Oleh: Eka Martiana Wulansari *)

Mahkamah Agung mengabulkan Peninjauan Kembali yang diajukan Kejaksaan Agung atas perkara penyelewengan dana beasiswa Supersemar dengan tergugat mantan Presiden RI Soeharto, dan ahli warisnya, serta Yayasan Beasiswa Supersemar. Lewat putusan itu, Soeharto dan ahli warisnya, serta Yayasan Supersemar, diharuskan membayar kerugian negara sebesar US$315 dan Rp139,2 miliar kepada negara.

Dengan asumsi harga per US$1 mencapai Rp13.500 saja, maka uang yang harus dibayarkan pihak ahli waris Soeharto dan Yayasan Supersemar mencapai Rp4,25 triliun ditambah Rp139,2 miliar, atau total menjadi Rp4,389 triliun.

Majelis PK yang terdiri dari Suwardi (Ketua Majelis), serta Soltony Mohdally dan Mahdi Soroinda (Anggota Majelis) mengabulkan PK yang diajukan Negara dalam hal ini Presiden RI, melawan mantan Presiden RI Soeharto, dan ahli warisnya. Majelis yang sama menolak PK yang diajukan Yayasan Supersemar. Perkara yang diregistrasi dengan Nomor 140 PK/PDT/2015 tersebut diputuskan pada 8 Juli Tahun 2015.

Kasus ini bermula ketika pemerintah menggugat Soeharto dan Yayasan Supersemar atas dugaan penyelewengan dana beasiswa. Dana yang seharusnya disalurkan kepada siswa dan mahasiswa itu justru diberikan kepada beberapa perusahaan, diantaranya PT Bank Duta sebesar US$420 juta, PT Sempati Air Rp13,173 miliar, serta PT Kiani Lestari dan Kiani Sakti Rp150 miliar.

Negara mengajukan ganti rugi materiil US$420 juta dan Rp185 miliar serta ganti rugi immateriil sebesar Rp10 triliun. Pada 27 Maret 2008, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan Yayasan Supersemar bersalah menyelewengkan dana. Putusan itu dikuatkan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Jaksa yang belum puas kemudian mengajukan kasasi.

Pengembalian aset negara yang sudah disalahgunakan oleh mendiang Soeharto dan ahli warisnya tidak hanya sebatas pada kasus Supersemar saja tapi juga meliputi semua aset negara selama mendiang Soeharto menjabat sebagai Presiden RI. Dana-dana lain yang diduga disalahgunakan oleh ahli warisnya dan kroni-kroninya juga harus dikembalikan ke negara.

Selama ini pembiaran penanganan kasus tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh mendiang Soeharto dan ahli warisnya beserta kroni-kroninya terlalu lama dilakukan. Akibatnya pelaku tindak pidana tetap menguasai hasil dan instrumen tindak pidana.

Kondisi ini seperti memberikan peluang kepada pelaku tindak pidana atau orang lain yang memiliki keterkaitan dengan pelaku tindak pidana untuk menikmati hasil tindak pidana. Selain itu juga untuk menggunakan kembali instrumen tindak pidana atau bahkan mengembangkan tindak pidana yang pernah dilakukan.


ATURAN PERAMPASAN ASET - Mengapa sebuah tindak pidana korupsi bisa dibiarkan terlalu lama sehingga aset-aset negara bisa dikuasai pelaku? Jawabannya adalah karena selama ini pengaturan mengenai perampasan aset belum diatur secara khusus dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Demikian juga dengan ketentuan yang sudah ada memiliki kelemahan, yaitu upaya untuk merampas aset hasil tindak pidana umumnya hanya dapat dilaksanakan jika pelaku kejahatan oleh pengadilan dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana.

Mekanisme ini selain sulit diterapkan akibat adanya berbagai halangan yang mengakibatkan pelaku kejahatan tidak bisa menjalani pemeriksaan di sidang pengadilan, juga tidak tertutup kemungkinan tidak dapat diterapkan karena tidak ditemukannya bukti yang cukup untuk mengajukan tuntutan ke pengadilan.

Aset kejahatan sering kali dengan mudah dialihkan atau bahkan dilarikan ke luar negeri. Pada saat ini undang-undang yang memuat ketentuan hukum yang berkaitan dengan penyitaan dan perampasan hasil tindak pidana di Indonesia antara lain adalah:

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP);
3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan;
4. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika;
5. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Kerusakan Hutan;
6. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
7. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang; dan
8. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.

Konstruksi hukum pidana di Indonesia terutama di dalam KUHP dan KUHAP, belum menempatkan penyitaan dan perampasan hasil tindak pidana sebagai bagian penting dari upaya menekan tingkat kejahatan di Indonesia.

Sedangkan dalam undang-undang yang bersifat lex spesialis seperti Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, hanya mengatur ketentuan mengenai pengembalian beban pembuktian terhadap perolehan harta dan kekayaan tersangka.

Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menyatakan bahwa dalam sidang pengadilan terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan berasal dari tindak pidana.

PERLU ATURAN KHUSUS - Indonesia memerlukan pengaturan khusus mengenai perampasan aset hasil tindak pidana. Dengan demikian, peristiwa penyalahgunaan aset negara seperti dalam kasus Yayasan Supersemar oleh mendiang Soeharto, ahli warisnya dan kroni-kroninya tidak akan terulang kembali, karena Indonesia sudah mempunyai dasar hukum dalam hukum nasional yang mengatur tentang mekanisme pengembalian dan perampasan aset negara.

Pengaturan khusus mengenai perampasan aset hasil tindak pidana, diperlukan untuk memasukan sistem perampasan yang memungkinkan dilakukan pengembalian aset hasil tindak pidana melalui mekanisme perdata yang menekankan pada perampasan aset hasil tindak pidana secara in rem (kebendaan).

Dalam hal ini, pelaku kejahatan yang dinyatakan secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan kejahatan berdasarkan suatu keputusan pengadilan bukan merupakan prasyarat yang harus dipenuhi guna dilakukannya perampasan aset.

Dengan mekanisme ini terbuka kesempatan yang luas untuk merampas segala aset yang diduga merupakan hasil dari tindak pidana (proceed of crime) dan aset-aset lain yang patut diduga akan digunakan atau telah digunakan sebagai sarana untuk melakukan tindak pidana.

Mekanisme perampasan aset ini juga dapat digunakan sebagai alternatif untuk mendapatkan kompensasi atau uang pengganti atas kerugian negara. Dengan demikian aset yang baru ditemukan kemudian hari dan tidak tercantum dalam daftar aset yang dapat disita atau dirampas berdasarkan putusan pidana yang sudah inkracht, tetap dapat disita dan dirampas melalui mekanisme ini.

Selain itu kendala-kendala yang timbul dalam upaya pengembalian aset melalui mekanisme pidana dapat teratasi, walaupun pelakunya sakit atau tidak ditemukan atau meninggal dunia perampasan aset dapat tetap dilakukan secara fair karena dilakukan tetap melalui suatu sidang pengadilan.

Mekanisme perampasan aset hasil tindak pidana, sejalan dengan beberapa Konvensi Internasional yang sudah diratifikasi oleh Pemerintah RI antara lain Konvensi Internasional Pemberantasan Terorisme (diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2006) dan UNCAC (diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006) serta memenuhi Standard Resived 40+9 Recommendations Financial Actions Task Force (FATF) yang menyatakan pentingnya rezim perampasan aset tanpa pemidanaan.

Mekanisme perampasan aset hasil tindak pidana atau asset recovery harus dipandang sama pentingnya dengan memvonis pelaku dengan hukuman yang seberat-beratnya dalam upaya pemberantasan korupsi. Selain atas faktor mahalnya ongkos perang melawan kejahatan juga disebabkan pendekatan follow the suspect belum cukup efektif untuk menekan tingkat kejahatan jika tidak disertai dengan upaya untuk menyita dan merampas hasil tindak pidana.

*) Penulis adalah perancang Undang-Undang Bidang Politik Hukum dan HAM, Deputi Perancang Undang-Undang, Sekretariat Jenderal DPR RI dan Tenaga Pengajar Fakultas Hukum, Universitas Pamulang (UNPAM).

BACA JUGA: