Oleh: Eka Martiana Wulansari, S.H., M.H. *)

Meningkatnya kasus kejahatan seksual terhadap anak-anak membuat pemerintah mencari cara agar para pelaku jera. Berdasarkan hasil survei nasional Kekerasan Terhadap Anak (KTA), prevalensi kekerasan seksual terhadap anak umur 18-24 tahun adalah 6,36% laki-laki dan 6,28% perempuan, sedangkan pada umur 13-17 tahun adalah 8,3% laki-laki dan 4,11% perempuan.

Sudah menjadi tugas negara untuk melindungi anak-anak dari kejahatan sosial yang dapat menimbulkan dampak negatif bagi korban. Pemerintah memandang sangat serius terhadap kejahatan kekerasan terhadap anak, terutama kekerasan seksual. Untuk itu, pemerintah memandang perlu melakukan terobosan untuk menimbulkan efek jera terhadap pelaku kejahatan seksual terhadap anak, yaitu dengan memberikan pemberatan hukuman kepada pelaku kekerasan seksual kepada anak. Pemberatan hukuman tersebut berupa kebiri kimia.

Terhadap sanksi berupa pemberatan hukuman berupa kebiri kimia, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak saat ini masih mengkaji dan masih menyusun draf hukuman kebiri kimia bersama kementerian terkait. Hukuman kebiri kimiawi juga didukung oleh Kementerian Hukum dan HAM. Menurut Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, kejahatan seksual terhadap anak sangat mengancam masa depan bangsa khususnya terhadap moral bangsa, untuk itu kajian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang/Perppu perlu segera dilakukan.

Saat ini Indonesia belum memiliki undang-undang khusus tentang pelaku kejahatan seksual terhadap anak. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Susana Yembise menegaskan hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak akan dikaji secara mendalam agar tidak bertentangan dengan masyarakat. Pengkajian akan dilakukan dari berbagai aspek, mulai dari psikologis, biologis, agama, hingga budaya.

Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa juga menyatakan penyusunan draf rancangan hukuman kebiri terhadap pelaku kekerasan seksual anak dipastikan terus berjalan dan saat ini sedang diproses. Hukuman kebiri tersebut diwujudkan dalam Perppu.

Tujuan dari pidana kebiri terhadap kasus kejahatan seksual terhadap anak adalah sebagai pemberatan hukuman. Selain itu pidana kebiri juga merupakan proses pengobatan bagi para pelaku yang sadar akan kelainannya. Karena yang bersangkutan telah sadar diri, jika ia tidak mampu mengendalikan libidonya maka akan menimbulkan korban.

Pemberatan hukuman dengan pidana kebiri telah menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Apalagi pidana tersebut belum pernah dilakukan di Indonesia, meskipun pemberatan hukuman dengan pidana kebiri bukan hal yang baru di sejumlah negara maju.

DEFINISI UMUM - Kebiri, disebut juga pengebirian atau kastrasi, adalah tindakan bedah dan/atau menggunakan bahan kimia yang bertujuan untuk mengilangkan fungsi tesis pada jantan atau fungsi ovarium pada betina. Pengebirian dapat dilakukan baik pada hewan maupun manusia. Praktik pengebirian sudah dilakukan manusia bahkan jauh sebelum tercatat dalam sejarah.

Kebiri kadangkala dilakukan atas dasar alasan keagamaan atau sosial budaya tertentu di Eropa, Timur Tengah, Asia Selatan, Afrika, dan Asia Timur. Setelah peperangan, pemenang biasanya mengebiri dengan memotong penis dan testis mayat prajurit yang telah dikalahkan sebagai tindakan simbolis, yaitu merampas kekuatan dan keperkasaan mereka. Laki-laki yang dikebiri (orang kasim) biasanya dipekerjakan dan diterima pada kelas sosial istimewa, dan biasanya menjadi pegawai birokrasi atau rumah tangga istana, khususnya harem.

Pengebirian juga muncul dalam dunia keagamaan. Tapi beberapa agama seperti agama Yahudi melarang praktik ini. Kitab Imamat secara khusus melarang orang kasim atau yang alat kelaminnya cacat untuk masuk menjadi biarawan Katolik. Sebagaimana tradisi sebelumnya melarang hewan kebiri untuk dikorbankan.

Dalam sejarah Tiongkok, orang kasim atau disebut sida-sida, diketahui memegang kekuasaan yang cukup besar di istana, terkadang merebut kekuasaan dari kaisar yang sah, seperti disebutkan dalam sejarah Dinasti Han, dan masa menjelang akhir Dinasti Ming. Peristiwa yang sama juga dilaporkan terjadi di Timur Tengah.

Pada masa purba, pengebirian juga melibatkan pemotongan seluruh alat kelamin pria, baik testis maupun penis. Praktik ini sangat berbahaya dan kerap mengakibatkan kematian akibat pendarahan hebat atau infeksi, sehingga dalam beberapa kebudayaan, seperti kekaisaran Byzantium, pengebirian disamakan dengan hukuman mati. Pemotongan hanya pada testisnya saja dapat mengurangi risiko kematian.

Pembedahan untuk mengangkat kedua testis atau pengebirian secara kimia secara medis mungkin dilakukan sebagai prosedur pengobatan kanker prostat. Pengobatan dengan mengurangi atau menghilangkan asupan hormon testosteron baik secara kimia ataupun bedah dilakukan untuk memperlambat perkembangan kanker. Hilangnya tesis yang berarti hilangnya pula hormon testosteron mengurangi hasrat seksual, obsesi, dan perilaku seksual.

Kaum transeksual laki-laki yang merasa dirinya perempuan ada yang menjalani prosedur orcheiktomi, penghilangan alat kelamin laki-laki, sebagai bagian dari operasi ganti kelamin dari laki-laki menjadi perempuan.

PENGERTIAN MEDIS - Berdasarkan kenyataan dalam perspektif korban, korban dari kejahatan seksual terhadap anak atau paedofil, menurut studi sistematik kedokteran dan psikologi, selain mengalami kematian dan sakit fisik, mereka juga telah menderita perilaku seksual berisiko/menyimpang, sindoma nyeri menahun, gelisah, kelainan kejiwaan depresif termasuk post traumatic stress disorder, penyalahgunaan obat, percobaan bunuh diri dan perilaku seksual agresif.

Menurut pandangan medis/kedokteran, kebiri atau dalam istilah asing dikenal dengan castration merupakan suatu tindakan, baik melaui pembedahan maupun secara kimia, dimana seorang laki-laki kehilangan fungsi dari testis untuk memproduksi hormon testoteron.

Dalam praktek kedokteran teknis medis, kebiri dapat dibagi menjadi dua, yaitu:

Pembedahan:
- kedua belah pelir (testis) diangkat via operasi;
- produsen testosteron terbanyak pada laki-laki, sifatnya permanen (nir-pulih);
- koreksi efek samping dengan suplamen tertosteron jangka lama/seumur hidup.

Kimiawi:
- pria disuntik obat testosteron secara berkala setiap 3 bulan;
- mengurangi/menghambat produksi testosteron;
- sifatnya sementara (dapat pulih);
- koreksi efek samping dengan dihentikan pemberiannya.

Kebiri secara pembedahan (bedah akat buah pelir) sangat tidak dianjurkan. Apabila pidana kebiri akan diberlakukan dalam hukum positif maka pihak paramedis menganjurkan kebiri yang dilakukan secara kimiawi (chemical castration). Metode dari kebiri yang dilakukan secara kimiawi (chemical castration) ini menggunakan obat-obatan hormonal antiandrogen untuk mengurangi kejadian berulang pada pelaku kejahatan seksual. Tujuannya adalah mengurangi kecenderungan kekerasan dan penyimpangan seksual pelaku kejahatan seksual (dorongan seksual laki-laki), fantasi seksual yang bersifat kompulsif (diulang-ulang), dan kapasitas gairah/hasrat seksual, termasuk paedofilia.

Obat antiandrogen ini bertujuan untuk menurunkan kadar testosteron. Mekanisme kerja dari obat tersebut yaitu pada otak manusia menghambat kinerja hormon penstimulasi produksi testoseron dalam testis. Testoseron berhubungan erat dengan libido dan fungsi seksual. Pelaku kejahatan seksual memiliki kadar hormon androgen yang lebih tinggi dibandingkan dengan bukan pelaku kejahatan seksual.

Cara pemberian pidana kebiri yang dilakukan secara kimiawi (chemical castration) dapat dilakukan dengan:

Sukarela:
- Pelaku dianggap pasien;
- Sebagai pengobatan;
- Diberikan informed consent dan dilakukan berdasarkan persetujuan.

Dipaksakan/demi hukum:
- Demi hukum;
- Sebagai hukuman terhadap pelaku;
- Tidak memerlukan informed consent, tidak berdasarkan persetujuan.

Pidana kebiri yang dilakukan secara kimiawi (chemical castration) dapat dilaksanakan atas alasan kepentingan legal/hukum apabila kasus tersebut telah diputus dengan putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap pelaku kejahatan seks, paedofilia, dan orientasi seksual tertentu. Selain itu, pidana kebiri yang dilakukan secara kimiawi (chemical castration) dapat dilaksanakan atas alasan kepentingan kesehatan bagi penyimpangan perilaku seks yang perlu pengendalian/penurunan kadar testosteron yang merupakan tindakan kuratif/rehabilitatif pada pelaku saat itu dan/atau tindakan preventif/promotif terhadap kekambuhan pelaku.

Pelaksanaan pidana kebiri yang dilakukan secara kimiawi (chemical castration) ini dilakukan dengan mempersatukan dalam forensik dengan medikolegal yaitu terdapat dua dokter yang menangani pelaksanaan dari pidana kebiri yang dilakukan secara kimiawi (chemical castration) yaitu dokter pemeriksa/nilai dan dokter pengobat.

Efek samping dari pidana kebiri yang dilakukan secara kimiawi (chemical castration) dapat dilihat dari jangka waktu pemakaian. Untuk jangka pendek hampir tidak ada, bila ada berupa hot flashes. Sedangkan untuk jangka dapat menimbulkan osteoporosis, penyakit cardiovaskuler, gangguan metabolisme lemak dan glukosa, diabetes, infertilitas, depresi, anemia, fatigue, dan blood clots. Pidana kebiri yang dilakukan secara kimiawi (chemical castration) juga memiliki manfaat dan risiko, antara lain:

Manfaat:
- Menurunkan kadar testosteron;
- Menurunkan gairah seksual;
- Menurunkan angka kejadian berulang, walaupun pelaku memiliki faktor pendukung psikologis yang kuat.

Risiko:
- Ada efek samping;
- Menimbulkan masalah kesehatan baru;
- Bila dihentikan dapat meningkatkan perilaku kekerasan secara umum dan kadar testosteron lebih tinggi.

Menurut padangan medis/kedokteran, penerapan sanksi kebiri dilakukan dengan metode pengendalian yang dilakukan oleh Lembaga Permasyarakatan (LAPAS). Penerapan pidana kebiri yang dilakukan secara kimiawi (chemical castration) dilakukan terhadap narapidana untuk pencegahan kekambuhan.

Penerapan sanksi kebiri tersebut dilakukan dengan beberapa prinsip, yaitu: pertama, prinsip risiko, yaitu dosis dan intensitas atau tindakan terhadap risiko kambuh. Kedua, prinsip kebutuhan/kriminogenik, yaitu ciri dari sasaran berupa tindakan terhadap risiko kambuh. Ketiga prinsip resposivitas, yaitu pemberian tindakan disesuaikan dengan latar belakang budaya dan gaya pembelajaran pelaku atau narapidana. Selama ini penerapan sanksi kebiri secara kimia belum ada bukti yang meyakinkan efikasi dari obat kebiri, terapi kejiwaan psikoedukasi dalam mencegah kekambuhan pelaku.

Apabila pidana kebiri yang dilakukan secara kimiawi (chemical castration) ini diterapkan maka yang perlu diperhatikan dari segi legal/regulasi adalah ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan terkait dengan narapidana berhak untuk mendapatkan kesehatan yang layak. Selain itu ketentuan dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor 6 Tahun 2013 tentang Tata Tertib Lapas dan Rutan, terkait dengan kepentingan perawatan kesehatan atau pengobatan narapidana atau tahanan dapat mengkonsumsi obat-obatan setelah mendapatkan izin dan berada dalam pengawasan dokter dan/atau paramedis Lapas atau Rutan. Dokter yang bekerja di Lapas atau Rutan dalam penerapan pidana kebiri yang dilakukan secara kimiawi (chemical castration) apakah berfungsi sebagai dokter penilai atau sebagai dokter pengobat/pemberi obat saja.

KEBIRI DALAM SEJARAH - Perkembangan sejarah dan perbandingan penerapan pidana kebiri yang dilakukan secara kimiawi (chemical castration) dengan negara-negara lain, antara lain:

1944
Pertama kali diterapkan pidana kebiri yang dilakukan secara kimiawi (chemical castration), dilakukan dengan manipulasi hormonal untuk menurunkan kadar testosteron.

1952 di Inggris
Pidana kebiri yang dilakukan secara kimiawi (chemical castration) pada pelaku menimbulkan badan bengkak, payudara membesar, meninggal setelah 2 tahun pengobatan. (Perdana Menteri Inggris meminta maaf atas hukuman tersebut).

2010
Pada satu orang pelaku dengan persetujuan yang bersangkutan

1960 di Jerman
Untuk parafilia

1960 di Swedia
900 pelaku kejahatan seksual yang dikebiri secara kimiawi (chemical castration), 80% kejahatan berulang menurun hingga 2,3%.

1981 di USA (Amerika Serikat)
• 48 pria dengan perilaku penyimpangan seksual, dipidana kebiri yang dilakukan secara kimiawi (chemical castration) selama 1 tahun, 40 diantaranya perilaku penyimpangan seksual menurun, fantasi seksual menurun, dan kemampuan pengontrol gairah seksual naik;
• Setelah penghentian pemberian obat, efek samping yang ditimbulkan tidak ada;
• Merekomendasikan pidana kebir yang dilakukan secara Kimiawi (chemical castration) yang disertai dengan konseling sebagai metode yang berhasil digunakan untuk mengobati para pelaku kejahatan seksual.

2008 di Portugal
Pidana kebiri yang dilakukan secara kimiawi (chemical castration) dan terapi psikologi.

2009 di Polandia
Pidana kebiri yang dilakukan secara kimiawi (chemical castration) dan terapi psikologi.

2010 di Argentina
Pelaku secara sukarela

2011 di Korea
Disahkan untuk pelaku usia kurang dari 16 tahun.

2011 di Korea Selatan
Diberlakukan untuk pelaku berusia 31 tahun ditambah 15 tahun penjara.

2012 di Estonia
Pelaku kejahatan seksual.

Rusia
Diresepkan dalam undang-undang atas perintah pengadilan.

India
Bagi pelaku pemerkosaan dengan hukuman 30 tahun penjara.

Israel
Dilakukan dengan persetujuan pelaku.

PRO DAN KONTRA - Kajian terhadap pro dan kontra terhadap penerapan sanksi kebiri terhadap pelaku kekerasan seksual pada anak dapat dikaji dari berbagai aspek antara lain: aspek medis, bioetika, Hak Asasi Manusia (HAM), psikologi si pelaku, dan hukum pidana.

Aspek Medis
Menurut aspek medis yang pro terhadap pidana kebiri yang dilakukan secara kimiawai (chemical castration) menyatakan bahwa kebiri secara kimiawi (chemical castration) dapat menurunkan pelaku kekerasan seksual lebih baik dari hukuman penjara, menurukan kadar testosteron selama periode tertentu hingga 50%, bersifat reversible/pulih, mampu menurunkan kecenderungan biologis pemerkosa anak, dapat menurunkan kejahatan seksual yang berulang, ketika dilakukan pada pelaku yang akan bebas bersyarat dapat mengurangi kejahatan seksual berulang dari 75% menjadi berkurang hingga 2%, hukuman penjara tidak mengatasi akar permasalahan penyebab pelaku melakukan kejahatan seksual serta tidak mahal karena tidak perlu dokter, bidan, atau tenaga medis lainnya, juga bisa melakukan kebiri secara kimiawi (chemical castration).

Menurut aspek medis yang kontra terhadap pidana kebiri yang dilakukan secara kimiawi (chemical castration) menyatakan bahwa kebiri secara kimiawi (chemical castration) merupakan tindakan yang bersifat kompleks (perlu melibatkan dokter ahli bedah, ahli anestesi, ahli kedokteran jiwa, dan tenaga medis pendukung lainya), perlu pengawasan untuk hasil maksimal, biaya mahal, bila terapi dihentikan kadar testosteron meningkat kembali, hukuman yang kejam dan tidak biasa, mengganggu hak untuk bereproduksi, menimbulkan berbagai masalah kesehatan lain, serta bila dilakukan secara terpaksa memicu amarah pelaku dan kecenderungan melakukan kekerasan lain.

Aspek Bioetika
Apabila kita melihat penerapan kebiri secara kimiawi (chemical castration) dari aspek bioetika, ada dua prinsip yang berlaku, yaitu, pertama, prinsip justice yaitu menjalankan undang-undang dengan pendekatan ius contituendum dengan mengedepankan etika atau bioetika sebagai pemandu, dan merupakan kesebandingan hukum dari putusan pengadilan karena sudah ada korban yang sudah menderita. Kedua, prinsip beneficence yaitu menurunkan gairah seksual bagi yang sukarela, merupakan penjeraan primer/sekunder, yang mengedepankan kepentingan umum.

Selain itu, penerapan kebiri secara kimiawi (chemical castration) dari aspek bioetika juga menimbulkan kontra berdasarkan prinsip, pertama, prinsip autonomy yaitu dapat mempengaruhi jiwa, melanggar hak asasi manusia, dan membutuhkan informasi yang khusus dan komprehensif terhadap kebiri secara kimiawi (chemical castration). Kedua, yaitu berdasarkan prinsip maleficence, kebiri secara kimiawi (chemical castration) merupakan penyiksaan, penurunan martabat dan biaya mahal.

Hak Asasi Manusia (HAM)
Penerapan kebiri secara kimiawi (chemical castration) dari aspek Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan pelanggaran HAM karena sebuah penyiksaan, mengandung penyiksaan fisik dan penyiksaan kejiwaan. Kebiri secara kimiawi (chemical castration) bagi para pelaku kejahatan seksual kepada anak-anak tidaklah efektif. Yang sakit itu kan jiwanya. Kastrasi atau kebiri tidak akan menyelesaikan jiwanya. Makanya saya kurang setuju dengan diberlakukannya penerapan kebiri secara kimiawi (chemical castration) yang juga banyak ditolak oleh pihak LSM.

Ada 33 LSM dan lembaga advokasi di Indonesia yang menentang penerapan kebiri secara kimiawi (chemical castration) karena bertentangan dengan HAM. American Civil Liberties Union menganggap tidaklah etis karena kejam dan suatu hukuman yang tidak wajar. Pelaku kejahatan seharusnya cukup ditahan atau diawasi saja bukan dikebiri secara kimiawi (chemical castration) sebagai pidana tambahan. Para pelaku kejahatan seksual akan memilih setuju untuk dikebiri secara kimiawi (chemical castration) dibandingkan ditahan atau dipenjara.

Tidak semua pengamat HAM menganggap kebiri secara kimiawi (chemical castration) merupakan pelanggran HAM. Menurut mereka yang pro terhadap kebiri secara kimiawi (chemical castration) menyatakan bahwa pidana kebiri secara kimiawi (chemical castration) mengutamakan hak korban dibandingkan dengan hak pelaku. Mengesampingkan risiko kebiri secara kimiawi (chemical castration) demi hak korban di masa depan. Menghukum pelaku kejahatan seksual dengan hanya pidana penjara saja belum memberikan rasa aman pada masyarakat. Selain itu pertimbangan yuridis terhadap penerapan kebiri secara kimiawi (chemical castration) adalah adanya alasan sosiologis yaitu banyaknya pelaku kejahatan seksual terhadap anak di bawah umur 16 tahun.

Psikologi Pelaku
Wacana hukuman suntik kebiri untuk pelaku kekerasan seksual terhadap anak dinilai ahli psikologi forensik bukan tindakan tepat. Suntik kebiri adalah memasukkan antiandrogen ke dalam tubuh sehingga hasrat seksual melemah atau bahkan hilang sama sekali. Kebiri bisa menghilangkan hasrat seksual, tapi perasaan-perasaan dendam, amarah, dan lain-lain justru bisa mengalami brutalisasi. Alih-alih menghentikan pelaku, justru membuat potensi kebahayaannya kian dahsyat.

Kebrutalan yang dimaksud adalah potensi bahaya dan intensitas perilaku kekerasan menjadi berlipat ganda. Kebiri justru membuat pelaku mengembangkan cara-cara baru yang nonseksual untuk mengekspresikan perasaan-perasaan negatifnya. Perasaan negatif seperti sakit hati, amarah, dan dendam, sudah terbentuk sejak pelaku merasakan viktimisasi. Pengebirian hanya akan membuat perasaan-perasaan tersebut makin buas.

Beberapa alternatif hukuman yang dinilai lebih tepat, yaitu rajah di bagian tubuh terbuka, simbol khusus pada KTP, dan public notice dari polisi. Ketiga hukuman tersebut memang tidak menghilangkan hasrat seksual pelaku, tetapi cukup untuk meningkatkan kewaspadaan publik akan bahaya si pelaku. Karena tidak bisa mengubah pelaku, kewaspadaan masyarakat yang harus ditingkatkan. Pendekatan-pendekatan tersebut semoga bisa memperkuat daya tangkal publik. Meskipun begitu, hukuman ideal bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak adalah hukuman mati.

Hukum Pidana
Di dalam KUHP diatur berbagai bentuk sanksi pidana yang berlaku di Indonesia, sanksi pidana tersebut terdiri atas sanksi pidana pokok dan sanksi pidana tambahan. Sanksi pidana pokok terdiri atas pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan pidana denda dan pidana tutupan. Sedangkan pidana tambahan terdiri atas pencabutan beberapa hak tertentu, perampasan barang yang tertentu, dan pengumuman keputusan hakim.

Di dalam Rancangan KUHP yang sedang dibahas dalam pembicaraan tingkat satu antara Pemerintah dan DPR RI menyepakati bahwa sanksi pidana yang berlaku di Indonesia terdiri atas sanksi pidana pokok dan sanksi pidana tambahan. Sanksi pidana pokok terdiri atas pidana penjara, pidana denda dengan kategori, pidana pengawasan, pidana tutupan dan pidana kerja sosial. Untuk pidana tambahan sama dengan KUHP tidak mengalami perubahan yang terdiri atas pencabutan beberapa hak tertentu, perampasan barang yang tertentu, dan pengumuman keputusan hakim. Sedangkan pidana mati merupakan pidana alternatif, yang hanya digunakan untuk kejahatan-kejahatan yang bersifat extraordinary crime.

Dalam KUHP maupun RKUHP Indonesia tidak mengenal adanya sanksi badan berupa kebiri dalam pidana pokok dan pidana tambahan, demikian juga terhadap pidana alternatifnya. Apabila Pemerintah Indonesia sedang bersiap untuk mengeluarkan kebijakan baru mengenai hukuman kebiri bagi pelaku kekerasan seksual pada anak harus diatur secara jelas mekanisme hukumnya dan realisasinya. Agar pidana badan berupa kebiri tersebut merupakan kepastian hukum yang memberikan efek jera bagi si pelaku dan tidak menimbulkan dampak lain yang dapat membuat masalah baru dalam menangani pelaku kekerasan seksual.

*) Penulis adalah Perancang Undang-Undang Bidang Politik Hukum dan HAM, Badan Keahlian Dewan (BKD) DPR RI dan Tenaga Pengajar Fakultas Hukum, Universitas Pamulang (UNPAM)

BACA JUGA: