama, yang disebut khuntsa musykil, yaitu seseorang yang memiliki penis dan vagina secara sekaligus pada bagian luar (hermaprodite). Jenis homoseksual yang seperti ini memang sangat langka. Kedua, yang disebut khuntsa ghairu musykil, yaitu seseorang yang sudah jelas dihukumi sebagai laki-laki atau perempuan.

Untuk menentukan kedua jenis ini, maka yang menjadi penentu secara fisik adalah bentuk kelamin dalamnya. Jika di dalam tubuhnya terdapat rahim, maka ia dihukumi sebagai perempuan. Sebaliknya, jika pada kelamin dalam tidak ada rahim, maka ia dihukumi sebagai laki-laki.

Tipe seseorang yang berpenis dan tidak punya rahim inilah yang bisa disebut dengan gay. Istilah gay biasanya merujuk pada homoseksual laki-laki. Gay memang secara fisik berpenampilan laki-laki. Dalam penelusuran terhadap kitab-kitab klasik, tipe homoseks telah menjadi kajian khusus. Misalnya, kita baca dalam kitab fikih klasik Al-Iqna´, karya Syarbini Khathib, menjelaskan bahwa seseorang yang bertipe khuntsa musykil tidak sah bermakmum salat, baik kepada wanita maupun laki-laki.

Berbeda dengan khuntsa yang sudah jelas keperempuanannya, maka boleh bermakmum dan mengimami salat perempuan normal. Demikian pula, khuntsa yang sudah jelas kelaki-lakiannya boleh bermakmum dan mengimami shalat laki-laki normal.

Di dalam fikih, biasa diajukan sebuah kasus, misalnya bagaimana hukum seorang laki-laki normal yang bermakmum pada seseorang khuntsa yang dikira laki-laki tulen. Setelah selesai, baru diketahui ternyata imamnya itu khuntsa yang lebih cenderung ke kewanitaan. Menurut Zakariya Al-Anshari dan pendapat yang lebih kuat lainnya menyatakan, bahwa hukum salat bermakmum itu sah saja, serta tidak perlu diulangi salatnya.

Dalam kitab Nihayat al-Zain, karya Imam Nawawi, tidak ada pemilahan soal khuntsa ini. Lagi-lagi, pembahasannya dikaitkan dengan salat jamaah. Salat jamaah, menurut pendapat sebagian besar ulama, hukumnya adalah fardhu kifayah. Ada juga pendapat Mawardi dan Rafi’i yang menetapkan hukumnya sunnah mu’akkad.

Tetapi hukum ini berlaku hanya bagi laki-laki. Sedang khuntsa dan wanita tidak ada pembebanan hukum. Bagi khuntsa lebih utama salat berjamaah di rumah daripada di masjid. Kedudukan khuntsa dalam konteks ini disamakan dengan hukum yang diberlakukan bagi wanita.

Khuntsa juga didudukkan sama dengan anak laki-laki tampan yang tidak dianjurkan untuk salat jamaah di masjid. Mengajak anak-anak ke masjid sangat dianjurkan, kecuali anak laki-laki yang tampan, supaya tidak menimbulkan fitnah.

Yang membikin ulama fikih saling berseberangan lagi adalah menyangkut sosok gay yang nota bene bernaluri atau berkecenderungan perempuan. Kalau dikembalikan pada pengertian dasar homoseksual, sebenarnya adalah seseorang yang bangkit berahinya dengan melihat, mengkhayal, dan melakukan aktivitas seksualnya dengan sesama jenis.

Secara psikologis, homoseksual ini berkait dengan orientasi dan aktivitas seksual. Orientasi seksual mengacu pada objek dari rangsangan seksual seseorang. Sedangkan, aktivitas seksual adalah senggama itu sendiri dengan berbagai variasinya.

Para ulama fikih terbelah menjadi dua pendapat yang berbeda. Sebagian bersiteguh bahwa naluri gay itu sesungguhnya adalah hasil bentukan lingkungan. Solusinya hanya melalui terapi psikologis agar naluri yang bersangkutan bisa berubah. Sebagian lagi berpendapat, jika memang sudah semenjak kecil dan sudah ´given´ naluri gay itu, maka tidak ada persoalan serius.

Karena itu, hukumnya halal bila yang bersangkutan misalnya, ingin melakukan ganti kelamin. Cara ini bertujuan untuk menghilangkan kesamaran identitas gendernya atau kejelasan anatomi seksnya. Sejatinya, telaah fikih mengenai homoseksualitas berpangkal pada hakikat orientasi seksual itu sendiri. Apabila orientasi seksual disebabkan oleh faktor-faktor yang bersifat biologis, seperti ketidakseimbangan susunan hormonal atau perbedaan kromosom lainnya, maka bila seseorang menjadi gay, lesbian atau lainnya, sifatnya sangat kodrati.

Dalam hal ini, tidak ada keputusan apa-apa, kecuali melihatnya dalam perspektif kekuasaan Allah SWT. Kecuali, ada temuan baru yang mampu memengaruhi susunan hormonal seseorang sehingga orientasi seksualnya berubah.

Demikian juga apabila orientasi seksual disebabkan oleh faktor nonbiologis, misalnya sosial, budaya, politik ataupun lainnya, maka ini sama dengan gender. Perubahan orientasi seksual dalam kasus ini bisa diambil kebijakan, mengingat bukan karena hal-hal yang adikodrati.

SANKSI ISLAM ATAS PERILAKU HOMOSEKSUAL - Dalam kitab-kitab fikih, tindakan hukum terhadap homoseks atau penyimpangan seks lainnya tidak dibahas secara khusus. Kasus-kasus yang berhubungan dengan sanksi hukum terhadap kaum homoseks, baik yang dilakukan dengan paksa maupun suka sama suka, berada dalam pembahasan umum kasus-kasus pelanggaran asusila. Meskipun secara umum disepakati bahwa tindakan homoseks dilarang, bentuk sanksi hukumnya tetap kontroversial.

Para ahli fikih umumnya menyamakan perbuatan homoseksual dengan perbuatan zina.Karena itu, segala implikasi hukum yang berlaku pada zina juga berlaku pada kasus homoseksual.Bahkan pembuktian hukum pun mengacu pada kasus-kasus yang terjadi pada zina.

Tiga madzhab besar fikih, yaitu Syafi’i, Maliki dan Hambali berpendapat bahwa saksi buat kasus homoseks sama dengan saksi pada kasus zina, yaitu empat orang laki-laki yang adil dan dipercaya. Ini kalau ada pengakuan dari pelaku atau korban. Namun pendapat ini tak disepakati oleh madzhab Hanafi yang membedakan kasus homoseksual dengan kasus zina.

Dalam kasus homoseks, menurut madzhab yang banyak dianut di dunia Arab ini, kesaksian bagi tindakan homoseksual tak lain disamakan dengan zina. Soalnya, kemudharatan (bahaya) yang terjadi akibat homoseks lebih kecil ketimbang perbuatan zina. Oleh karena itu, menurut madzhab Hanafi: "Kesaksiannya pun harus lebih sedikit, yaitu hanya satu orang saksi yang adil dan dipercaya."

Madzhab Hanafi pun tidak memasukkan perbuatan homoseksual sebagai zina. Sebabnya, menurut madzhab Hanafi, perbuatan homoseksual tidak memerlukan akad resmi seperti dalam pernikahan lazim. Jadi hukumnya tidak pasti, dan perbuatannya juga tidak membatalkan haji dan puasa.

Selain itu, argumen yang dikemukakan adalah, bahwa kerugian yang diakibatkan oleh hukuman (jarimah) homoseksual lebih "ringan" daripada kerugian yang diakibatkan hukuman terhadap zina. Perbuatan homoseksual tidak menimbulkan keturunan, tidak demikian dengan perbuatan zina. Hubungan kelamin sejenis tidak menimbulkan masuknya sperma seperti pada kasus zina. Oleh karena itu, paling-paling dihukum ta´zir, semisal dipenjara.

Bagaimana pula dengan Hadis: "Jika kalian menemukan orang yang melakukan hubungan seksual sejenis seperti kaum Nabi Luth, bunuhlah keduanya." (Hadis riwayat Abu Dawud, Turmudzi dan Ibnu Majah). Hadis ini, seperti dijelaskan oleh Al-Zaila’i, masih banyak menyimpan perdebatan. Abu Hanifah sendiri menolak menggunakan Hadis ini. Para ahli fikih juga tak sepakat terhadap sanksi hukum yang patut dijatuhkan kepada pelaku tindak homoseksual.

Sekurang-kurangnya, ada tiga jenis sanksi hukum yang ditawarkan dalam kitab-kitab fikih. Pertama, pelaku tindakan homoseksual seharusnya dibunuh. Kedua, dikenakan hukuman pidana (had) sebagaimana had zina, yaitu jika pelakunya belum kawin, maka ia harus dicambuk. Tetapi, jika pelakunya orang yang pernah atau sudah kawin, maka ia dikenakan hukuman rajam sampai mati. Ketiga, dipenjara (ta´zir) dalam waktu yang telah ditentukan oleh hakim.

Imam Malik bin Anas, pendiri madzhab Maliki sudah mengingatkan supaya berhati-hati dan tidak main hakim sendiri dalam memperlakukan kaum homoseksual.

HAK ASASI LGBT DI INDONESIA - Gambaran umum tentang hak asasi Kaum LGBT di Indonesia, hukum nasional dalam arti luas tidak memberi dukungan bagi kelompok LGBT walaupun homoseksualitas sendiri tidak ditetapkan sebagai tindak pidana. Baik perkawinan maupun adopsi oleh orang LGBT tidak diperkenankan.

Tidak ada undang-undang anti-diskriminasi yang secara tegas berkaitan dengan orientasi seksual atau identitas gender. Hukum Indonesia hanya mengakui keberadaan gender laki-laki dan perempuan saja, sehingga orang transgender yang tidak memilih untuk menjalani operasi perubahan kelamin, dapat mengalami masalah dalam pengurusan dokumen identitas dan hal lain yang terkait.

Diskriminasi terhadap individu LGBT di tempat kerja belum mendapatkan perhatian yang berarti. Belum ada undang-undang anti-diskriminasi maupun kebijakan atau pernyataan yang jelas sehubungan dengan orang-orang LGBT di tempat kerja. Wanita lesbian dan pria gay yang gender-conforming (menyesuaikan peran gender) dapat menghindari diskriminasi dengan merahasiakan perilaku mereka.

Sebagian besar diskriminasi diarahkan pada kelompok waria yang juga mengalami masalah dengan KTP, baik dalam pengurusannya maupun karena di KTP tidak tercantum gender pilihan mereka. Masalah-masalah ini dapat membawa dampak lanjutan pada kesempatan mendapatkan tempat tinggal, dengan kelompok waria menghadapi berbagai tantangan dalam mendapatkan pekerjaan tetap, kartu identitas dan berhadapan dengan prasangka buruk.

Kurangnya pendidikan tentang seks dan seksualitas di lingkungan sekolah pada umumnya dan soal-soal yang terkait dengan seksualitas LGBT, dapat berdampak buruk pada rasa percaya diri pemuda LGBT, belum lagi karena kurangnya informasi dan bimbingan dari orang tua.

Ada beberapa organisasi LGBT dan LSM yang menyediakan sumber daya dan menyelenggarakan berbagai acara untuk mengatasi kesenjangan tersebut. Bullying (penggertakan disertai perlakuan sangat merendahkan) terhadap mahasiswa LGBT juga menjadi hal yang memprihatinkan.

Informasi dan sumber daya tentang kesehatan dan kesejahteraan kelompok LGBT di Indonesia terutama dikaitkan dengan HIV dan penyakit menular seksual (PMS). Layanan kesehatan seksual dan reproduksi ditujukan kepada orang-orang heteroseksual.

Padahal ada kebutuhan akan layanan konseling dan perhatian terhadap permasalahan psikoseksual dan kesejahteraan seksual, juga kebutuhan akan informasi dan dukungan bagi kelompok transgender sehubungan dengan terapi hormon, serta kebutuhan untuk memperluas dan meningkatkan pelatihan petugas kesehatan agar lebih peka terhadap permasalahan dan orang-orang LGBT.

Keluarga merupakan sumber pengaruh terbesar dalam kehidupan kelompok LGBT, namun penerimaan oleh pihak keluarga dibatasi oleh tekanan budaya yang kuat untuk menikah secara heteroseksual dan mendirikan keluarga, demikian juga pengaruh dari agama. Perkawinan semu adalah hal yang umum.

Program pembinaan mata pencaharian dapat memberi peluang bagi orang individu LGBT untuk hidup secara mandiri, lepas dari keluarganya.Untuk meningkatkan penerimaan lingkungan sosial budaya terhadap kelompok LGBT, kampanye kesadaran umum dan kerjasama dengan pihak-pihak yang mendukung, dianggap sebagai strategi utama.

Liputan media massa di Indonesia tentang permasalahan LGBT cukup bervariasi, mulai dari mendukung hingga bermusuhan. Diperlukan pelatihan aktivis LGBT mengenai urusan media dan juga pelatihan bagi pekerja media mengenai permasalahan LGBT, disertai dengan pendekatan lebih strategis untuk hubungan media.

Sementara itu, teknologi informasi dan komunikasi digunakan oleh individu maupun organisasi LGBT untuk menyebarkan informasi dan mengembangkan serta menampilkan materi budaya, meskipun menghadapi beberapa masalah terkait dengan pemblokiran situs web oleh penyedia jasa internet atas desakan pemerintah.Media ini menunjukkan potensi untuk mendorong pengembangan komunitas LGBT.

Sejumlah Peraturan Daerah melarang homoseksualitas sebagai tindak pidana karena dipandang sebagai perbuatan yang tidak bermoral, meskipun empat dari lima Peraturan Daerah yang terkait tidak secara tegas mengatur hukumannya. Kebijakan yang terkait dengan hak-hak KaumLGBT cukup bervariasi, dengan adanya sejumlah komisi nasional yang mengakui dan memberikan dukungan bagi kelompok LGBT, serta mengungkapkan dukungan resmi bagi kelompok LGBT karena wabah HIV.

Namun secara umum pihak kepolisian gagal melindungi kelompok LGBT dari berbagai serangan oleh para aktivis Islamis garis keras dan preman. Sementara orang LGBT yang tergolong gelandangan karena berkeliaran di tempat umum dapat menjadi korban perlakuan semena-mena dan pemerasan yang dilakukan oleh petugas pemerintahan.

Sikap sosial budaya terhadap beragam orientasi seksual dan identitas gender mencerminkan kontras antara mereka yang bersikap progresif dan bersedia menerima dengan populasi jauh lebih besar yang biasanya tidak memiliki pengetahuan tentang masalah-masalah tersebut. Orang transgender mempunyai visibilitas yang lebih besar.

Sebagian besar masyarakat tidak mengenal orang LGBT yang membuka diri. Orang dengan orientasi seksual atau identitas gender yang beragam mungkin mendapatkan sekedar toleransi dari pada penerimaan, meskipun hal ini hampir mustahil dapat diharapkan dari anggota keluarga. Populasi Indonesia sebagian besar adalah pemeluk agama Islam, Katholik dan Kristen.

Pada umumnya ajaran agama-agama ini ditafsirkan secara konservatif sehingga tidak setuju homoseksualitas dan mempengaruhi pandangan masyarakat secara keseluruhan dengan cara yang negatif, meskipun ada sejumlah individu religius yang lebih progresif dan bersikap menerima.

Tercatat ada berbagai perbedaan dalam pengembangan komunitas dan kegiatan Kaum LGBT di tingkat daerah, dengan tantangan lebih besar dihadapi di provinsi-provinsi yang konservatif karena dominasi ajaran Islam dan Kristen. Kegiatan pengorganisasian juga lebih mudah di kota besar dan menghadapi tantangan lebih besar di daerah yang penduduknya jarang, sehingga timbul kesulitan dalam hal komunikasi dan transportasi.

Khusus di provinsi Aceh, kegiatan pengorganisasian LGBT menghadapi tantangan besar karena hak khusus provinsi tersebut untuk menetapkan hukum berdasarkan syariah, sehingga menimbulkan kesulitan secara umum dalam mengangkat permasalahan LGBT dan besar kemungkinan pemberlakuan Perda setempat yang bersifat anti-LGBT.

LGBT dipersepsikan sebagai masalah pada ranah agama, keyakinan, budaya dan moralitas. Kaum LGBTdi Indonesia akan menghadapi tantangan hukum dan prasangka yang tidak dialami oleh penduduk non-LGBT. Adat istiadat tradisional kurang menyetujui homoseksualitas dan berlintas-busana, yang berdampak kepada kebijakan publik.

Indonesia memang tidak secara tertulis mengkriminalisasikankaumLGBT. Namun tak ada pula peraturan perundang-undangan yang menerangkan bahwa Indonesia melindungi hak-hak LGBT. Sementara tak sedikit dijumpai kasus-kasus diskriminasi dan homophobic bullying di berbagai ruang publik. Selain itu, cara pandang negara yang majemuk terhadap kaum LGBT di Indonesia masih diwarnai oleh pro dan kontra dan belum ada kesepakatan politik hukum terhadap kaum LGBT.

*) Penulis adalah Perancang Undang-Undang Bidang Politik Hukum dan HAM, Badan Keahlian Dewan (BKD) DPR RI dan Tenaga Pengajar Fakultas Hukum, Universitas Pamulang (UNPAM).

BACA JUGA: