Oleh: Taswa Witular (Kang Away) *)

Keputusan politik yang diambil Hutomo Mandala Putra (Tommy Soeharto) untuk tidak ikut serta dalam kontestasi perebutan kursi ketua umum Partai Golongan Karya (Golkar) pada Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Golkar, menarik untuk ditelaah. Setiap tanda menjadi makna.

Menarik, karena wacana Munaslub yang muncul pada awal tahun 2015 itu sendiri adalah ide dari Tommy dengan harapan bisa menyatukan dua kubu yang tengah berseteru (Aburizal Bakrie vs Agung Laksono). Wacana ini kemudian menyeret banyak kalangan untuk menarik hipotesis bahwa Tommy akan memanfaatkan momen tersebut untuk menjadi pucuk pimpinan partai penguasa Orde Baru itu.

Hal tersebut dikuatkan lagi dengan fakta tatkala disepakati akan dilakukannya Munaslub Golkar sebagai hasil putusan tim transisi "penyelamatan" Partai Golkar pada awal tahun 2016, nama Tommy kian santer dibicarakan. Selanjutnya, sebagaimana para caketum lainnya, Tommy pun membentuk tim sukses.

Menjelang detik-detik pelaksanaan Munaslub, dimana agenda utamanya adalah pemilihan ketua umum, Tommy pun mengambil formulir pendaftaran calon ketua umum. Namun mengejutkan, hingga akhir waktu pendaftaran caketum (4 Mei 2016, pukul 24.00 WIB) Tommy tidak mengembalikan formulir dimaksud alias batal mencalonkan diri.

Tommy beralasan, saat ini bukan momen yang tepat baginya untuk menjadi ketua umum partai warisan bapaknya itu. Pertanyaannya, seperti apakah momen yang dia nilai tepat baginya? Dari cuap-cuapnya di media, putra mahkota Cendana ini membuat kesan bahwa pembatalan itu karena faktor ketidaksetujuannya terhadap syarat caketum yang diwajibkan membayar biaya pendaftaran sebesar Rp1 miliar dan memberikan sumbangan untuk pelaksanaan Munaslub (saat itu panitia Munaslub belum menghapus syarat iuran calon ketum).

Alasan Tommy itu sangat tidak masuk logika. Pertama, Tommy adalah pengusaha dan bisa dikatakan uang bukanlah masalah baginya. Kedua, Tommy dibesarkan dalam stigma politik Orba di mana hal-hal yang sifatnya politik transaksional bukan lagi pengalaman baru. Saya memaknai alasan Tommy tersebut tidak lebih dari upaya dia untuk "mencuci" citra yang melekat pada dirinya sebagai bagian dari visi politik yang dia jalankan. Ketiga, Steering Committee (SC) sebagai panitia Munaslub diisi oleh orang-orang yang paham organisasi dan paham peraturan keuangan partai politik. Artinya, bila dipandang dari sudut hukum dan atau AD/ART Partai Golkar, maka kewajiban iuran bagi para caketum tersebut sah-sah saja (maksimal Rp1 miliar).

Demikian pula menyangkut poin sumbangan yang harus diberikan oleh caketum. Apakah Tommy bisa menyangkal bahwa keberlangsungan sebuah event partai ataupun keberhasilan sebuah partai itu tidak lepas dari kekuatan finansial? Apakah pula Tommy tidak paham peraturan organisasi Partai Golkar (AD/ART)? Lagi-lagi, ini hanyalah sebuah manuver politik yang Tommy lakukan.

Pihak SC sendiri dalam hal ini sebenarnya harus mengakui tidak cantik dalam menghimpun dana. Pencantuman kewajiban setoran bagi caketum yang ditulis serta dipublikasikan ke kalangan eksternal bisa menimbulkan opini negatif yang jauh lebih dahsyat daripada sekadar kesan sebagai "partai kaya". Lantas apakah jika tidak ada syarat setoran bagi caketum, Tommy akan tetap maju?

Bila kita putar ulang alur kejadian sebelumnya, maka akan tersimpulkan satu makna atas pembatalan Tommy sebagai caketum. Kita perhatikan, hingga tanggal akhir April 2016, Tommy dikabarkan tidak akan mencalonkan diri. Pada 28 April malam, Tommy dikunjungi Ade Komarudin dalam kapasitas sebagai caketum. Disinyalir, Ade meminta dukungan dari Tommy. Namun, sinyalemen tersebut terbantahkan ketika 3 Mei, Tommy melalui Timsesnya mengambil formulir pendaftaran caketum. Pada 5 Mei, Tommy membatalkan pencalonan.

Politik memang indah. Mundur ke belakang, maju ke depan. Kadang nyerong bahkan nyatu dengan warna lain. Dari alur tersebut saya mencatat komitmen yang diungkap antara Ade dan Tommy dari pertemuannya yakni kesepakatan mereka untuk mengembalikan Golkar pada ideologi kekaryaan, menjauhi premanisme dan materialistik dalam pengelolaannya (komitmen tidak terungkap bisa berupa dukungan finansial Tommy kepada Ade).

Jelas, komitmen terungkap adalah upaya pembersihan citra pada diri Tommy yang disangkakan pernah melakukan pembunuhan. Adapun pengambilan formulir pendaftaran caketum, bisa saja hanya sekadar untuk mematahkan opini arah dukungan Tommy kepada Ade dan atau bentuk pantauan Tommy terhadap perkembangan Munaslub.

Mundurnya Tommy dari pencalonan caketum bukan berarti dia akan meninggalkan Golkar. Bagaimanapun Golkar adalah partai peninggalan bapaknya. Politik memang mengincar kekuasaan. Menjadi ketua umum partai adalah loncatan menuju RI-1. Jika momen ini tidak diambil oleh Tommy, tertutupkah peluangnya pada Pilpres 2019? Tentu saja tidak!

Politik mewariskan cara untuk bisa mengambil manfaat yang sebesar-besarnya dari teman maupun lawan. Pernyataan Tommy yang mengatakan ini bukan momen yang tepat memang benar. Namun alasannya itu yang belum tentu sesuai dengan nurani Tommy.

Saat ini Bagi dia untuk menuju RI-1 melalui usungan Golkar tidak harus menjadi ketumnya. Meski tidak aktif sebagai pengurus DPP Partai Golkar, keberadaan Tommy masih cukup kuat dalam internal partai. Faktanya, ide Munaslub muncul dari Tommy. Jika pun menjadi ketum Golkar bukan berarti memuluskannya menjadi capres. Tommy terganjal larangan menjadi pejabat publik karena pernah divonis lebih dari 5 tahun penjara (tahun 2002 Tommy divonis 10 tahun penjara atas kasus kepemilikan senjata ilegal dan pembunuhan hakim agung).

Memikirkan bagaimana menjadikan Ade yang saat ini menjadi ketua lembaga produsen undang-undang menjadi ketum Golkar adalah strategi yang harus dia tempuh. Ketika dia berhasil menghantarkan Ade menjadi ketum maka Ade harus membayarnya dengan melakukan revisi pada beberapa undang-undang yang semula menghambat laju sang mantan terpidana ini sebagai capres hingga bisa melapangkan tujuan akhir sang putra kesayangan politikus nomor satu Orba itu.

*) Penulis dikenal sebagai Konsultan Politik dari Subang, Jawa Barat

BACA JUGA: