Pada dasarnya pengelolaan sumber daya alam nasional harus merujuk pada amanat Pasal 33 UUD 1945 yaitu dikelola untuk kepentingan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Namun, sektor minyak dan gas (migas) yang sangat strategis tersebut, saat ini hanya mampu menyumbang pendapatan negara sebesar 19,7% terhadap APBN, masih nomor dua setelah sektor pajak, sehingga banyak pihak yang sangat berkepentingan dan ingin ambil bagian dalam bisnis migas.

Setelah 15 tahun era reformasi sejak tahun 1998, produksi minyak Indonesia masih 1,6 juta BPOD dan termasuk salah satu negara pengekspor minyak (OPEC). Tetapi dari tahun ke tahun, produksi minyak semakin memble, yakni sekitar 800.000814.000 BOPD dari target lifting ABPN 2013 sebesar 840.000 dengan cost recovery sebesar US$15 miliar. Kementerian ESDM pun hanya berani mematok proyeksi lifting 2014 sebesar 804.000 BPOD dengan usulan cost recovery US$19 miliar. Saat ini dari 300 KKKS (Kontraktor Kontrak Kerja Sama) di bawah naungan SKK Migas, hanya 75 KKKS yang berproduksi, selebihnya hanya diperdagangkan oleh pemburu rente migas.

Produksi minyak tahunan yang lebih besar dari hasil penemuan cadangan baru akan menyebabkan semakin berkurangnya cadangan migas kita. Data terakhir, rasio penemuan cadangan baru terhadap produksi 5 tahun terakhir hanya sekitar 50% RRR (Replacement Reserves Ratio), padahal idealnya 100%. Artinya kegiatan eksplorasi harus semakin digencarkan, kalau tidak, diperkirakan pada 2025 sektor migas kita bisa ambruk (collaps).

Sementara itu komsumsi BBM kita saat ini berkisar 1,6 juta barel per hari atau alokasi BBM subsidi 48 juta kiloliter dalam APBN-P 2013 adalah sebesar Rp200 triliun dan telah jebol subsidinya Rp24 triliun. Sementara itu subsidi listrik PLN sebesar Rp71 triliun, akan tetapi di beberapa daerah tetap saja terjadi byarpet. Konsumsi BBM ini terus meningkat dari waktu ke waktu sebesar 5-10% per tahun.

Sesuai laju pertumbuhan ekonomi, pemborosan akibat macet yang akut di beberapa kota besar di Indonesia serta maraknya penyelundupan BBM subsidi ke sektor pertambangan, perkebunan dan sebagai konsekuensinya, untuk memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri, Pemerintah melalui PT Pertamina harus melakukan impor minyak mentah dan BBM berapa pun harganya. Tiap harinya kita impor sekitar 800.000 barel, karena kapasitas kilang terpasang Pertamina saat ini 1.075.000 barel per hari tetapi disebabkan faktor usia kilang dan kinerjanya, hanya mampu mengolah minyak mentah sekitar 750.000-850.000 barel per hari.

Subsidi BBM tahun 2014 sudah ditetapkan dalam ABPN sebesar Rp210 triliun dan Bank Dunia sudah memprediksi akan jebol sekitar Rp56 triliun. Subsidi yang semakin membengkak dari waktu ke waktu dan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika (subsidi BBM di APBN dan APBNP disusun dengan asumsi nilai tukar rupiah per dolar Amerika Rp10.500) akan memperberat tekanan terhadap APBN-P 2014 dan tentu berdampak mengurangi anggaran pembangunan di beberapa sektor, seperti pendidikan, kesehatan dan perbaikan infrastruktur untuk menunjang pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi.

Akibat kekhawatiran yang tinggi oleh Pemerintah, pada 22-24 Maret 2014, Menko Perekenomian Hatta Rajasa mengeluarkan pernyataan di beberapa media yang sangat pedas kepada Pertamina dan Kementerian ESDM bahwa program RFID hanya omdo alias omong doang.

Pada 2006, Pemerintah telah mencanangkan program pembangunan pembangkit listrik 10.000 MW berbasiskan batubara dan gas untuk mengantisipasi krisis energi. Ironisnya, cadangan batubara kita hanya 6% dari total cadangan batubara dunia, tetapi saat ini kita malah menjadi eksportir nomor satu di dunia. Kalau ekspor ini tidak dikendalikan, tentu 10 tahun ke depan PLTU milik PLN dan swasta akan mengalami kesulitan bahan bakar.

Berdasarkan fakta tersebut di atas, kebijakan energi yang telah dilakukan oleh Pemerintah sejak reformasi perlu dievaluasi dan dikaji kembali. Tertangkap tangannya Rudi Rubiandini oleh KPK karena dugaan suap di SKK Migas setelah dibubarkannya BP Migas oleh Mahkamah Konstitusi pada 13 November 2012, ternyata merupakan puncak gunung es dari berbagai masalah mendasar di era BP Migas yang banyak disorot soal tidak transparan dan tidak efisiennya dalam mengelola cost recovery.

Dari persidangan suap pejabat SKK Migas terungkap bahwa banyak pihak yang diduga terlibat yaitu pejabat di ESDM, SKK Migas, oknum auditor BPK, sejumlah pengusaha/rekanan dan oknum anggota DPR Komisi VII semakin menguatkan dugaan bahwa korupsi di sektor migas sangat massif, terstruktur dan sistemik. Hanya persoalan waktu saja bagi KPK akan menetapkan para tersangka baru.

Demikian juga terungkap adanya upaya lobi untuk memenangkan PT Rekin yang menawar harga lebih tinggi dari PT Timas (didapat selisih US$400 juta, kalau ini terjadi akan merupakan potensi kerugian negara, dengan OE Proyek US$2,6 miliar ini berdasarkan asumsi nilai POD US$6,9 miliar-US$12 miliar) dalam proyek Indonesia Deepwater Develoment Chevron Kaltim. Ternyata di proses awalnya juga ada masalah dalam penentuan pemenang 4 paket pekerjaan Front End Engineering Design /FEED yang sempat ditelisik oleh KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) yang telah menemukan ketidakwajaran pihak Chevron Kaltim yang gugatannya sampai di Makamah Agung. Kita
dikagetkan dengan adanya usulan perubahan POD yang sangat fantastis dari hasil studi FEED yaitu merekomendasikan nilai POD kesatu tahun 2008 yang oleh Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro telah disetujui senilai US$6,9 miliar tetapi oleh SKK Migas diusulkan menjadi US$12 miliar pada Oktober 2013. Oleh Menteri ESDM Jero Wacik, permohonan tersebut telah dijawab pada 4 Febuari 2014 agar tetap mengacu pada harga POD pertama.

Menjadi pertanyaan besar bahwa SKK Migas melalui surat No. 0825/SKK00000/2013/S1 tertanggal 11 Oktober 2013 berani mengusulkan nilai yang fantastis ini. Diduga terjadi kongkalikong dengan sejumlah oknum anggota DPR Komisi VII untuk menyetujui usulan ini dengan kompensasi proyek-proyek 4 paket tersebut (unit produksi terapung, pusat pengeboran bawah laut, jalur pipa gas dan kondensat serta fasilitas penerimaan darat). Dugaan saya, modusnya hampir sama seperti proyek Hambalang.

Pada kenyataan, ada 12 proyek besar BP Migas pada anggaran 2010-2014 yang diduga berpotensi menjadi bancakan oleh mafia-mafia migas, antara lain:

1. Proyek EPCI sumur Banyu Urip Blok Cepu, Exxon Mobil (rencana produksi 165.000 BPOD tahun 2013 tertunda hingga November 2014 akibat keterlambatan pengerjaan 5 paket EPCI oleh para kontraktornya). Diduga bancakan dilakukan melalui subkontraktor dari perusahaan BUMN.

2. Blok Inpex-Masela sudah 5 tahun yang lalu disetujui POD-nya, akan tetapi sampai saat ini belum melakukan kegiatan apapun, malah kontrak PSC-nya yang akan berakhir tahun 2028, dengan sangat gencar pihak Inpex melobi pejabat ESDM pada tahun 2013 supaya PSC-nya diperpanjang.

3. Blok Tangguh Train 3 dengan operatornya BP Berau yang entah mengapa telah disetujui POD-nya senilai US$14,04 miliar oleh Menteri ESDM selaku Kepala Satuan Kerja Sementara Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas pada 29 November 2012 dan pada 12 Juli 2013 telah memberikan persetujuan skema pembiayaan pembangunan kilangnya dengan pola TBS, padahal BP Migas dalam surat usulan No. 0753/BPOOOO/2012/S1 tertanggal 17 Oktober 2012 di poin 4 secara tegas menyatakan skema pembiayaan TBS tidak dikenal dalam UU Migas Nomor 22/2001 Pasal 6 C yang berbunyi: modal dan risiko seluruhnya ditanggung badan usaha tetap atau bentuk usaha tetap dan berdasarkan Term and condition PSC Standar Trustee borrowing scheme (TBS) tidak dikenal dan menggerus penerimaaan negara. Jadi patut diduga tindakan ini melanggar UU Migas.

Seperti diketahui di dalam anggota konsorsium BP Berau tersebut, CNOOC sebagai pemegang saham 13,8% di Proyek Tangguh Train 1 tahun 2002. Pemerintah Indonesia cq Menteri ESDM yang dijabat oleh Purnomo Yusgiantoro telah menandatangani jual beli gas dengan harga US$2,5/MMBTU dengan volume 2,6 juta ton per tahun sampai dengan tahun 2029 dengan CNOOC Fujian (parameter harga jual berpatokan pada batas atas minyak mentah US$25 per barel) dan baru berhasil dinegosiasikan oleh Wapres Jusuf Kalla pada tahun 2006 menjadi harga kontrak US$3,35 per MMBTU dengan patokan harga minyak mentah US$38 per barel di saat harga minyak mentah sudah sekitar US$100 per barel. Sampai saat ini belum berhasil dinegosiasikan ulang oleh Pemerintah kita, sementara itu asumsi harga jual gas Tangguh train 3 tahun 2013 sudah mencapai harga US$12,1- 12,7/MMBTU. Silakan hitung berapa potensi kerugian negara sampai dengan berakhirnya kontrak tahun 2029. Seharusnya momen persetujuan POD Tangguh Train 3 digunakan oleh Menteri ESDM untuk menekan CNOOC agar merevisi harga kontrak Tangguh Train 1 yang sangat merugikan negara (mengapa langkah ini tidak dilakukan?).

4. Indonesia Deepwater Develoment Chevron Indonesia, Kaltim (sudah diuraikan di depan).

5. Proyek Donggi Senoro JOB Pertamina-Medco Timori (infonya lagi ditelisik penegak hukum).

6. AnderAnde Lumut–AWE (Norwest Natuna) Pte. Ltd.

7. North Duri Development 13 (NDD-13) PT Chevron Pasific Indonesia.

8. Corridor – Conoco Philips Grissik Ltd.

9. Ruby–Pearl Oil (Sebuku ) ltd

10. Kepondang – PC Muriah Ltd.

11. Jangkrik dan Jangkrik North East (JNE)- Eni Muara Bakau BV

12. Bukit Tua Ketapang – PC Ketapang ltd.

Anehnya pada awal tahun 2014, Badan Pemeriksa Keuangan RI memberikan predikat WTP terhadap kinerja BP Migas/SKK Migas untuk periode 2012-2013. Sementara itu pejabat BPK Bahrul Alam berkoar-koar di media pada 28 oktober 2013 bahwa ada temuan besar dugaan korupsi FSO Joko Tole dan sewa gedung Wisma Mulia sebagai kantor SKK Migas dan BPK memiliki catatan hasil auditnya dugaan mark up sejak jaman BP Migas R. Priyono hingga SKK Migas sekitar Rp7 triliun. Fakta persidangan Rudi Rubiandini 18 Maret 2014 terungkap adanya aliran dana ke oknum auditor BPK, inilah juga menjadi pertanyaan besar kita apakah pejabat auditor BPK RI masih kita percayai kredibilitasnya?

Kebijakan Pemerintah tentang konversi minyak tanah ke LPG perlu dievaluasi. Pada tahun 2006 Pemerintah telah memutuskan program konversi penggunaan minyak tanah ke LPG yang dikomandoi oleh Wapres Jusuf Kalla, yang pada saat itu beban subsidi sudah mencapai Rp25 triliun setiap tahunnya untuk pemakaian 12 juta kilo liter. Semua itu berdasarkan asumsi harga minyak mentah dunia yang sempat melambung pada tahun 2007-2008 sampai US$147/barel.

Sejak dilakukan konversi ke LPG maka kebutuhan LPG nasional mengalami peningkatan secara signifikan dari tahun ke tahun dan pada tahun 2013 sudah mencapai sekitar 5 juta ton sebagai bahan bakar industri, perhotelan, rumah sakit, penghuni apartemen, rumah tangga dan restoran serta pedagang kaki lima. Memang menggunakan LPG tentu dan pasti lebih menguntungkan dibandingkan dengan menggunakan BBM, walaupun selisihnya relatif kecil. Sementara itu harga LPG meningkat terus mengikuti harga minyak seperti kerosene dan solar.

Produksi LPG dalam negeri saat ini baru sekitar 2 juta ton per tahun, sehingga kita harus mengimpor LPG sekitar 3 juta ton per tahun dan akan meningkat volume dan harganya terus dari waktu ke waktu berdasarkan harga pasaran internasional.

Akan tetapi kita dikagetkan oleh kebijakan PT Pertamina pada awal tahun 2014 atas rekomendasi BPK yang menaikan harga LPG rata-rata sebesar Rp40.00/kg dan akhirnya karena timbul gejolak di masyarakat maka dikoreksi lagi oleh PT Pertamina dengan hanya menaikkan Rp1.000/kg dan secara berkala akan tetap dinaikkan untuk mencapai harga keekonomian harga jual LPG 12 kg dan 50 kg.

Menurut rencana jangka panjang Pertamina, semakin meningkatnya impor LPG akan meningkatkan subsidi LPG mencapai Rp36,77 triliun dan temuan BPK pada LHP tahun 2014 kerugian bisnis Pertamina utk LPG Galon (12 kg) dan Jumbo (50 kg) adalah Rp7,73 triliun.

Kalau begini ternyata samimawon dengan dulu kita menggunakan minyak tanah, apalagi konversi LPG ini telah banyak investasi tabung LPG sebanyak 140 juta dan aksesorisnya, serta membangun infrastruktur seperti terminal penampung, kapal terapung penampung LPG serta depo umumnya di banyak negara di dunia ini LPG digunakan sebagai bahan baku petrokimia seperti bahan baku plastik, nilon tekstil, cat dll. Jadi seharusnya konversi itu menggunakan gas alam yang relatif jauh lebih murah ketimbang menggunakan LPG.

Pertamina dan PGN harus bahu membahu membangun infrastruktur gas dan tugas PGN-lah yang mendistribusikan untuk kebutuhan rumah tangga, perhotelan, kawasan Industri, pembangkit listrik tenaga gas serta transportasi umum BBG. Kalau ini yang dikerjakan dijamin PGN maupun Pertamina tidak rugi menjalankan bisnis gas, karena harga gas alam yang dialirkan melalui pipa, jadi negara tidak perlu memberi subsidi untuk LPG dan bahkan impor BBM akan berkurang serta akan meringankan beban rakyat dengan harga gas alam yang relatif lebih murah.

Fakta ini semakin memperlihatkan selama ini kebijakan di bidang migas salah kaprah dalam menentukan alokasi gas untuk kepentingan domestik pada setiap persetujuan POD dan kontrak PSC. Suatu hal yang sangat kontradiktif di Blok Tangguh Train 1 dan Train 2 semua gasnya diekspor 100%, sementara PT Pertamina pada berita di koran Media Indonesia 19 Maret 2014 hal 19: Pertamina cari Pemasok LNG untuk memenuhi kebutuhan 3 juta ton per tahun. Coba bandingkan harga kontrak beli gas oleh Pertamina dengan harga kontrak blok Tannguh Train 1-2 yang sudah dilakukan Pemerintah dengan CNOOC Fujian China.

Sudah seharusnya kalau kebijakan ini dilakukan, Kementerian ESDM dan SKK Migas dalam menyetujui kontrak PSC dan POD mendatang, harus mengalokasi kebutuhan gas dalam negeri - Para stakeholder Migas tidak menjalankan tugas dan fungsinya seperti yang diamanatkan undang-undang dan Peraturan Pemerintah serta telah terjadi konflik kepentingan di antara stakeholder dan dijadikan bancakan mafia mafia migas dan oknum pengawas dan penegak hukum sebagai ATM.

- Penegak Hukum (khususnya KPK ) diharapkan lebih serius menilisik semua proyek-proyek besar semasa BP Migas sampai dengan SKK Migas yang diduga sarat dengan KKN.

- Dapat dikatakan saat ini pejabat-pejabat Migas yang sudah terindikasi ikut terlibat dalam kasus suap semasa BP Migas dan SKK Migas sudah tidak dapat bekerja fokus untuk meningkatkan lifting migas, karena setiap saat yang ada dalam pikirannya adalah bagaimana dia bisa lolos dari jeratan menjadi tersangka oleh KPK dan penegak hukum lainnya.

- Kontrak jual gas blok Tangguh Train 1, Train 2 dan Train 3 diduga sudah memenuhi unsur perbuatan melawan hukum, merugikan negara dan ada pihak yang menerima keuntungan, sehingga pihak penegak hukum sudah bisa melakukan upaya penyelidikan dan penyidikan.

- Alokasi gas untuk kepentingan domestik adalah di atas 50% demi kemandirian energi.

1. Kebijakan tata kelola migas harus dibuat semuanya prioritas tinggi untuk kepentingan nasional.

2. Segera mereformasi semua pejabat migas yang telah terindikasi KKN sejak era BP Migas.

3. Semua proses bisnis migas harus dikelola secara transparan, akuntabel dan fair sesuai Undang-Undang dan Peraturan Peraturan yang berlaku oleh insan migas yang profesional, berintegritas dan memiliki jiwa nasionalis yang tinggi untuk kepentingan bangsa dan negara.

4. Semua stakeholder harus sepakat berkomitmen melakukan tindakan pengawasan yang kontinu dan fokus agar semua program mencapai sasaran.

5. ke depan untuk kebutuhan energi listrik, Pemerintah harus lebih serius dan fokus terhadap optimalisasi pemanfaatan energi baru yang terbarukan seperti Panas Bumi (LTP), dan berikutnya PLTGU, PLTA, PLTMH dan PLT Matahari yang relatif melimpah.

6. Untuk menghindari konflik kepentingan maka pada pelaksanaan proyek-proyek migas dihindari kontraktor yang sama pada pelaksanaan pekerjaan FEED tetapi bekerja juga di EPCI.

7. Tata ruang Nasional harus segera disahkan oleh Pemerintah, karena sumber-sumber energi relatif banyak terletak di dalam kawasan hutan, yang kementerian kehutanan harus mempercepat proses pinjam pakai lahan untuk kegiatan eksplorasi dengan tetap memperhatikan dampak lingkungan yang akan terjadi dapat diminimalisir.

8. Kementerian ESDM memprediksi di tahun 2020 angka impor minyak akan mencapai 1,8 juta BPOD.

Yusri Usman
Pemerhati Kebijakan Energi Nasional

 

 

BACA JUGA: