Oleh Aan Andrianih, SH.MH.*

 

Subyek hukum ialah pemegang hak dan kewajiban menurut hukum. Dalam kehidupan sehari-hari, yang menjadi subyek hukum dalam sistem hukum Indonesia, yang sudah barang tentu bertitik tolak dari sistem hukum Belanda, ialah individu (orang) dan badan hukum (perusahaan, organisasi, institusi). Dalam dunia hukum, subyek hukum dapat diartikan sebagai pembawa hak, yakni manusia dan badan hukum.

Manusia (naturlife persoon) Menurut hukum, tiap-tiap seorang manusia sudah menjadi subyek hukum secara kodrati atau secara alami. Anak-anak serta balita pun sudah dianggap sebagai subyek hukum. Manusia dianggap sebagai hak mulai ia dilahirkan sampai dengan ia meninggal dunia. Bahkan bayi yang masih berada dalam kandungan pun bisa dianggap sebagai subyek hukum bila terdapat urusan atau kepentingan yang menghendakinya. Namun, ada beberapa golongan yang oleh hukum dipandang sebagai subyek hukum yang "tidak cakap" hukum.

Maka dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum mereka harus diwakili atau dibantu  orang lain. seperti: Anak yang masih dibawah umur, belum dewasa, dan belum menikah. Orang yang berada dalam pengampunan yaitu orang yang sakit ingatan, pemabuk, pemboros.

Badan Hukum (recht persoon), Badan hukum adalah suatu badan yang terdiri dari kumpulan orang yang diberi status "persoon" oleh hukum sehingga mempunyai hak dan kewajiban. Badan hukum dapat menjalankan perbuatan hukum sebagai pembawa hak manusia. Seperti melakukan perjanjian, mempunyai kekayaan yang terlepas dari para anggotanya dan sebagainya. Perbedaan badan hukum dengan manusia sebagai pembawa hak adalah badan hukum tidak dapat melakukan perkawinan, tidak dapat diberi hukuman penjara, tetapi badan hukum dimungkinkan dapat dibubarkan.

Anak merupakan asset Negara dan merupakan bagian warga negara yang harus di lindungi karena mereka merupakan generasi penerus bangsa dimana dimasa yang akan datang akan melanjutkan kepemimpinan bangsa Indonesia. Setiap anak disamping wajib mendapatkan pendidikan formal seperti sekolah, juga wajib mendapatkan pendidikan moral sehingga meraka dapat tumbuh menjadi sosok yang berguna bagi masyarakat.

Kesejahteraan Anak dan Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang jika di pelajari semua peraturan perundang-undangan diatas memuat berbagai prinsip-prinsip umum perlindungan anak, yaitu non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang dan menghargai partisipasi anak. Namun demikian anak tetaplah anak yang kadangkala melakukan kenakalan yang dapat merugikan orang lain yang mengakibatkan anak berhadapan pada situasi yang belum semestinya di lalui yaitu berhadapan dengan hukum.

Berdasarkan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, Anak yang berhadapan dengan hukum merupakan anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. Di dalam hukum setiap orang dianggap memiliki kedudukan yang sama. Namun demikan setiap anakpun dengan segala keterbatasan biologis dan psikisnya memiliki hak yang sama dengan orang dewasa, anak mempunyai hak yang sama dalam setiap aspek kehidupan, baik itu aspek kehidupan sosial, budaya, ekonomi, politik, hankam.

Prinsip kesamaan hak antara anak dan orang dewasa dilatar belakangi oleh unsur internal dan ekternal yang melekat pada diri anak tersebut, yaitu:

a. Unsur internal pada diri anak, meliputi:

(a) anak merupakan subjek hukum sama seperti orang dewasa, dalam hal ini sebagai

seorang manusia, anak juga digolongkan sebagai human rights yang terikat dengan

ketentuan perundang-undangan;

(b) Persamaan hak dan kewajiban anak, dimana seorang anak juga mempunyai hak

dan kewajiban yang sama dengan orang dewasa yang diberikan oleh ketentuan

perundang-undangan dalam melakukan perbuatan hukumnya.

b. Unsur eksternal pada diri anak, meliputi:

(a) Prinsip persamaan kedudukan dalam hukum (equaliy before the law), memberikan

legalitas formal terhadap anak sebagai seorang yang tidak mampu untuk berbuat peristiwa hukum; yang ditentukan oleh ketentuan peraturan hukum sendiri. Atau ketentuan hukum yang memuat perincian tentang klasifikasi kemampuan dan kewenangan berbuat peristiwa hukum dari anak yang bersangkutan;

(b) Hak-hak khusus yang diberikan negara atau pemerintah yang timbul dari UUD 1945 dan perundang-undangan lainnya. (Maulana Hassan Waddong, 2000:4&5).

Meskipun pada prinsipnya kedudukan anak dan orang dewasa sebagai manusia adalah sama di mata hukum, namun hukum juga meletakkan anak pada posisi yang istimewa (khusus), Artinya, setiap anak memiliki perlindungan hukum serta memiliki ketentuan hukum yang berbeda dengan ketentuan hukum yang diberlakukan kepada orang dewasa, setidaknya terdapat jaminan-jaminan khusus bagi anak ketika berhadapan dengan hukum.

Anak dipandang memiliki kedudukan khusus di mata hukum. Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa anak adalah manusia dengan segala keterbatasan biologis dan psikisnya belum mampu memperjuangkan segala sesuatu yang menjadi hak-haknya. Selain itu, juga disebabkan karena masa depan bangsa tergantung dari masa depan dari anak-anak sebagai generasi penerus.

Perlindungan hukum bagi anak dapat dilakukan sebagai upaya perlindungan terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak. Perlindungan terhadap anak ini juga mencakup kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak. Perlindungan terhadap anak-anak yang berhadapan dengan hukum (ABH), merupakan tanggung jawab bersama orangtua, serta aparat penegak hukum. Tidak hanya anak sebagai pelaku, namun mencakup juga anak yang sebagai korban dan saksi.

Salah satu peraturan perundang-undangan yang menempatkan anak sebagai subyek hukum khusus adalah undang-undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang selanjutnya di singkat UUSPPA. Di dalam UUSPPA tersebut Negara memberikan Perlindungan khusus kepada anak yang berhadapan dengan hukum.

Undang-Undang sistem Peradilan Pidana anak memiliki tujuan agar dapat terwujud peradilan yang benar-benar menjamin perlindungan kepentingan yang terbaik terhadap anak. substansi yang diatur dalam UUSPPA antara lain mengatur mengenai penempatan anak yang menjalani proses peradilan dapat ditempatkan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA), Penjatuhan Sanksi di dalam UU SPPA, seorang pelaku tindak pidana anak dapat dikenakan dua jenis sanksi, yaitu tindakan, bagi pelaku tindak pidana yang berumur di bawah 14 tahun (Pasal 69 ayat (2) UU SPPA) dan Pidana, bagi pelaku tindak pidana yang berumur 15 tahun ke atas.

Pemeriksaan Terhadap Anak Sebagai Saksi atau Anak Korban, UU SPPA juga memberikan kemudahan bagi anak saksi atau anak korban dalam memberikan keterangan di pengadilan. Di dalam Pasal 58 ayat (3) Saksi/korban yang tidak dapat hadir untuk memberikan keterangan di depan sidang pengadilan dengan alasan apapun dapat memberikan keterangan di luar sidang pengadilan melalui perekaman elektronik yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan setempat, dengan dihadiri oleh Penyidik atau Penuntut Umum, dan Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya yang terlibat dalam perkara tersebut.

Anak saksi/korban juga diperbolehkan memberikan keterangan melalui pemeriksaan jarak jauh dengan menggunakan alat komunikasi audiovisual. Pada saat memberikan keterangan dengan cara ini, anak harus didampingi oleh orang tua/Wali, Pembimbing Kemasyarakatan atau pendamping lainnya. Substansi yang paling mendasar dalam Undang-Undang ini adalah pengaturan secara tegas mengenai Keadilan Restoratif dan Diversi yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dan diharapkan anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar.

Tujuan dari adanya proses diversi adalah untuk mencapai perdamaian antara korban dan anak, menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan sehingga menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan. Proses diversi dalam merupakan bentuk perlindungan hukum terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, proses diversi juga merupakan proses yang dapat memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada anak agar mendapatkan bimbingan dan binaan dari orangtua serta dari lembaga-lembaga terkait.

Dengan adanya UU SPPA diharapkan anak dapat lebih terlindungi dari ystem
peradilan yang tidak ramah anak sehingga dapat meningkatkan kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak yang dapat menentukan sikap dan perilaku Anak di masa yang akan datang. Dengan adanya UUSPPA ketentuan Pasal 28B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tentang hak anak atas kelangsungan hidup tumbuh dan berkembang serta hak atas perlindungan atas kekerasan dan diskriminasi dapat di lindungi dengan lebih baik karena Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan Negara sehingga anak sebagai subjek hukum yang dipandang khusus oleh hukum, mendapatkan jaminan pada setiap tahapan proses dalam peradilan anak, sesuai dengan prinsip kepentingan terbaik anak seperti yang telah ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
 

*Perancang Peraturan Perundang-Undangan bidang Kesra di Sekretariat jenderal DPR RI 
BACA JUGA: