Dalam dua bulan terakhir ini saya menerima sebuah surat serupa sebanyak tiga kali berturut-turut. Surat tersebut berupa sebuah lembar edaran yang menjelaskan kepemilikan saya atas televisi atau radio di asrama. Ujung-ujungnya duit: melalui surat tersebut, saya ditagih retribusi televisi dan radio publik sebesar 17,98 Euro per bulan oleh dinas yang bersangkutan.

Surat itu pun berakhir di keranjang sampah, sebagaimana disarankan oleh  warga Jerman yang saya kenal. "Kami juga tidak bayar kok," ungkap para mahasiswa dan kalangan pensiunan itu.

Memang, warga negara Jerman akhir-akhir ini diributkan dengan pembebanan retribusi TV publik. Rupanya, penyiaran televisi dan radio publik setempat sedang terjebak dilema pembiayaan yang diakibatkan oleh konvergensi media. Retribusi untuk televisi dan radio yang sebelumnya terpisah dan dibayarkan sesuai penggunaannya, sekarang disatukan. Terhitung 1 Januari 2013, semua warga yang terdaftar di sebuah alamat tempat tinggal diwajibkan membayar retribusi, terlepas ia memiliki televisi/radio atau tidak. Hal ini didorong oleh asumsi bahwa tiap individu kini dapat mengakses siaran TV atau radio melalui Internet—tidak hanya tergantung pada keberadaan perangkatnya saja. Bisa dibilang, iuran tersebut adalah tagihan kepada warga karena telah mengakses konten penyiaran publik.

Senang atau tidak (tentu, sebagian besar dari silent majority tidak senang), retribusi ini mengikat dan mewajibkan warga (termasuk pekerja dan mahasiswa asing) untuk membayar retribusi sebesar 17,98 Euro per bulan. Jumlah yang terlalu besar dan tidak adil bagi mereka yang tidak pernah menyalakan televisi.

Sebagai pembayar pajak yang taat tetapi kritis, mereka tentu bertanya: ke mana larinya uang kami? Menurut harian Zeit, 38 persen dari pemasukan retribusi kembali diinvestasikan ke dalam program siaran, 34 persen digunakan untuk belanja pegawai, dan sisanya digunakan untuk biaya pemasaran dan pemeliharaan jaringan.

Di sisi lain, peran TV dan radio publik di Jerman memang cukup besar. Terdapat dua stasiun televisi utama yang merupakan milik negara (ARD dan ZDF) dan beberapa stasiun televisi dan radio publik milik tiap-tiap negara bagian. Menurut Zeit, market share ARD dan ZDF pada 2011 sebesar 41,7 persen. Angka yang tentunya sangat besar jika Anda tanyakan pada eksekutif Nielsen. Selebihnya adalah stasiun swasta yang hanya bisa diakses melalui jaringan kabel atau parabola.

Adanya dominasi TV publik atas TV swasta memang terdengar monoton dan membosankan, tetapi demikian adanya sejak puluhan tahun. Masyarakat tidak lagi mempertanyakan mengapa semua acara berbahasa Inggris telah dialihbahasakan ke dalam Deutsch, yang bagi mahasiswa asing tentunya menjadi sebuah lelucon karena mereka harus menonton How I Met Your Mother atau Familiy Guy dalam bahasa Jerman yang (setidaknya secara fonetik) kaku. Namun bagi stasiun TV, mengalihbahasakan ke dalam Deutsch adalah bagian dari kewajiban untuk mendidik.

Memang, di Jerman, mandat penyiaran publik diterjemahkan dengan slogan informasi, budaya, dan edukasi. Penyiaran publik di Jerman memiliki tautan erat dengan sejarah dan konstelasi sosial politik tiap zamannya. Bermula sebagai alat propaganda, pasca Perang Dunia II penyiaran publik bertransformasi sebagai sarana informasi, dengan catatan bahwa wewenang tersebut langsung dialihkan kepada negara bagian atau Bundesland, sebagaimana Jerman mengambil bentuk negara federasi. Lantas, tugas mengisi konten siaran menjadi tanggung jawab tiap negara bagian meskipun tetap mengikuti garis besar yang ditetapkan ARD. Pasca Perang Dunia II, penyiaran publik ditekankan pada aspek pendidikan tanpa terlalu menekankan unsur nasionalisme, karena dikhawatirkan akan menimbulkan gejolak berlebih, mengingat riwayat kelam era Nazi.

Namun, ketika konten siaran disiapkan dalam kerangka sosial politik yang tepat, TV publik bahkan bisa menjadi ruang mediasi. Baik berita maupun tayangan yang terkait sejarah, isu sosial, dan budaya, sarat nuansa otokritik dan senantiasa mengajak pemirsa untuk turut mengkritisi ruang hidupnya. Terasa betul bagaimana televisi di tanah kelahiran Habermas ini turut membentuk ranah publik sebagaimana ia membayangkannya: sebuah saluran komunikasi yang tidak terdistorsi sebagai sarana untuk berpartipasi dan berinteraksi dengan masyarakat secara luas.

Di sini, terlihat hubungan timbal balik antara warga dan negara, serta relasi yang saling mempertegas keberadaannya dalam kerangka citizenship. Maka retribusi pun ditimbang dalam aspek hak (atas informasi dan kepemilikan sarana media) dengan kewajiban (membayar kompensasi atas hak tersebut). Bagi warga Jerman, mempertanyakan kewajiban atas dasar hak dalam kerangka pilihan rasional adalah kelumrahan. “Penyesuaian” tarif ini membuat ARD dan ZDF menjadi sasaran tembak: setelah puluhan tahun menjadi pemain utama dalam penyiaran, kemampuan TV dan radio publik untuk bersaing dengan media komersial akan dipertanyakan. Jika tidak mau diperolok sebagai media “kaum pensiunan”, maka ARD dan ZDF mau tidak mau mesti berbenah dan ikut bersaing dalam pasar paling potensial: kalangan muda.

Dalam amatan sepintas, tentu tidak bisa disimpulkan sejauh mana penyiaran publik Jerman berhasil melepaskan diri dari kepentingan pemerintah, Namun satu hal yang sangat terasa adalalah citra TV publik yang sangat legowo dalam hal otokritik. Segala kebijakan pemerintah diperdebatkan dengan terbuka dalam tayangan berita maupun talkshow, dan turut membentuk sikap kritis das Deutsche Volk (rakyat Jerman) yang dikenal dengan sikap penggerutunya. Dengan sangat perlahan dan saksama, penyiaran publik juga turut andil dalam menyingkap sejarah kelam Jerman pada Perang Dunia II dan membentuk kesadaran baru masyarakat sebagai warga negara Jerman pasca kepemimpinan Adolf Hitler, terutama bagi generasi 1960 dan 1970an yang paling punya andil dalam membangun ekonomi Jerman sebagaimana dikenal sekarang. Mereka sudah sadar akibat dari propaganda negara yang juga mereka lalui pada era tersebut. Baik negara maupun warga sadar bahwa mereka tidak lagi membutuhkan penyiaran publik sebagai alat kontrol dan perpanjangan hegemoni negara melainkan untuk membentuk kesadaran kritis dan audiens yang cerdas.

Gambaran TV publik di Jerman ini membuat kita tidak bisa tidak membandingkannya dengan nasib TV publik kita, TVRI. Kisah TVRI sebagai corong pemerintah semasa Orde Baru yang tidak bisa lekang dari memori kolektif mendorong sebagian besar masyarakat saat itu untuk berganti saluran (market share TVRI 2011 konon hanya 1,4%). Di sini tampak persamaan garis sejarah TVRI dengan penyiaran publik Jerman. Setelah puluhan tahun menerima siaran resmi dari pemerintah, publik Jerman baru mulai terbiasa dengan penyiaran komersial pada era 1980an. Hanya, bedanya, setelah bersaing dengan siaran komersial, penyiaran publik tetap bersaing ketat dan beradaptasi untuk menjadi lebih luwes dalam hal isi dan gaya siaran. Di sinilah letak perbedaannya: TVRI gagap beradaptasi.

Padahal, prasyarat bagi TVRI untuk memainkan peranan yang lebih besar dalam era baru digitalisasi sudah tersedia. Sama seperti ARD dan ZDF (di Jerman, debat soal TV digital dan “keharusan” untuk menggunakan perangkat top box sudah dimulai pada 1998), TVRI diuntungkan karena perangkat siar digital sudah dimiliki olehnya jauh sebelum para pemain swasta berlomba-lomba membelinya. Selain itu, perubahan status sebagai perusahaan perseroan terbatas milik negara harusnya memperkuat sepak terjang TVRI untuk menjadi aktor media yang non-partisan.

Namun, di sini kita juga harus mengakui bahwa gambaran ideal—atau normatif—penyiaran publik tidak bisa tidak ditimbang dalam ukuran untung rugi. Sebagaimana TV publik di Jerman menaikkan retribusi mereka, TVRI pun kelimpungan mencari “investor”. Entah bagaimana strategi yang akan ditempuh (melalu jalur negara atau swasta), namun pendulumnya akan selalu bergerak di antara memandang warga sebagai penerima hak atau konsumen. Maka pertanyaannya bukan hanya tentang kesiapan TVRI dalam memperbaiki kinerjanya, tetapi juga warga negaranya; salah satunya dengan membayar retribusi atau pajak demi produksi dan konten siaran yang berkualitas. Di Jerman, warga negara dilimpahi dengan siaran yang membuka mata dan mengajak bicara. Sedangkan di Indonesia, warganya disajikan siaran monokromatik yang sama sekali tidak menggambarkan keragaman Nusantara. Di Jerman, sosok negara jelas terlihat di dalam TV. Di Indonesia, kalimat tersebut perlu diimbuhi dengan sebuah tanda tanya.

Fajri Siregar
Peneliti di Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG), Jakarta, yang sekarang sedang menempuh studi S-2 di Universität Duisburg-Essen,  jurusan Development and Governance. Untuk menjaga kewarasannya, ia mengisi konten Primitif Zine dan blognya di www.everlastinggaze.net.

Artikel ini dipublikasikan atas seizin pengelola situs remotivi.or.id

BACA JUGA: