Oleh: Tri Puspitarini*)

Penerapan kurikulum 2013 (K13) oleh Kemendiknas yang dimulai pada tahun ini, mengundang berbagai reaksi dari berbagai kalangan baik kalangan pendidikan, psikolog, maupun para politisi. Kebanyakan dari tokoh-tokoh itu merasa keberatan dengan penerapan kurikulum yang dinilai akan berdampak negatif terhadap anak didik dan menimbulkan kebingungan di kalangan para guru juga pengelola sekolah.

Beragam komentar bernada negatif pun bermunculan, mulai dari kurikulum 2013 akan membuat anak menjadi robot, kehilangan waktu bermain, bahkan ada tokoh yang secara tegas menyatakan kurikulum baru ini bakal menciptakan psikopat. Pertanyaannya, benar kah? Lewat tulisan ini, saya akan membahas satu persatu berbagai tudingan tersebut secara obyektif.

Sebagai seorang psikolog yang mendalami masalah pendidikan, saya cukup banyak mempelajari kurikulum yang sebenarnya dibuat untuk menjawab persoalan klasik dunia pendidikan yang selama ini dinilai hanya menciptakan generasi yang pasif dan hanya "disuapi" saja oleh guru. Karena itu, saya merasa aneh, ketika kurikulum yang sudah disusun sedemikian bagus untuk menjawab masalah itu, justru kini dipermasalahkan. Sekarang mari kita jawab satu persatu berbagai tudingan miring terhadap K13 ini.

K13 akan membikin anak menjadi robot, kuli dan stres?

Jawabannya tidak. Dalam kurikulum ini, penekanan belajar ada pada aktivitas belajar bertema yang menyenangkan. Tidak ada lagi cerita anak datang ke sekolah membuka buku paket, merangkum tugas dan menghafal-hafal bacaan atau isi buku LKS (lembar kerja siswa). Belajar dalam K13 adalah "experience". Pengalaman belajar ini perlu dimanfaatkan guru dan siswa dalam membentuk konsep dan pemahaman serta pembentukan sikap dan keterampilan.

Guru tidak lagi asal perintah dan murid mengerjakan, tetapi guru dan murid sama-sama berkegiatan di dalam kelas atau pun luar kelas dalam rangka belajar. Dalam proses belajar berbasis aktivitas ini, membuka kemungkinan anak untuk lebih bisa berekspresi, mengemukakan pendapat dan kreatif, selain mendapatkan suasana belajar yang tidak monton. Jadi, di poin mana guru akan mencetak/memprogram siswanya menjadi robot?
 
Pahami dulu apa itu K13 dan Pembelajaran Tematik. Esensi dari memahami kurikulum 2013 adalah mengubah cara pandang terhadap belajar, dari yang berbasis pada konten (materi atau mata pelajaran) ke belajar berbasis aktivitas, yang terbungkus pada tema. Bayangkan anda adalah seorang anak dan pikirkanlah sebuah tema menarik, dan rancang aktivitas yang menyenangkan yang amat mungkin dilakukan bersama 30-an anak lainnya di dalam kelas maupun luar kelas.

Tetapkan tujuan dalam kegiatan tersebut. Tujuan inilah yang dalam bahasa kurikulumnya disebut Kompetensi Inti (KI). Kompentensi inti (KI) inilah tujuan yang mesti dicapai tiap siswa dalam belajar. Mengapa mesti ada tujuan? Karena tujuan ini yang akan menjadi kompas, pengarah, menjadi tolok ukur, menjadi target, dari keseluruhan kegiatan belajar.

Bayangkan kalau sebuah kegiatan tidak ada tujuan, ini seperti anda pergi ke pasar tapi tidak punya maksud apa-apa, tidak tahu mau melakukan apa atau membeli apa. Seharian pun anda berputar-putar di pasar, pasti tidak akan ada hasilnya kecuali cuma pegal-pegal. Tujuan-tujuan inilah yang berusaha disusun oleh para ahli dan dikemas dalam dalam kurikulum yang berjudul kurikulum 2013.

Hal yang unik dan berbeda pada kurikulum 2013 ini, tujuan belajar tidak melulu bertumpu pada pengetahuan atau ranah kognitif begitu kata para pakar, sebagai istilah kerennya. Belajar tidak hanya bikin murid-murid tahu macam-macam, hafal banyak hal dan hanya pintar menjawab.

Kurikulum 2013 berusaha mencapai 4 tujuan:

Pertama, melalui kegiatan belajar murid memiliki daya spiritual yang baik, menjadi manusia yang mampu bersyukur dan mampu memanfaatkan pengetahuannya untuk kebaikan sebagai tanggungjawabnya selaku makhluk Tuhan di bumi ini.

Tujuan kedua, melalui kegiatan  belajar murid memiliki sikap sosial yang baik (seperti jujur, peduli, bertanggung jawab, bertoleransi dan lain-lain). Tujuan ketiga, melalui kegiatan belajar murid memiliki pengetahuan dan cara berpikir yang baik (menjadi lebih pandai, kritis dan tajam). Tujuan keempat, melalui kegiatan belajar murid menjadi lebih terampil dan mampu mengimplementasikan pengetahuannya dalam perbuatan (mampu mencipta dan berkarya).

Dalam bahasan kurikulum, tujuan pertama menjadi Kompetensi Inti  (KI)-I. Tujuan kedua menjadi KI-II, tujuan ketiga menjadi KI-III, dan tujuan keempat menjadi KI-IV. Keempat kompetensi inti (KI) ini memiliki bobot yang sama, tiap KI ini menempati penghargaan yang sama, tidak ada satu dianggap lebih penting, lebih berharga, lebih dulu untuk dikejar dibanding yang lain.



Kalau kita bisa betul-betul melaksanakannya, artinya kegiatan belajar itu mestinya tidak hanya membuat anak menjadi pintar, hafal macam-macam, bisa jawab ini-itu. Tetapi melalui kegiatan belajar anak juga akan kreatif mencipta/berkarya, lebih santun, mandiri, bertanggung jawab pada sesama dan terhadap Sang Pencipta.

Masih bingung dengan istilah pembelajaran tematik? Tematik itu cuma istilah. Intinya kita kembali ke belajar berbasis aktivitas tadi. Aktivitas inilah yang kita bungkus dalam tema. Seperti mau bikin pesta ultah anak-anak yang kita kasih tema. Anggap saja temanya adalah "Laut dan Pantai". Maka sejak kita menyusun acara, dekorasi, kostum yang akan dipakai, lagu yang akan mengiringi bahkan sampai cinderamata yang akan dibagikan pun akan berhubungan dengan tema, yaitu suasana laut dan pantai.

Guna tema ini, kalau di dalam pesta ulang tahun, adalah untuk membangun suasana pesta menjadi lebih hidup, lebih dirasakan menyenangkan dan bermakna. Dengan tema ini, bukan tidak mungkin anak-anak yang hadir amat berkesan dan senantiasa ingat  dengan si pembawa acara yang memakai baju bajak laut, misalnya.

Kurang lebih sama dengan merancang kegiatan pesta bertema, merancang kegiatan belajar bertema juga akan menjadi  lebih menarik dan menyenangkan (baik untuk siswa maupun gurunya). Tema yang membungkus kegiatan belajar ini haruslah tema-tema yang memang berkaitan dengan lingkungan kehidupan siswa.

Dalam K13, tema-tema ini sudah tersedia dalam buku ajar guru yang disiapkan oleh pemerintah. Kalau para guru bisa lebih terbuka, tema-tema yang ada dalam buku ajar guru, sebenarnya hanya contoh agar guru lebih punya gambaran untuk merancang kegiatan belajarnya sendiri di kelasnya. Guru punya kebebasan untuk merancang aktivitas semenarik mungkin, bebas memanfaatkan lingkungan dan berbagai sumber belajar, media pembelajaran bisa tidak terbatas, belajar tidak hanya terpaku di dalam kelas.

Hanya saja syaratnya, guru memang harus memiliki cara berpikir yang terbuka, wawasannya luas,  kreatif, banyak idenya dan fleksibel.  Kalau saya analogikan, di sini guru bagaikan sutradara, motivator, pelakon, sekaligus juri dalam drama yang dipentaskan. Keuntungannya apa sih dari aktivitas belajar bertema ini? ….Excitement!!...letupan kegembiraan.. kegairahan belajar yang terbangun dalam jiwa-jiwa pembelajar muda.  

Bila kegairahan belajar ini terbangun, apapun yang ingin kita sampaikan pada anak-anak (siswa) menjadi jauh lebih mudah untuk diterima. Teori dari para ahli yang mempelajari cara otak manusia bekerja juga mengatakan demikian. Bila siswa lebih mudah menerima materi/informasi/pelajaran yang disampaikan, maka tujuan belajar (KI  I-IV) itu tentulah akan lebih mudah untuk dicapai. Setelah pemaparan ini coba tolong ditunjukkan poin mana yang berpotensi membuat anak menjadi kuli dan stres dalam K13?

K13 membuat anak kehilangan waktu dan bermain karena jam belajar yang panjang?

Perubahan tentang jam belajar memang ada, dari yang sebelumnya 32 jam/minggu, menjadi 38 jam/minggu. Penambahan jam belajar ini memang banyak yang memprotes. Kalau lebih teliti melihat silabusnya, memang ada penambahan jam sekitar 6 jam/minggunya. Tetapi, juga ada penyederhanaan materi yang dibuat lebih praktis dan menyangkut pada dunia/kehidupan anak. Jadi ini sama sekali tidak membebani siswa.

Dan, dengan metode belajar yang beraktivitas (bisa sambil bermain, berolahraga, mengadakan hari pasar, pergi ke kantor pos, melakukan percobaan-percobaan), maka kegiatan belajar yang panjang sebenarnya tidak akan terasa sebagai sesuatu yang membebani. Sama saja dengan kegiatan bermain bebas, anak-anak yang sedang bermain tidak akan merasakan waktu yang berlalu cepat karena ia merasakan sesuatu yang menyenangkan hati dan bermakna.  

Oleh karenanya, dengan jam belajar di sekolah yang 38 jam/minggu ini, sebaiknya siswa sudah tidak perlu lagi les atau mengikuti bimbel atau bentuk tambahan belajar lainnya. Agar hari libur dan waktu setelah pulang sekolah efektif untuk istirahat dan waktu bersama keluarga. 


Anak jadi kuli karena bawa buku yang banyak?

Dalam K13, anak tidak lagi membawa buku paket! Bawakan saja air minum dalam botol dan makan siang atau makanan ringan sebagai bekal untuk di sekolah. Selebihnya siswa tidak perlu membawa buku paket. Karena kegiatan belajar sudah dirancang dan dipersiapkan dengan baik oleh guru di sekolah. Lembar belajar sebagai alat bantu sebaiknya dipersiapkan oleh guru, dibuat/disusun sendiri oleh guru dalam bentuk worksheet (lembar kerja).  

Lembar kerja ini PENTING dibikin sendiri oleh guru dan difotokopi (diperbanyak sesuai dengan jumlah siswa di kelas) dikarenakan gurulah yang paling tahu tentang apa yang diolah dalam pembelajaran di kelas, bukan orang lain atau guru kelas sebelah atau guru yang disewa oleh penerbit!

Namun, orang tua diperlukan partsisipasinya untuk sekali-sekali membawakan media dari barang bekas yang mudah didapat untuk  kegiatan belajar, misal membawa botol bekas air mineral, kardus bekas susu, kaleng biscuit atau apa saja sesuai dengan kegiatan belajar anak. Atau bisa saja di suatu hari anak diminta untuk membawa novel atau buku cerita kesukaannya dari rumah untuk dipelajari di sekolah.

Karena media belajar tidak terpaku pada buku paket dari penerbit, maka guru sekarang dipersilakan sekreatif mungkin menciptakan dan merancang sendiri media belajarnya.

Memahami Prinsip Belajar

Memahami kurikulum 2013, intinya cara pandang kita terhadap belajar itu yang diubah. Memahami bahwa belajar adalah perubahan perilaku yang relatif menetap, maka belajar dalam konteks sekolah pun mengacu pada hal yang sama.  Kalau belajar sekadar bisa menjawab soal saat ujian dan keluar dari ruang ujian atau beberapa hari kemudian lalu lupa lagi, ini tidak termasuk dalam kategori belajar.   

Belajar tidak hanya mengacu pada penguasaan materi (content based), tetapi terlibat dalam proses kegiatan yang benar (ilmiah), sampai perilaku yang diharapkan benar-benar muncul dan terjadi. Anak dikatakan belajar berenang, apabila  proses perubahan perilaku berenangnya muncul/terjadi. Dari cara berenang sebelumnya yang kaku, tidak paham tekniknya, menjadi tahu, mencoba, berlatih dan mahir. Ketika perubahan perilakunya sudah terjadi, baru ia dikatakan telah belajar berenang.

Prinsip belajar dalam konteks sekolah dan akademik juga sama. Secara substansi, tidak ada perubahan mendasar antara K13 dengan kurikulum sebelumnya, yang dilakukan lebih pada penyederhanaan "content" yang tadinya banyak, bersifat teoritis, dirancang ulang menjadi lebih "praksis" yang menjadikan dunia nyata sebagai acuan dan referensinya. (Zulfikri Anas, "Ada Apa dengan Kurikulum 2013?").

"Menjadikan dunia nyata sebagai acuan dan referensinya". Ingatlah kata-kata kuncinya. Nama kurikulumnya: Kurikulum 2013, intinya adalah: Thematic Integrated. Basis pembelajarannnya: Kompetensi. Model pembelajarannya berbasis aktivitas dan melalui proses ilmiah.
 
Dalam thematic integrated, konten pengetahuan dan hal-hal yang akan diajarkan pada siswa tidak berdiri sendiri, tetapi harus terhubung dengan kehidupan nyata siswa. Tidak ada satu disiplin ilmu yang berdiri sendiri, tapi saling bersinergi  satu sama lain. Belajar bahasa tidak hanya untuk menguasai bahasa, atau bukan untuk bahasa itu sendiri.

Belajar bahasa artinya kita memelajari produk interaksi sosial (produk budaya-IPS), kita memelajari salah satu anugerah Tuhan YME (spiritual), jadinya kita bersyukur bahwa kita tercipta di dunia dilengkapi dengan bahasa, dengan rasa syukur itu kita akan berinteraksi dengan sesama melalui kata-kata yang baik (sikap sosial), bisa menyampaikan kebaikan/pemikiran melalui hasil karya tulis kita (bahasa dan sastra) dan sebagainya.   

Tuhan mewajibkan manusia agar mengamalkan ilmu. Bahkan salah satu amal yang tidak akan terputus alias abadi bagi si pelakunya adalah ilmu. Jadi manusia yang berilmu mestinya akan membawa kebaikan buat kehidupannya. Ilmu yang dipelajarinya bisa dipakai (implemented) dalam kehidupan sehari-harinya, dan tampil dalam sikap hidup pribadinya. Inilah yang menjadi dasar mengapa kurikulum ini dirancang menjadi lebih bersifat praksis dan aplikatif. Tidak teoritik (setidaknya dibandingkan kurikulum sebelumnya).


Itu kan konsepnya. Pelaksanaannya bagaimana?  Ilmu dunia ini, tersebar di alam dan jagad raya tak terbatas, tidak terbatas hanya pada yang tercetak di buku paket, yang biasa dibeli ayah bunda tiap tahun ajaran baru. Jadi, kalau memang benar melaksanakannya, mestinya ayah bunda tidak perlu lagi membeli buku-buku paket pelajaran dari penerbit yang kadang kalau dijumlah sampai ke angka jutaan rupiah.

Lantas, anak-anak belajar dari mana kalau tidak dari buku paket? Jawabannya: kreativitas pendidiklah yang menjadi faktor penentu. Ya oke, memang betul, buku adalah salah satu sumber belajar, tapi bukan satu-satunya. Dan bukunya juga bukan dari yang itu-itu juga, sama tiap tahun, ganti sampul saja. Sumber dan media belajar bisa dari mana saja. Bisa dari film/video, dari aktivitas yang dirancang, dari seluruh warga sekolah, dari kantin yang ada di sekitar sekolah, dari masyarakat sekitar sekolah, dari orang tua, dari televisi, berbagai media massa.

Aktivitas belajar inilah yang menjadi tumpuannya. Kesuksesan belajar tergantung bagaimana guru mampu mengintegrasikan konten-konten pengetahuan/ilmu dari beberapa mata pelajaran kedalam sebuah aktivitas (kegiatan) belajar yang menyenangkan dan amat bisa dipahami anak. Aktivitas belajar seperti ini amat nyata buat anak. Sifatnya sangat alamiah.

Lihat saja kegiatan bermain sehari-hari yang anak lakukan bersama teman sebayanya. Tentu kita semua pernah mengamati anak-anak bermain bukan? Melihat kegembiraannya? Melihat mereka memperoleh pengetahuan dari sekadar mengamati daun-daun yang mereka kumpulkan untuk bermain masak-masakan? Melihat cara mereka mengatasi keterbatasan, bagaimana mereka mengatasi konflik?

Lantas kemudian ada lagi orang tua yang bertanya. Belajar tematik ini hanya cocok untuk anak SD ya? Lalu bagaimana dengan siswa menengah? Tantangan generasi baru ini ke depannya adalah sejauh mana mereka bisa berkontribusi secara efektif pada dunia (pada perkembanganya, termasuk pada perubahannya dan kestabilannya). Kelak yang akan ditanya adalah "kamu sudah berbuat apa sebelumnya?" atau "saya bisa lihat portofolio anda?", bukan lagi "kamu lulusan mana?" atau "IPK kamu berapa?".   

Kemampuan bersinergi dan membuat jejaring merupakan keniscyaan dan mereka yang selfish dan excluded akan terasing dan tertinggal jauh meski pintar. Kurikulum interdisiplin ilmu ini berusaha menjawab tantangan dan kebutuhan masa depan. Setiap pendidik dari masing-masing disiplin ilmu mesti bergerak cepat membentuk sinergi satu sama lain. Setiap siswa digugah untuk tahu mengapa mereka belajar ini dan belajar itu.

Siswa bisa membuat hubungan antara konsep dengan ide-ide yang mereka kemukakan. Mereka tahu bagaimana menggunakan pengetahuannya dalam mengatasi lingkup persoalan hidupnya, persoalan-persoalan sosial di sekitarnya. Siswa mampu beradaptasi dengan bahagia di lingkungannya akibat pengetahuan yang mereka peroleh. Belajar akhirnya tidak dirasakan sebagai penjara, tetapi menjadi kebutuhan siswa karena mereka merasakan manfaatnya.  


Mungkin ada pertanyaan seperti ini: "Jadi yang dipelajari anak ini kayak main-main ya tidak mendalam? Terus bagaimana anak belajar konsepnya? Bagaimana kemampuan analisisnya?"

Dalam kegiatan pembelajaran bertema (yang kesannya seperti bermain atau kegiatan praktis-pragmatis) inilah sebetulnya anak-anak dilatih keterampilan analistisnya. Lewat prinsip 5M= mengamati, menanya, mengeksplorasi, mengasosiasi, dan mengomunikasi, bila anak belajar tentang Benda Hidup-Benda mati (living things-non living things), ia bisa langsung mengamati apa yang ada di sekitarnya, bisa di kebun sekolah.

Di kelas, anak bisa mengamati ikan di toples/akuarium atau tanaman yang dibawa di pot, setelah mengamati ciri-ciri, perbedaan dan persamaaan, lalu anak-anak digugah untuk bertanya, kemudian adakan eksperimen, buat kesimpulan, muncullah konsep atau pengetahuan baru. Terakhir kita tuliskan hasil yang dipelajari lewat tulisan atau lewat presentasi.  

Nah, kalau sebelumnya (pada metode belajar yang konvensional), siswa hanya ditanya dan ditanya oleh guru..terus  ´jump´ ke menjawab, siswa tidak dikasih kesempatan mengamati persoalan. Beri anak waktu  untuk mengeksplorasi, bereksperimen, melakukan pembuktian, dilatih untuk menghubungkan pengetahuan baru dengan pengetahuan yang sudah dimiliki, baru mampu menjawab atau mempresentasikan pengetahuannya.

Oleh karenanya, kegiatan belajarnya harus pragmatis dan mengait pada lingkup persoalan sehari-harinya siswa. Kalau  siswa sudah terampil dan benar alur berpikirnya, maka bila diberikan persoalan (materi) yang lebih mendalam siswa sudah mampu dengan melakukan analisa sendirinya.

Bagaimana orang tua membantu anak belajar di rumah? Kan tidak ada buku paketnya?

Mulai sekarang jauhkan konsep tentang buku paket pelajaran. Alam dan segala isinya adalah tempat kita belajar, termasuk hasil teknologi ciptaan manusia bisa kita manfaatkan untuk belajar.  Yang perlu diketahui oleh orang tua adalah indikator-indikator pencapaian yang akan atau harus diraih anak dalam pembelajaran. Indikator-indikator ini tertuang  di dalam RPP (rancangan pembelajaran atau lesson plan).

RPP ini yang membuat adalah guru, tetapi harus dikomunikasikan kepada orang tua lewat sebuah pertemuan orang tua-guru, di awal semester. Setelah orang tua menerima rancangan pembelajaran ini, maka ia akan tahu bahwa dalam sebulan ke depan anak akan belajar materi A, B, C, D…dan seterusnya. Dalam kegiatan A,B,C,D… dan seterusnya yang terbungkus dalam Tema X.  

Selanjutnya buat jalur komunikasi antara orang tua dan guru (misal bisa menggunakan sosial media, atau jalur komunikasi seperti bbm, whatssap, dan lain-lain atau menggunakan buku penghubung atau gunakan paguyuban) untuk memudahkan guru memberikan informasi terkait pembelajaran di sekolah.

Mungkin akan ada pertanyaan lagi seperti ini: "Terus siswa dapat nilai dari mana? Bagaimana guru menilai siswa kalau begitu? Terus kalau anaknya pintar nggak bisa lagi dapat ranking di kelas dong? Rugi dong anaknya?

Label peringkat atau ranking merupakan treatment yang salah dalam pendidikan. Pemberian label  tidak hanya merugikan mereka yang dapat label "bodoh" atau "juara paling buncit", tetapi juga merugikan siswa dengan label "pintar" atau "si juara kelas". Konsep diri yang baik dari diri siswa mesti terbentuk dari evaluasi yang tepat dan sehat. Disarankan untuk memberikan feedback (umpan balik) dibandingkan pujian atau julukan buruk.

Umpan balik lebih memberikan evaluasi yang mengarah ke fakta dan penjelasan dimana anak unggul dan dimana kekurangan yang masih perlu diperbaiki. Bila anak menunjukkan nilai ulangan 100 pada anda ibunya, beri umpan balik "Bagus! Ibu (ayah) senang sekali. Ibu (ayah) senang karena adik semalam sudah berusaha memahami pelajaran dengan baik". Hindari memberikan pujian "anak mama (papa) pintar!"

Hindari membuat asosiasi kepintaran dengan nilai/angka dalam ujian. Karena anak tidak selalu mendapat nilai baik, ada kalanya ia mengalami kegagalan atau situasi yang tidak menguntungkan. Bila nilai 100 diasosiasikan dengan kepintaran, maka nanti anak akan melabel dirinya dengan "bodoh" di kala ia mendapatkan nilai 40.

Mungkin masih ada pertanyaan lagi soal nilai misalnya: "Terus bagaimana sistem penilaiannya?

Memahami K13, tidak bisa dilepaskan dari bagian memahami bagaimana guru sebaiknya melakukan penilaian. Dalam kurikulum ini, evaluasi belajar dilakukan melalui apa yang disebut sebagai "Penilaian Otentik" atau "Authentic Assessment".  Berbeda dari era sebelumnya, dimana anak selalu dinilai "output"-nya melalui tes, dalam K13 ini, penilaian otentik lebih menitik beratkan pada "proses dan output" belajar.  

Definisinya: Penilaian otentik adalah proses mengamati, mengumpulkan (record) dan mendokumentasikan berbagai tugas dan aktifitas belajar siswa, terkait dengan bagaimana cara mereka melakukan aktivitas dan tugas tersebut serta bagaimana dampaknya terhadap perkembangan kemampuan belajar mereka.   

Intinya: Siswa harus mempraktikkan, ketimbang sekadar mengatakan apa yang mereka ketahui dan apa yang mereka mampu lakukan. 


Penilaian otentik dilakukan dengan menggunakan berbagai sumber dan berbagai metode, diantaranya:

Kidwatching: yaitu dengan cara memperhatikan bagaimana siswa belajar. Dalam hal ini guru mesti memiliki kemampuan observasi aktif yang baik. Sambil mengajar dan berkegiatan, ia juga harus memperhatikan dengan seksama bagaimana siswa belajar. Ada anak yang aktif bertanya dan bercerita tanpa diminta, ada anak yang sukanya hanya mengamati tak banyak bicara.  

Hal ini sesungguhnya tidak sulit, kami para psikolog amat mengandalkan pengamatan, dalam membuat sebuah assessment atau penilaian. Keunikan anak akan terpancar secara natural di dalam kelas, termasuk kebutuhan-kebutuhan mereka. Inilah yang harus direkam oleh guru dalam pengamatannya. Bisa gunakan alat bantu untuk mengatasi keterbatasan ingatan. Antara lain dengan lembar rubrik.
 
Keeping Track: yaitu mengumpulkan deskripsi data mentah individual siswa, untuk disimpulkan, diinterpretasikan dan dikuantifikasikan. Jadi dalam K13 bukan berarti tidak ada nilai ulangan atau nilai angka. Tetap ada. Hanya saja nilai atau angka yang diperoleh dalam ulangan/ujian adalah termasuk ke dalam data mentah. Data mentah tidak begitu saja dapat kita artikan untuk kemudian di-labelkan pada siswa.

Ia perlu disandingkan dengan berbagai data lainnya, termasuk juga data-data pelengkap untuk kemudian diinterpretasi. Data mentah bisa berupa: nilai harian dari worksheet (yang dibuat sendiri oleh guru, bukan dari buku LKS yang dibeli), ulangan harian, hasil observasi, data-data pelengkap dari guru BK, psikolog, laporan wawancara orang tua, dan lain-lain.

Ayah-bunda, bila selama ini kita hanya memperoleh hasil laporan belajar berupa deretan angka, yang didapat dari nilai-nilai ujian yang kemudian dirata-rata, kemudian kita melabelkan sesuatu pada anak-anak kita berdasarkan angka tersebut, kira-kira, adilkah kita?

Portfolio: pada hakikatnya, portofolio bertujuan untuk mengukur keterampilan-keterampilan, proses belajar dan pemahaman terhadap materi belajar yang bisa diamati melalui berbagai macam produk maupun bukti belajar siswa, dan disertai oleh deskripsi otentik (faktual).

Penilaian Naturalistik: membuat penilaian dari penampilan siswa sehari-hari dalam proses pembelajaran. Penilaian ini amat kaya dan terbuka bila dilakukan di sekolah-sekolah yang membebaskan siswanya berekspresi dalam hal berbusana maupun berpenampilan. Pada sekolah yang full memakai seragam, tetap masih memungkinkan dilakukan penilaian naturalis ini melalui atribut atau pun sikap keseharian siswa.

Kedua anak saya kebetulan bersekolah di dua sekolah yang berbeda dan kedua sekolah tersebut memberikan kesempatan bagi siswanya dalam tiga hari per satu minggunya untuk berpakaian bebas dan rapi. Bagi saya orang tuanya, mengamati bagaimana kedua putri tiap hari saya memilih-milih pakaian, memadupadankan atasan-bawahan dan sepatu, memberikan informasi yang cukup kaya tentang karakteristik dan perkembangan diri mereka. Bagi gurunya? Tentu beliau memiliki penilaian yang sama.

Performance Assessment (Unjuk kerja/kebolehan): membuat penilaian terhadap bagaimana siswa mengaplikasikan keterampilannya dalam berbagai situasi/konteks belajar. Dalam penilaian unjuk kerja ini siswa dituntut untuk tidak hanya mampu atau menguasai materi, tetapi juga terampil dalam mengaplikasikan pengetahuan untuk penyelesaian masalah serta terampil berkolaborasi dengan teman sekelas. Bisa berupa, proyek kelas/kelompok, melakukan  presentasi, pertunjukkan, proyek "hari pasar", dan lain lain.    

Self Assessment: dalam self assessment, siswa diminta untuk melakukan penilaian terhadap diri sendiri.  Bagaimana mereka menilai hasil kerja, keikutsertaan mereka dalam kegiatan belajar, dan apa yang mereka rasakan terhadap proses belajar. Caranya dengan memberikan lembar evaluasi berupa pertanyaan-pertanyaan seperti: "Apa yang kita pelajari hari ini? Bagaimana perasaanmu? Bagian mana yang dirasa paling sulit dilakukan? dan lain-lain.

Siswa diminta untuk menjawab, menggambar, atau melingkari atau memberikan komentar terhadap kegiatan belajar yang baru saja mereka lakukan. Kuncinya, self assessment ini harus dilakukan segera setelah kegiatan belajar selesai dilakukan, karena anak masih mengingat dan merasakan sensasi dari kegiatan yang baru saja dilakukan.  
 
Bila ada yang berpikir bahwa penilaian otentik ini amat berat untuk dilakukan, bagaimana dengan memulai untuk mencoba melakukannya? Yang amat perlu diperhatikan adalah MEMBUAT PERENCANAAN yang baik sebelum kegiatan pembelajaran dilakukan. Berbagai penilaian ini meski dilakukaan saat kegiatan pembelajaran berlangsung, tetapi bukan hal yang dilakukan begitu saja secara impulsif  tanpa perencanaan.

Beberapa sasaran/indikator harus telah ditetapkan guru, berbagai tools assessment telah dipersiapkan sebelumnya, alat-alat bantu pendukung pastikan ada di sekitar kegiatan, seperti kamera, lembar rubrik, alat tulis, dan sebagainya.

Proses terakhir setelah semua dokumen tiap siswa terkumpul, setiap tiga bulan guru bisa membuat rekapitulasi hasil perkembangan siswa, dan mengamati lagi bagaimana para siswa berproses, tumbuh dan belajar sepanjang mereka berada di kelas bapak/ibu guru.

Di akhir tahun pelajaran, penilaian otentik ini tidak hanya membahagiakan buat siswa dan orang tua, juga akan memberikan rasa haru dan perasaan berhasil bagi anda, bapak dan ibu gurunya. Karena cara pandang kita dalam menilai siswa tidak lagi sempit dan terpaku pada angka-angka maupun peringkat yang tidak bermakna apa-apa.

Tiap siswa jelas akan mengalami perubahan, kematangan diri dan penguasaan pengetahuan, sebesar atau sekecil apapun. Dan anda sebagai gurunya pasti akan merasa bangga bisa terlibat di dalamnya.

*) Penulis adalah seorang psikolog dan praktisi pendidikan

BACA JUGA: