Oleh: Veri Muhlis *)

Sekarang ini adalah zaman dimana orang tidak suka diwakili, jual beli tidak suka ada perantara dan komunikasi tak senang jika pake juru bicara. Semua suka langsung. Face to face, berhadapan wajah, langsung tak ada pembatas. Begitu juga dengan pemilihan kepala daerah alias pilkada. Hampir satu dasawarsa rakyat terlatih memilih pemimpinnya secara langsung. Tak ada hambatan berarti, kecuali sebagaimana banyak disampaikan beberapa pihak bahwa model seperti itu boros, tidak efisien dan tak efektif.

Padahal sejatinya pemilihan langsung adalah pesta demokrasi. Sebagaimana pesta pada umumnya, yang tidak berlangsung setiap saat, semua orang akan terlibat. Di pesta pernikahan misalnya, tuan rumah, besan, tetangga, undangan, juru parkir dan mereka yang ada di sekitar, akan berpesta. Turut senang dengan adanya pesta pernikahan itu, ikut makan enak, ikut dengar atau lihat hiburannya juga.

Nah pilkada itu pesta rakyat. Ada partisipasi dan keterlibatan stakeholders dalam berbagai pernannya. ‎KPU sebagai penyelenggara, bawaslu/panwaslu mengawasi, ada pemantau, ada pengusung, ada kandidat, ada tim sukses, ada media , percetakan, logistik, biro iklan, konsultan politik, lembaga survey dan seterusnya. Semua ikut hiruk, semua terpikuk.

Yang namanya pesta tentu butuh biaya, tak apa negara mengeluarkan dana buat pesta demokrasi, toh itu dana rakyat juga. Dana dari pajak mereka. Dikeluarkan untuk menjamin hak suara mereka tersalurkan. Daripada dana itu habis dinikmati hanya oleh 30 sampai 100 orang anggota dewan yang terhormat. Anggap saja, meminimalisir bertambahnya penghuni bui.

Jadi menghilangkan pilkada langsung sesungguhnya adalah menghilangkan hak rakyat untuk menikmati proses demokrasi. Hak untuk menilai, menimbang, memilih dan meminta pertanggungjawaban pemimpinnya secara langsung. Jika rakyat suka, di pilkada mendatang akan dipilihnya kembali, jika tak suka akan ditinggal.

Lantas bagaimana agar pilkada langsung bisa hemat, efektif dan menghasilkan pemimpin bersih, bagus dan bermutu? Tentu ini yang harus menjadi concern semua pihak. Agar hemat, pikirkan cara terbaik untuk itu. Agar efektif, susun perencanaan yang matang semisal pilkada serentak, masa kampanye panjang atau partai pengusung tak dibatasi syarat perolehan kursi. Atau banyak cara lain, negara ini besar, banyak warga bangsa yang sanggup bersama-sama mencari solusi yang aplikatif.

Sesungguhnya beberapa pilkada yang digelar terakhir telah menunjukan kepada kita bahwa perhelatannya bisa efisien. Banyak kandidat bermutu yang terpilih dan pasti tidak dengan keluar uang banyak. Pilkada langsung adalah kesempatan emas bagi siapa saja warga bangsa untuk muncul menjadi pemimpin. Jika bukan karena ‎pilkada langsung, tak akan muncul tokoh semacam Jokowi, Risma, Ridwan Kami atau Airin sekalipun.

Pilkada langsung juga meminimalisir efek buruk kartelisme dan oligarki politik. Tak dipungkiri, partai politik sekarang ini masih berpersoalan di dalam. Banyak yang masih harus membenahi diri. Kaderisasi dan sistem pengambilan keputusan di partai seringkali bergantung kepada "kehendak" ketua partai atau kelompoknya. Yang paling aktual melihat kasus itu, kita cek saja soal pembentukan dan pengangkatan alat kelengkapan dewan se-Indonesia.

Perhatikan, banyak kejutan bukan? Itu karena peran partai, dalam konteks ini ketua partai, begitu dominan. Jadi jika pilkada dilakukan lewat DPRD, dapat diduga yang akan menjadi kepala daerah adalah para pemimpin partai politik, keluarga atau kelompoknya.

Walau sekarang banyak ketua partai atau orang partai menjadi kepala atau wakil kepala daerah, tetapi prosesnya cukup teruji. Ada survey yang mengkaji elektabilitas calon kepala daerah‎ itu. Banyak ketua partai yang mundur atau memilih jadi wakil kepala daerah karena tidak populer atau elektabilitasnya rendah. Itu artinya, kalau pilkada dilakukan lewat DPRD, sangat mungkin banyak akan muncul kepala daerah yang tidak dikenal oleh rakyat.

‎Jadi, pilkada langsung adalah niscaya. Bagus untuk kita, bagus untuk Indonesia.

*) Penulis Adalah Direktur Konsep Indonesia

BACA JUGA: