Oleh: Abdanial Malakan, S.H., M.H. *)

Kepolisian Republik Indonesia bukanlah semacam lembaga perbankan yang menyediakan fasilitas nasabah prioritas bagi para pengendara motor gede (moge) yang mendapatkan pengawalan voorijder. Dalam hukum berlalu lintas di jalan raya, setiap warga negara memiliki kesamaan derajat.

Kerap kali kita melihat ambulans yang jelas-jelas membawa muatan orang sakit atau jenazah korban kecelakaan harus bersusah payah dan terseok-seok menerobos kemacetan di jalan raya tanpa ada pengawalan voorijder dari polisi. Padahal jelas bahwa ambulans yang membawa muatan orang sakit untuk segera mendapatkan tindakan medis di rumah sakit yang dituju atau pun jenazah yang segera dibawa ke rumah duka tersebut adalah prioritas. Polisi lalu lintas yang berada di jalan raya pun sering kali hanya berdiam diri tanpa mengambil inisiatif untuk melakukan pengawalan terhadap ambulans tersebut.

Akun media sosial Divisi Humas Mabes Polri telah mengeluarkan rilis untuk merespons peristiwa ketika pengendara sepeda menghadang konvoi moge yang menerabas lampu merah di Yogyakarta. Tindakan tersebut bertujuan untuk mengingatkan pengendara moge yang menggunakan pengawalan polisi agar menghormati aturan lalu lintas dan pengguna jalan lainnya demi keselamatan bersama di jalan raya.

​Dalam rilis tertanggal 16 Agustus 2015 pukul 13.46 WIB itu dinyatakan bahwa tindakan pesepeda yang bernama Elanto Wijoyono itu telah melakukan penghentian paksa terhadap pengawalan polisi yang telah sesuai prosedur. Pernyataan tersebut jelas dapat mencederai semangat penegakan hukum yakni asas equality before the law (kesamaan kedudukan di mata hukum). Layak untuk dipertanyakan kembali, apakah asas itu masih berlaku di negara ini.

​Masih di dalam akun resmi tersebut dijelaskan bahwa bahwa tindakan seseorang yang mengingatkan untuk tertib berlalu lintas dan memiliki goodwill seperti Elanto janganlah ditiru. Ini benar-benar pernyataan yang akan membuat rakyat Indonesia akan enggan bahkan takut untuk melakukan kewajibannya sebagai seorang warga negara yang baik dan menjunjung tinggi supremasi hukum.

​Masih dalam rilisnya, Polri menyatakan bahwa tindakan patwal moge di Yogyakarta sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Polri mendasarkan tindakan mereka pada Pasal 134 huruf g UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan jo. Pasal 18 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian jo. Pasal 1 angka 10 Peraturan Kapolri (PERKAP) Nomor 10 Tahun 2012 tentang Pengaturan Lalu Lintas dalam Keadaan Tertentu.

Penafsiran Hukum
​Mari kita kupas lebih lanjut tentang dasar pihak kepolisian melakukan pengawalan/voorijder tersebut melalui uraian dari pasal-pasal tersebut.

Pasal 134 huruf g UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menyatakan bahwa pengguna jalan yang memperoleh hak utama untuk didahulukan dengan urutan sebagai berikut:
a. Kendaraan pemadam kebakaran yang sedang melaksanakan tugas;
b. Ambulans yang mengangkut orang sakit;
c. Kendaraan untuk memberikan pertolongan pada kecelakaan lalu lintas;
d. Kendaraan pimpinan lembaga negara Republik Indonesia;
e. Kendaraan pimpinan dan pejabat negara asing serta lembaga internasional yang menjadi tamu negara;
f. Iring-iringan pengantar jenazah;
g. Konvoi dan/atau kendaraan untuk kepentingan tertentu menurut pertimbangan petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Penjelasan Pasal 134 huruf g UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan memberikan batasan definisi kepentingan tertentu dengan arti kepentingan yang memerlukan penanganan segera, antara lain kendaraan untuk penanganan ancaman bom, kendaraan pengangkut pasukan, kendaraan untuk penanganan huru-hara, dan kendaraan untuk penanganan bencana alam.

Masih di dalam undang-undang yang sama, pada Pasal 135 dipaparkan soal apa saja hak utama yang didapat, yaitu pengawalan petugas kepolisian dan atau penggunaan isyarat lampu merah atau biru dan bunyi sirene.

​Selanjutnya yang dianggap menjadi dasar dibenarkannya pengawalan terhadap konvoi moge yang dilakukan oleh polisi adalah Pasal 18 Ayat (1) UU Kepolisian yang menyatakan untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri. Oleh karenanya tindakan pengaturan lalu lintas demi kepentingan patwal moge di Yogyakarta atau tindakan patwal-patwal lainnya seperti dikemukakan Polri itu adalah sah dan sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Mengenai diskresi yang berdasarkan pada Pasal 18 Ayat (2) UU Kepolisian dibatasi hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

​Jika mengacu pada penjelasan tersebut, ada yang kurang dari penjelasan Mabes Polri tersebut di mana tafsir autentik Pasal 134 huruf g UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang termaktub dalam penjelasan pasal tersebut dan catatan penjelas dalam Pasal 18 Ayat (2) UU Kepolisian mengenai batasan diskresi kepolisian tidak dicantumkan dalam rilis akun resmi milik divisi Humas Mabes Polri.

Jika kita mengacu Pasal 31 UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, penggunaan diskresi yang tidak sesuai dengan tujuan wewenang dan bertentangan dengan asas umum pemerintahan yang baik dapat dikategorikan sebagai diskresi yang mencampuradukkan wewenang yang secara hukum dapat dibatalkan.

Berkaca dari kasus di Yogyakarta tersebut, ​pihak kepolisian dituntut untuk lebih peka terhadap kondisi sosial di masyarakat dan tetap melayani dengan prinsip sebagai pengayom masyarakat. Agar Polri dicintai oleh seluruh warga negara Indonesia tanpa terkecuali dan tetap terjaga kewibawaannya maka janganlah menggunakan kewenangan tanpa mempertimbangkan acuan hukum dan realitas sosial masyarakat.

*) Penulis adalah advokat dan penasihat hukum

BACA JUGA: