Oleh: Laily Fitriani, SH. MH *)

Indonesia sebagai negara yang memiliki landasan dasar negara Pancasila, pemahaman atas hak asasi manusia (HAM) dipandang penting, yaitu dengan menempatkan manusia sesuai dengan kodrat, harkat, dan martabatnya. Martabat manusia adalah kedudukan luhur manusia sebagai mahluk Tuhan di dunia, karena manusia adalah mahluk yang berakal budi dan memiliki harkat berupa kemampuan-kemampuan tadi, dan dengan harkatnya yang tinggi memberi manusia martabat yang luhur .

Berdasarkan Universal Declaration of Human Rights (1948), perwakilan dari berbagai negara sepakat untuk mendukung hak-hak yang terdapat di dalamnya "as a common standard of achievement for all peoples and all nations". Dan pada tahun 1976, International Convenant on Economic, Social, and Cultural Rights dan International Convenant on Civil and Political Rights yang disetujui Majelis Umum PBB pada tahun 1976, dinyatakan berlaku.

Dasar hukum penegakan HAM di Indonesia dapat dilihat dari ketentuan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Selain itu termasuk juga Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights), Konvenan Internasional Hak Sipil-Politik (International Covenant on Civil and Political Rights) dan Konvenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, Budaya (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights) yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia.

Berbagai ketentuan itu menjadi amanat bagi negara untuk wajib menghormati (to respect), memenuhi (to fulfill) dan melindungi (to protect) hak-hak asasi (hak paling dasar) rakyat Indonesia, yaitu akses kepada tanah, air, udara, pangan, lapangan kerja .

Apa yang dimaksud dengan pelanggaran hak asasi manusia, hingga saat ini belum ada satu definisi yang diterima secara umum. Meski belum dimiliki definisi yang disepakati secara umum, namun dikalangan para ahli terdapat semacam kesepakatan umum dalam mendefinisikan pelanggaran hak asasi manusia tersebut sebagai "pelanggaran terhadap kewajiban negara yang lahir dari instrumen-instrumen internasional hak asasi manusia".

Pelanggaran negara terhadap kewajibannya dapat dilakukan baik dengan perbuatan sendiri (acts of commission), ataupun atas kelalaian sendiri. Dalam rumusan lain, pelanggaran HAM adalah "tindakan kelalaian negara terhadap norma yang belum di pidana dalam hukum pidana internasional tetapi merupakan norma hak asasi manusia yang diakui secara internasional".

Kekerasan di Indonesia

Kekerasan di Indonesia tak hanya terjadi secara vertikal, yakni dilakukan negara kepada warga negaranya, tetapi terjadi pula secara horisontal, yakni warga negara melakukan kekerasan pada warga negara lainnya. Kedua model kekerasan itu harus dicegah dengan penumbuhan budaya damai. Penumbuhan budaya damai harus menjadi agenda bangsa. Semua harus mencari jalan untuk menumbuhkan budaya damai, sehingga HAM bisa tumbuh dalam kedamaian dan ketenteraman, bukan di tengah-tengah budaya kekerasan yang seolah-olah menjadi budaya bangsa.

Setiap pejabat pemerintah sudah sepatutnya memiliki pengetahuan dan persepsi yang sama tentang HAM, terutama yang berkaitan dengan urusan dan tanggung jawab pemerintah di bidang penegakan HAM seperti diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Ketentuan itu menyatakan bahwa urusan dan tanggung jawab pemerintah di bidang HAM meliputi aspek perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM. Namun, penegakan HAM masih sulit dilakukan.
    
Pembunuhan terhadap tokoh Papua Theys Hiyo Eluay sebagai contoh bahwa Cycle of volence masih terus berlanjut. Dalam hal ini sinyalemen tentang political retaliation melalui instrumen HAM terdengar sangat tidak berdasar sehingga sukar untuk membayangkan bentuk political retaliation yang terjadi dan dilakukan oleh pembela HAM karena mereka tidak dalam posisi yang memungkinkan. Kekuasaan tidak ada dalam genggaman pembela HAM dan keputusan (politik) juga jauh dari jangkauan pembela HAM .


Definisi Pembela HAM

Dalam Deklarasi tentang Pembela HAM, Pembela HAM atau  Human Rights Defender dideskripsikan sebagai perorangan, kelompok ataupun lembaga yang berkontribusi terhadap penghapusan secara efektif pelanggaran HAM dan kebebasan dasar manusia. Tidak dalam arti profesi, pengertian tersebut lebih kepada keterikatannya dengan pengertian HAM sebagaimana yang dirumuskan dalam Deklarasi Universal HAM maupun berbagai kovenan internasional tentang hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya.

Situs resmi Perwakilan Khusus Sekretaris Jenderal PBB masalah Pembela HAM (Special Representation of the secretary general on Human Right Defender) menyebut Human Right Defender sebagai istilah yang digunakan menunjuk pada orang yang secara individu maupun bersama pihak lain bertindak untuk memajukan perlindungan HAM. Pembela HAM hanya dapat diidentifikasi berdasarkan apa yang mereka lakukan melalui pendeskripsian kerja-kerja yang dilakukan.

Dalam laporan Pembela HAM Amnesty Internasional, siapa saja yang melakukan kerja-kerja untuk hak asasi manusia bisa disebut sebagai Pembela HAM, termasuk yang memperjuangkan gender, masyarakat adat, buruh, petani, orang-orang yang memperjuangkan keadilan, kebenaran dan memperkuat hukum, memperkuat pemerintahan yang demokratis, memperjuangkan hak-hak sipil dan politik, hak-hak ekonomi, sosial, budaya dan lain-lain.

Pembela HAM  bekerja di berbagai lapisan masyarakat dan kerja mereka berdasarkan standar HAM yang berlaku secara universal. Konsepnya Pembela HAM didefinisikan sebagai tindakan seseorang dalam upaya penghormatan terhadap HAM, bukan dari sisi jabatan professional, sehingga tindakan seseorang dalam kaitannya dengan HAM menjadi sangat penting dibandingkan dengan siapa mereka sebenarnya.

Dalam Seminar Protection of Human Rights Defender in Africa, International Norms and Stategies, Pembela HAM didefinisikan sebagai:

1. Pembela HAM adalah orang yang mempertahankan hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya, baik yang dimiliki sendiri maupun hak orang lain berdasarkan prinsif universalitas dan keutuhan HAM.
2. Pembela HAM, baik yang bekerja untuk hak perempuan, hak atas tanah, perlindungan lingkungan, ataupun kebebasan sipil, memegang peranan penting dalam pemajuan dan perlindungan HAM dan kebebasan dasar.

Tujuan aktifitas mereka adalah pelaksanaan hukum HAM domestik dan kewajiban internasional, serta mendorong tanggung jawab pemerintah secara penuh untuk memajukan dan melindungi semua aspek HAM.

Peran pembela Hak Asasi Manusia sangat penting untuk menghadirkan kualitas peradaban masyarakat dan bangsa Indonesia. Pembela hak asasi manusia aktif dalam mendukung hak asasi manusia mulai dari hak hidup sampai hak atas makanan dan air, hak atas standar kesehatan yang setinggi mungkin, hak atas perumahan yang layak, hak atas sebuah nama dan kewarganegaraan, hak atas pendidikan, hak atas kebebasan berpindah, dan hak atas perlakuan nondiskriminatif.

Pembela hak asasi manusia aktif bekerja di berbagai tempat di dunia, di negara yang sedang konflik bersenjata internal atau negara stabil, di Negara-negara yang tidak demokratis dan di Negara-negara yang memiliki praktek demokratis yang kuat; di Negara-negara yang sedang berkembang serta di negara yang diklasifikasikan sebagai negara maju. Mereka mencoba memajukan dan melindungi hak asasi manusia dalam situasi yang penuh tantangan.

Perlindungan terhadap pembela HAM

Salah satu persoalan serius dalam penegakan Hak Asasi Manusia  adalah perlindungan terhadap pembela Hak Asasi Manusia/human rights defender. Perjuangan pembela Hak Asasi Manusia amat penting untuk menghapuskan segala bentuk penyalahgunaan kekuasaan serta kekerasan secara vertikal maupun secara horisontal yang tidak bertanggung jawab.


Problematika yang timbul dari kasus yang menimpa  para pembela Hak Asasi Manusia tersebut, tidak hanya mengancam individunya saja, namun juga mengancam keberlangsungan upaya penegakan HAM itu sendiri. Sehingga setiap kekerasan yang ditujukan terhadap para pembela Hak Asasi Manusia adalah penghentian aktifitas penegakan HAM yang didorong dan diperjuangkan. Sehingga implikasi yang ditimbulkan adalah acaman terhadap peradaban manusia secara lebih luas dan proses politik yang demokratis .

Fakta di atas dilatarbelakangi berbagai kasus yang menimpa pembela HAM/human rights defender dalam berbagai bentuk, mulai dari ancaman, intimidasi, sampai kekerasan. Bahkan kasus yang menimpa mereka berasal dari aksi hukum berupa kriminalisasi. Contoh kasus: kematian aktivis Hak Asasi Manusia Munir  merupakan suatu perlakuan buruk yang dialami seorang pembela Hak Asasi Manusia/human rights defender.

Pembunuhan terhadap Munir hanyalah satu dari sekian banyak perlakuan kejam terhadap pembela Hak Asasi Manusia lainnya, bisa disebut seperti pembunuhan Marsinah (aktivis buruh), Jafar Siddik (aktivis Aceh), Ersa Siregar (jurnalis yang sedang meliput darurat militer di Aceh), dan masih banyak nama lainnya. Maka, perlindungan terhadap para pembela Hak Asasi Manusia tidak hanya ditujukan pada individu saja, namun juga terhadap aktivitas yang mereka lakukan.    
 
Salah satu masalah pokok yang dihadapi dalam setiap upaya untuk melembagakan ide-ide pemajuan dan perlidungan hak asasi manusia adalah soal penegakan berbagai instrumen hak asasi manusia dalam praktek di negara yang beranekaragam, baik dalam kondisi sosial ekonomi dan budayanya maupun dalam tingkat perkembangannya masing-masing. Karena itu, sering muncul perdebatan baik mengenai universalitas konsep HAM itu maupun mengenai relativitas prosedural upaya untuk mengimplementasikan prinsip HAM yang universal itu dalam kenyataan di lapangan.

Kemudian melalui forum Perserikatan Bangsa-Bangsa, masyarakat dunia telah menetapkan sebuah Deklarasi Pembela Hak Asasi Manusia. Deklarasi ini dibuat atas dasar sebuah premis (yang dinyatakan oleh Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa, Kofi Annan) bahwa ketika hak seorang pembela Hak Asasi Manusia telah dilanggar, pada momen itu semua hak kita (publik keseluruhan) ada dalam bahaya.

Di Uni Eropa juga terdapat "Panduan Uni Eropa mengenai Pembela Hak Asasi Manusia/ European Union Guidelines for Human Rights Defender Protection" yang menjadi panduan bagi negara-negara anggotanya untuk melindungi para pembela Hak Asasi Manusia. Deklarasi hanya mengukuhkan dan memperjelas kembali hak-hak yang dimiliki oleh mereka yang disebut sebagai pembela Hak Asasi Manusia Hak-hak yang ditegaskan dalam deklarasi ini adalah hak-hak yang paling sering dilecehkan oleh hampir semua pemerintah di dunia ini .

Beberapa pelanggaran HAM dan tantangan yang dihadapi oleh pembela hak asasi manusia dalam melaksanakan pekerjaan mereka cukup banyak. Sebagian dari tindakan tersebut mungkin terjadi hanya satu kali, tetapi tindakan ini sering berkelanjutan sehingga memiliki dampak terhadap pembela HAM dan keluarganya selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun sesudahnya.

Misalnya, ancaman mati dapat menyebabkan pembela HAM harus mengubah rutinitas harian mereka, sebagaimana juga anggota keluarga langsung, atau bahkan mereka harus meninggalkan negara mereka untuk mencari suaka sementara di luar negeri. Selain itu kebijakan, legislasi, dan prosedur yang digambarkan sebagai langkah-langkah "keamanan" terkadang diterapkan dengan cara-cara tertentu untuk membatasi pekerjaan pembela HAM dan terkadang menargetkan pembela HAM itu sendiri. 


Dengan dalih alasan-alasan keamanan, pembela hak asasi manusia dilarang meninggalkan kota mereka dan polisi serta anggota kewenangan keamanan yang lain memanggil pembela hak asasi manusia ke kantor mereka, mengintimidasi mereka dan memerintahkan penghentian seluruh kegiatan HAM mereka. Pembela HAM telah dituntut dan diputuskan bersalah di bawah legislasi keamanan yang samar-samar dan dijatuhi hukuman penjara yang berat.  

Pengaturan perlindungan terhadap pembela HAM

Ada pembatasan terhadap kategori pembela HAM, walau meletakkan setiap individu baik sendiri maupun berkelompok dapat disebut pembela HAM. Pertama, accepting the universal on human rights. Kedua, who is right and who is wrong–does it make difference? Dan ketiga, peaceful action. Jadi, dalam pembatasan tersebut dapat dijadikan pijakan  kategorisasi, misalnya walaupun si A membela hak identitas budayanya, namun dilain pihak si A menolak prinsip toleransi dan anti-diskriminasi, maka si A tidak dapat disebut pembela HAM .

Hasil Riset Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Human Rights Support Facilities (HRSF) menemukan kategorisasi untuk membedakan mana pembela HAM, terutama pembedaan dengan korban secara umum, kategori itu adalah :

1. aktif untuk menyelesaikan kasus yang dihadapinya maupun kasus orang lain.
2. penanggung jawab dalam salah satu organisasi yang melakukan pembelaan HAM (serikat buruh, serikat petani, dan lain-lain).
3. penanggungjawab dalam komunitas atau kelompok yang memperjuangkan HAM.
4. aktif dalam mempromosikan dan memperjuangkan HAM secara terus-menerus.

Dalam kertas posisi Kontras menjelaskan bahwa untuk dapat mengefektifkan penanganan perlindungan pembela HAM oleh Komnas HAM salah satu upaya perlindungan yang dapat diwujudkan adalah dengan membentuk suatu unit kerja di dalam Komnas HAM yang spesifik menangani perlindungan terhadap pembela HAM sesuai dengan mandat yang dimiliki Komnas HAM.

Berbasis pada gambaran umum mekanisme penanganan kasus di Komnas HAM, dengan demikian mekanisme yang ada belum cukup, disesuaikan pula dengan mekanisme yang ada saat ini di internal Komnas HAM maka kertas posisi ini menampilkan satu usulan mekanisme khusus berupa “Desk Pembela HAM” untuk menangani kasus-kasus Pembela HAM yang spesifik dan tepat sasaran.

Desk Pembela HAM menurut kerta posisi Kontras ini pada pokoknya memiliki fungsi-fungsi diantaranya:

1. melakukan kerja sama antarlembaga;
2. kunjungan ke penjara;
3. pemantauan atas proses hukum pembela HAM;
4. pengawasan atas tindak lanjut rekomendasi Komnas HAM;
5. respon cepat atas kasus;
6. membuat laporan berkala tentang situasi pembela HAMdi Indonesia;
7. informasi tentang potensi ancaman terhadap pembela HAMdalam situasi konflik;
8. promosi perlindungan pembela HAM (training dan sosialisasi, terutama kepada aparat negara) ;
9. mensinergikan strategi-strategi lokal dan nasional bagi perlindunganpembela HAM; dan
10. advokasi dan pemantauan kebijakan pusat dan daerah.

Kertas Posisi Kontras tersebut juga menjelaskan bahwa dalam menjalankan fungsinya, desk Pembela HAM berkoordinasi dengan unit-unit kerja yang ada dalam seluruh subkomisi dan biro di Komnas HAM sesuai dengan fungsi masing-masing. Dalam melakukan kerja sama antarlembaga dapat dilakukan oleh biro perencanaan dan kerja sama antarlembaga, kunjungan ke penjara, pemantauan pengadilan, pengawasan, respon cepat dan laporan berkala situasi pembela HAM dalam rangka membangun performance Komnas HAM dapat dilakukan oleh biro penegakan, dalam hal ini subkomisi pemantauan dan subkomisi mediasi.

Informasi potensi ancaman (khususnya bagi daerah konflik), promosi perlindungan pembela HAM (khususnya pada para penegak hukum, terutama Polri dan Kejaksaan), mensinergiskan strategi lokal dan nasional bagi perlindungan pembela HAM, serta advokasi kebijakan akan dilakukan oleh biro pemajuan, dalam hal ini subkomisi penelitian dan pengkajian dan subkomisi pendidikan dan penyuluhan.

Hal yang terpenting lainnya dalam menjalankan desk pembela HAM ini adalah posisi eksekutorialnya yang berasal dari salah satu unsur Pimpinan Komnas HAM, hal ini cukup penting mengingat beberapa fungsi diatas dapat dilakukan tanpa menunggu adanya kerja dari masing-masing subkomisi dan/atau biro di Komnas HAM. Kondisi ini khususnya dibutuhkan ketika ada hal-hal penting menyangkut perlindungan pembela HAM yang harus diambil tindakan cepat.

Pengaturan mengenai perlindungan terhadap Pembela HAM juga dapat dilakukan melalui perubahan Undang-Undang Nomor 39 tentang HAM yang memasukkan desk pembela HAM ini dalam suatu unit kerja di Komnas HAM yang spesifik menangani perlindungan terhadap pembela HAM.

*) Penulis adalah Perancang PUU bidang Politik Hukum dan HAM setjen DPR RI

BACA JUGA: